“Jangan bermesraan denganku di depan Liam.” Aku memarahi laki-laki gagah yang sangat kucintai itu. Dia tersenyum dan memengelus tanganku.
“Aku khawatir padamu. Apakah kau yakin, kau baik-baik saja?” Tanyanya lagi.
“Aku baik-baik saja. Sebaiknya aku mengunjungi seorang psikoatrik.” Kataku. Joko mengerutkan dahinya.
“Sayangku kamukan Juga seorang psikiatrik.” AKu hanya tersenyum mendengar perkataannya. Ini ketiga kalinya aku berhalusinasi anak kecil datang menyampaikan kematian anakku. Ada yang tidak beres denganku.
***
“Dok, kayanya ada yang aneh dengan diriku.” Aku menatap perempuan yang sedang duduk di hadapanku. Umurnya kira-kira tigapuluhan tahun, masih cantik dan seksi. Wajahnya memancarkan kecemasan. Tentu saja ada yang aneh dengan dirinya kalau tidak ngapain di datang ke psikiater. Tetapi tentu saja pendapat itu kusimpan dalam hati kalau diutarakan tentu tak ada yang datang ke tempat praktikku lagi.
“Coba ibu ceritakan apa yang ibu rasakan?” Kataku, perempuan itu tampak menarik napas panjang sebentar.
“Aku merasa aku berhalusinasi, Dok.” Aku tertegun mendengar perkataan perempuan itu.
“Mengapa ibu bisa tahu bahwa Ibu berhalusinasi?” Kataku
“Dok, Aku ini dokter psikiatrik juga tetapi aku butuh dokter lain untuk memeriksa ku. Sejujurnya aku tak bisa memeriksa diriku sendiri dan tidak yakin betul apa yang aku alami.” Lagi ku tercekat.
“Baru kali ini aku punya pasien yang juga seorang dokter jiwa.” Kataku