"Tapi bang, tolong bang, ini terakhir kalinya kita bersama".
"Gue ga peduli, 60:40 itu kesepakatan kita" Agus tetap ngotot. Budipun Naik pitam
"Bang selama ini gue udah nganggap abang kakak. Gue tahAbang selalu yang bekerja keras selama ini. Tapi tolonglah, bang. Ini terakhir kalinya gue minta bagian kita sama" Kata Budi dengan suara keras, emosi Agus naik berlipat- ganda Dia mencengkram kerak baju Budi.
"Eh kampret, lo seharusnya bersyukur selama ini gue kasih 40% dari hasil rampokan" Agus menatap mata Budi tajam. Budi yang biasanya takut padanya kali ini tak gentar.
"Ah! Kita sama-sama bekerja keras bang. Gue berhak le..." "Bruk" Agus yang sudah emosi dari tadi menghantam pipi Budi keras. Budi terjungkal kebelakang, belum selesai dia berdiri Agus sudah mendaratkan tendangan telak di perutnya. Seketika Budi mual, tendangan Agus tepat di hatinya. Sial! Agus bukan tandingan yang sepadan.
"Elo bukan tandingan gue, Bud" Agus mengepalakan tinju memberikan pukulan telak ke dada Budi lagi. Budi terjungkal kebelakan, Dadanya sakit bukan kepalang. Pukulan Agus mungkin sudah membuat tulang-tulangnya patah
"Elo masih berani ama gue, Bud? Lo bukan tandingan gue" Agus mngangkat Sebuah Batu besar dan menghantamnya ke arah kepala Budi. "Mending gue akhiri hidup lu sampai disini" Budi ketakutan. Dia tidak ingin mati. Dia mencintai Siti
"Jangan Bang Agus.. jangan bunuh gue" Bukkkkkk batu itu mengenai kepala Budi. Arghhhhhhhhhhhhhhhh" Budi berteriak untuk terakhir kalinya
"Mas Budi, Mas Budi, Mas Budi" Tiba-tiba suara seorang perempuan terdengar. Budi membuka mata. Di depannya telah berdiri Sinta istrinya. Napasnya memburu, keringat bercucuran. Sial! Ternyata hanya mimpi.
"Kau bermimpi buruk, Mas?" tanya Sinta khawatir. Budi memandang sekelilingnya. Diaberada di dalam sebuah tenda. Dipandangi Sinta dengan seksama. Istrinya memakai pakian wanita jaman yunani.
"Ada apa? Apa yang terjadi kenapa kau memakai pakian seperti itu?" tanyanya bingung tapi dia lebih bingung lagi mendapati dirinya memakai baju ksatria romawi abad ke lima.