Mohon tunggu...
Aisyha Cahyaningtias
Aisyha Cahyaningtias Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa pendidikan bahasa dan sastra Indonesia

Membaca

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sifat Hakikat Manusia

14 Juni 2023   17:52 Diperbarui: 14 Juni 2023   17:56 968
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebenarnya apasi yang dimaksud dengan sifat hakikat manusia? Sudah sifat, hakikat pula. Nah disini akan ada  pembahasan tentang pengertian dan implementasinya..


1.Pengertian

Menurut Tirtarahardja dan La Sulo (2005:3-4), sifat hakikat manusia adalah ciri-ciri karakteristik, yang prinsipiil, yang membedakan manusia dari hewan. Ada berbagai ungkapan tentang manusia: Zoon Politicon hewan yang bermasyarakat (Socrates) animal rational (hewan yang berpikir), animal simbolocum (binatang yang memahami lambang-lambang), homofaber (manusia yang menciptakan alatalat), homo educandun (manusia yang terdidik), homo politicus (manusia yang berpolitik), homo economicus (manusia ekonomik), Das Kranke Tier= hewan yarg sakit (Max Scheller), hewan yang bermoral, dan lain-lain. Ungkapan yang mengibaratkan manusia dengan hewan tidaklah tepat; seolah-olah manusia dan hewan tidak berbeda secara hakiki (gradual saja). Ingat, teori evolusi Charles Darwin yang mengatakan manusia berasal dari primal (kera) tidak terbukti (ada:the missing link, rantai yang terputus) Dengan demikian ada suatu proses antara yang tak dapat dijelaskan. Jelasnya, tidak ditemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa manusia muncul sebagai bentuk ubah dari primat atau kera melalui proses evolusi yang bersifat gradual.

2. Wujud hakikat manusia

Wujud hakikat manusia yang tidak dimiliki oleh hewan adalah: kemampuan menyadari diri, kemampuan bereksistensi, memiliki kata hati, memiliki moral, kemampuan bertanggung jawab, rasa kebebasan (kemerdekaan), menyadari hak dan kewajiban, dan kemampuan menghayati kebahagiaan (Kusdaryani,2009). Berikut ini penjelasan ringkasnya :

a. Kemampuan menyadari diri

Manusia menyadari tentang "aku" yang          membedakan (mengambil jarak)dari engkau" (aku-aku lain, bukan aku; ia, mereka) dan lingkungannya. Kemampuan mengambil jarak tersebut, ke luar menganggap di luar akunya sebagai objek, menimbulkan egoisme; dan ke dalam, menganggap di luar akunya sebagai subjek, menimbulkan pengabdian, pengorbanan, tenggang rasa (aku keluar dari dirinva dan menempatkan aku pada diri orang lain). Manusia juga dianugerahi kemampuan mengambiljarak dari dirinya sendiri (sebagai subjek sekaligus objek meng-Aku). 

Implikasi dalam pendidikan:(1) Pendidikan hendaknya mengembangkan secara seimbang antara aku (egois, individualitas) dan sosialitas; antara subjek dan objek, (2) hendaknya mengembangkan "meng- Aku" (Drijarkara, 1978:138) pada peserta didik dan kemampuan mendidik diri sendiri = selfforming.

b.Kemampuan bereksistensi

Manusia tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, yang disebut kemampuan bereksistensi. Manusia bukan "ber-ada" melainkan "meng-ada" atau "bereksistensi".

Implikasi dalam pendidikan: Peserta didik diajar untuk belajar: dari  pengalaman, mengantisipasi sesuatu keadaan/peristiwa, melihat prospek masa depan, mengembangkan daya imajinasi kreatif.

c.Kata hati (Concience of man)

Kata hati sering disebut dengan istilah hati nurani, pelita hati, suara hati,lubuk hati adalah kemampuan memahami apa yang telah, sedang, dan akan terjadi serta akibat bagi dirinya, yang memberikan penerangan tentang baikburuknya tindakan sebagai manusia. Kata hati merupakan kemampuan membuat keputusan yang baik/benar secara cerdas; menjadi petunjuk moral/perbuatan (Tirtarahardja dan La Sulo, 2005:6).

Implikasi dalam pendidikan: Pendidikan (kata hati) bertugas mempertajam kata hati dengan melatih akal budi, kecerdasan, dan kepekaan emosi; bertujuan memiliki keberanian moral (berbuat) berdasarsuara hatinya.

d.Memiliki moral

Moral adalah norma (ukuran) tentang baik-buruknya tindakan; filsafat moral disebut etika, yang tidak identik dengan etiket (sopan santun). Moral terkait erat (sinkron, sesuai) dengan kata hati. Orang yang moralnya tidak sesuai dengan kata hatinya = bermoral rendah (asor), tidak bermoral. Ingat, orang yang etiketnya (sopan-santunnya) tinggi (penipu) belum tentu bermoral tinggi. Itulah sebabnya pendidikan moral juga sering disebut Pendidikan kemauan yang oleh (Langeveld 1955:28) dinamakan De opvoedeling omzichzelfs wil. Tentu saja yang dimaksud adalah kemauan yang sesuai dengan tuntutan kodrat manusia.

Implikasi dalam pendidikan: perlu dikembangkan pendidikan moral (pendidikan nilai).

e.Tanggung jawab

Tanggung jawab dapat terhadap: diri sendiri (tuntutan hati nurani) sesamanya (tuntutan masyarakat, norma social), dan Tuhan (tuntutan norma agama). Tanggung jawab terkait dengan tindakan moral dan suara hati, berdasar kodrat manusia. Tanggung jawab menjadi hilang bila tindakan yang dilakukan bukan karena keputusan moral sesuai suara hatinya (dipaksakan). Bertanggung jawab berarti sadar dan rela menerima akibat dari tindakannya sesuai tuntutan hati nurani, norma sosial, norma agama.

Implikasi pedagogis: perlu pendidikan nilai sebagai pribadi dan anggota masyarakat.

g.Hak dan kewajiban

Dalam realitas hidup sehari-hari, umumnya hak diasosiasikan dengan sesuatu yang menyenangkan, sedangkan kewajiban dipandang sebagai suatu beban. Tidak ada hak tanpa kewajiban. Benarkah kewajiban menjadi beban manusia? Ternyata bukan beban, melainkan keniscayaan (Drijarkara, 1969:24-27). Mengingkari kewajiban berarti mengingkari kemanusiannya. Memenuhi kewajiban merupakan keluhuran, bermartabat sebagai mamusia. Kewajiban bukan keterikatan melainkan keniscayaan. Namun demikian, hak dan kewajiban dapat menjadi relative, sesuai dengan kondisi dani situasinya. Hak bersifat netral, tidak harus dituntut, bahkan juga yang terkait dengan hak asasi sekalipun. Hak dan kewajiban harus dilaksanakan berdasar keadilan.

Implikasi pedagogis: (1) Pendidikan bertugas mengembangkan rasa wajib hingga dihayati sebagai keniscayaan, yang dapat ditempuh melalui Pendidikan disiplin, dan (2) kedisiplinan dan rasa tanggung jawab hendaknya ditanamkan sejak anak usia dini melalui pembiasaan (habit forming).

Ada empat aspek disiplin, yaitu: (1) disiplin rasional, yang pelanggarannya menimbulkan rasa salah, (2) disiplin sosial, yang pelanggarannya menimbulkan rasa malu, (3) disiplin afektif, yang pelanggarannya menimbulkan rasa gelisah, dan (4) disiplin agama, yang pelanggarannya menimbulkan rasa berdosa.

h.Kemampuan menghayati kebahagiaan

Kebahagiaan dapat dirasakan, tetapi sulit dirasionalkan. Kebahagiaan merupakan integrasi dari kesenangan, kegembiraan, kepuasan, pengalaman pahit dan penderitaan. Kebahagian mencakup dua aspek, yaitu usaha dan takdir Tuhan, dan dapat ditingkatkan. Kebahagiaan terletak pada kesanggupan menghayati pengalaman senang-tidak senang secara keheningan jiwa, sebagai realita hidup, dan penyerahan total kepada Sang Pencipta.

Implikasi pedagogis: (1) pendidikan bertugas meningkatkan kemampuan berusaha dan menghayati hasil usaha dalam kaitaninya dengan takdir, (2) perlunya pendidikan keagamaan sebagai wahana mencapai kebahagiaan, yang intinya ada pada pendidikan keluarga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun