“Betul yang Yanto bilang seh Ran, gue sebagai laki-laki selalu menggunakan rasional gue. Contohnya aja ketika gue nembak cewe, doi ga terima. Gue mungkin akan sakit hati dan malu untuk beberapa saat tetapi abis itu, ya sudah terima kenyataan kalo cewe itu ga suka sama gue dan gue beralih kecewe-cewe lainnya. Sedangkan elo mana berani lo nembak cowo, perasaan takut di tolak yang akan membuat harga diri lo hancur berantakan dan lo memilih untuk tidak melakukannya” aku menyederhanakan konsep Yanto. Yanto tampak manggut-manggut menyetujui
“Tapi gue terkadang mahluk ego juga loh” balas Rani setelah diam merenungkan perkataanku dan Yanto. Yanto tersenyum
“Yah udah Logikanya ne, kalo harus selalu elo yang SMS dan telpon si rudi, kenapa lo ga putusin dia sekarang?” tantangnya.
“ Ah jangan ah, sapa tau si Rudi lagi ada masalah”
“Nah itu kan, lo main perasaan disini” Yanto terlihat senang. Rani berpikir sebentar dan mencibir Yanto
“Ga, gue ga main perasaan kok” katanya kemudian. Aku tertawa
“Lo emang main perasaan Ran, lo perempuan dan itu wajar. Tapi coba deh sekali-kali lo berpikir dari dari sudut pandang yang berbeda. Berpikir dari sudut pandang laki-laki” kataku kemudian
“Betul banget tuh, ide yang bagus. Cobalah mencontek dari gaya pikiran kami Ran, Mengutamakan kepentingan diri sendiri dari pada kepentingan orang lain. kalo si Rudi jarang nge SMS elo duluan, yah lo sekarang jadi kaya dia ga usah SMS dia deh. Sekali-kali lo jadi egois dan tahan tuh perasan lo” Yanto menambahkan
“Jadi intinya gue harus lebih menonjolkan ego gue neh, berpikir dari sudut pandang pria yang selalu menang sendiri” kata Rani yang tentu saja tidak diterima Yanto dan aku
“Kita ga mau menang sendiri Ran, kita hanya mengutamakan kepentingan sendiri diatas kepentingan orang lain” sanggahku Yanto mengiyakan, Rani tertawa
“ Ahaaa boleh juga, baikalah gue akan mencoba ide kalian”