Zarina Akbar, Fitri Lestari Issom, Maratini Shaliha Aisyawati
Fakultas Pendidikan Psikologi
Universitas Negeri Jakarta
Pembelajaran daring secara serentak dilakukan di seluruh Indonesia setelah munculnya Surat Edaran Kemendikbud Nomor 40 Tahun 2020 Tentang “Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran Corona Virus Disease (COVID-19)”. Salah satu isi kebijakan ini adalah penetapan belajar dari rumah. Pada awalnya kebijakan pembelajaran daring dirasa tepat karena dapat melindungi peserta didik dan pendidik dari paparan COVID-19.
Antusiasme juga dirasakan oleh peserta didik dan pendidik, karena menjadi pengalaman baru untuk mereka, merasakan belajar dari rumah, bertemu secara virtual. Muncul berbagai aplikasi dan platform yang bisa mendukung kegiatan belajar mengajar. Para pendidik mulai mencoba berbagai aplikasi, platform, dan media sosial untuk menunjang pembelajaran daring. Dalam situasi yang tidak normal ini, pemerintah mengijinkan sekolah menggunakan kurikulum darurat bahkan boleh untuk lebih disederhanakan lagi sesuai dengan kebutuhan siswa karena prioritas saat ini adalah keselamatan dan kesehatan para pendidik dan peserta didik, bukan capaian kurikulum.
Learning Loss
Maret 2021 menunjukkan bahwa sudah satu tahun pembelajaran daring dilakukan. Setelah setahun ini ternyata pembelajaran daring mulai menimbulkan gejala yang mungkin tidak pernah terpikirkan sebelumnya yaitu hilangnya minat belajar siswa (learning loss). Menurut The Education and Development Forum, learning loss adalah kondisi dimana peserta didik kehilangan pengetahuan dan keterampilan umum atau khusus atau kemunduran secara akademik yang terjadi karena proses pendidikan yang terputus atau sempat terhenti.
Learning loss mungkin tidak diperhitungkan akan terjadi karena selama ini pembelajaran daring yang sebelumnya pernah dilakukan di negara-negara lain memberikan banyak keuntungan bagi penggunanya. Adapun kekurangan yang dijelaskan biasanya sebatas masalah teknologi. Lalu mengapa learning loss bisa terjadi? Apakah karena pembelajaran daring atau karena ditutupnya sekolah?
Dampak dari Penutupan Sekolah (tidak ada tatap muka)
Menurut data dari penelitian, terdapat tiga masalah pokok akibat dari tidak adanya tatap muka langsung dalam proses belajar selama masa pandemi:
1. Penurunan Tingkat Keinginan Belajar
Pergi ke sekolah adalah salah satu motivasi yang cukup kuat agar siswa mau belajar. Merasa diperhatikan langsung membuat kita bisa bekerja lebih baik. Begitu juga dengan belajar, saat peserta didik diperhatikan langsung oleh pendidik, tingkat keinginan belajar mereka relatif akan lebih terjaga. Saat tidak diperhatikan oleh pendidik, maka kesadaran belajar peserta didik akan menurun.
2. Meningkatnya Kesenjangan
Pembelajaran melalui daring akan membuka peluang adanya kesenjangan belajar antar peserta didik. Peserta didik yang memiliki fasilitas belajar yang baik dan mendukung akan lebih berhasil selama belajar daring di masa pandemi dibandingkan peserta didik yang minim bahkan tidak memiliki fasilitas belajar. Disinilah akan terjadi kesenjangan belajar. Kondisi serupa juga akan terjadi pada pendidik. Pendidik dengan minim fasilitas belajar akan sulit dalam menyampaikan pelajaran dan melakukan penilalian yang nantinya akan berdampak pada peserta didik.
3. Kemungkinan Putus Sekolah
Ketidakpastian kapan belajar tatap muka akan dilakukan kembali memunculkan kejenuhan dan kebosanan yang bisa mendorong keinginan berhenti sekolah. Tidak adanya fasilitas, bingung dengan tugas, PR yang dianggap terus-menerus dan memberatkan, serta bosan dengan rutinitas belajar daring bisa mendorong peserta didik yang hidup dengan keterbatasan ekonomi memilih untuk bekerja sehingga dapat meringankan beban keluarga. Terutama pada peserta didik di jenjang tingkat akhir.
Sejak Juli 2020 pemerintah mengeluarkan SKB 4 Menteri tentang pembelajaran tatap muka yang diperbolehkan di wilayah zona hijau dan kuning COVID-19. Kemudian pada Januari 2021, seluruh daerah sudah diperbolehkan melakukan pembelajaran tatap muka dengan prokes yang ketat. Kebijakan ini terutama untuk daerah-daerah yang sulit dengan pembelajaran jarak jauh seperti sulit mendapatkan sinyal, banyak yang tidak memiliki gawai.
Pendidikan Indonesia saat ini tertinggal dari negara-negara lain. Setidaknya 85% negara-negara di Asia Timur dan Pasifik sudah melakukan pembelajaran tatap muka. Sementara sebagian besar sekolah di Indonesia hampir tidak melakukan kegiatan belajar tatap muka selama satu tahun. Menurut UNESCO satu tahun setelah pandemi COVID-19, hampir separuh siswa di dunia masih terkena dampak dari penutupan sekolah sebagian atau seluruhnya. Penutupan sekolah yang lama tidak hanya berdampak pada pembelajaran tetapi juga kesehatan mental dan perkembangan peserta didik. Pemerintah pusat kemudian mendorong kembali dengan menerbitkan SKB 4 Menteri agar kegiatan pembelajaran tatap muka terbatas bisa digelar pada Juli 2021.
Berdasarkan penelitian Zhan dkk (2021) pada orangtua di Cina, bahwa kemauan orangtua untuk mengizinkan anak-anaknya kembali ke sekolah adalah karena faktor keefektifan belajar. Dengan mempertimbangkan faktor pribadi dan lingkungan, sebagian besar orangtua tidak puas dengan efek pembelajaran daring di rumah dan menyatakan kesediaan mereka untuk mengirim anak mereka kembali ke sekolah dan melanjutkan kelas; namun, mereka juga khawatir tentang keadaan COVID-19 dan kemampuan perlindungan diri anak-anaknya. Perkembangan siswa sangat bergantung pada suasana pergaulan, jadwal yang teratur, dan dukungan lingkungan dari sekolah, yang hampir tidak dapat dicapai dengan pembelajaran daring dari rumah. Temuan penelitian ini juga menunjukkan bahwa upaya bersama masyarakat, sekolah, dan keluarga diperlukan dalam masalah siswa kembali ke sekolah setelah pandemi COVID-19.
Upaya yang dapat dilakukan untuk mempersiapkan dan menjaga kesehatan mental siswa sekembalinya ke sekolah adalah dengan mengajarkan beberapa keterampilan psikologis kepada siswa. Keterampilan psikologis ini akan membantu siswa dalam menghadapi situasi sulit dan berat yang mungkin mereka hadapi. Materi keterampilan psikologis yang akan diberikan adalah manajemen stres, manajemen amarah, pengaturan diri, mindfulness, dan perilaku prososial.
Stress Management
Stres adalah bagian dari kehidupan yang juga dialami oleh anak-anak. Misalnya karena banyak tugas sekolah, tidak bisa mengikuti pelajaran di kelas, harus berjauhan atau berpisah dengan orang yang kita cintai. Daripada menghilangkan semua stres yang dirasakan, jauh lebih baik mengajarkan cara mengelola stres agar siswa menjadi tangguh mampu bangkit dari situasi sulit.
Anger Management
Memiliki manajemen amarah yang baik berarti memiliki kemampuan untuk merasakan, memahami, dan mengekspresikan emosi secara efektif. Siswa yang mampu mengenali dan mengekspresikan emosinya dengan benar akan membantu meringankan beban psikologisnya. Manajemen stres dan emosi membantu individu mencapai pengaturan diri. Pengaturan diri adalah kemampuan untuk tetap tenang, mengatasi emosi yang besar, beradaptasi, dan merespons sesuai dengan situasi dan lingkungan. Pengaturan diri memainkan peran penting dalam hubungan, kesejahteraan, dan kesuksesan dalam hidup. Individu yang dapat mengelola emosi dan mengontrol perilakunya akan lebih baik dalam mengelola stres, menghadapi konflik, dan mencapai tujuannya.
Mindfulness
Untuk membantu mengelola emosi yang intens selama transisi kembali ke sekolah jasmani, sekolah harus merencanakan untuk memasukkan kesempatan bagi siswa untuk mempraktikkan pengaturan emosi dalam kehidupan sehari-hari mereka. Salah satu cara sekolah dapat melakukan ini adalah dengan memperkenalkan kebiasaan mindfulness kepada siswa dari waktu ke waktu. Mendorong siswa untuk fokus pada kebiasaan ini membantu mereka menjadi lebih bahagia, tidak cemas, dan lebih siap untuk menerima tantangan hidup yang datang. Latihan mindfulness dalam rutinitas sekolah, sepanjang kegiatan sekolah, dan di ruang kelas akan menumbuhkan koneksi dan resiliensi pada siswa dan akan membantu mengajari siswa keterampilan yang mereka butuhkan untuk membantu mengelola kecemasan dan stres.
Perilaku Prososial
Membantu orang lain memunculkan perasaan yang lebih baik dalam diri mereka, bahkan membuat mereka bahagia. Membantu orang lain atau perilaku prososial pada anak akan meningkatkan kompetensi sosial, kerjasama, keharmonisan, dan masyarakat yang damai. Perilaku prososial (membantu, berbuat baik, mendukung, berkolaborasi) membantu mengurangi efek negatif stres terhadap kesejahteraan emosional (Raposa dkk., 2016). Jadi, di masa pandemi ini, membantu orang lain saat kita juga mengalami kesulitan sama seperti membantu diri kita sendiri. Selain itu, perilaku prososial dapat menimbulkan rasa terhubung dengan orang lain yang mungkin hilang akibat efek karantina di rumah.
Sumber:
Akbar, Z. & Issom, F. L. (2022). Back to school after Covid-19: Psychological skill program to support student mental health. Laporan Pengabdian Kepada Masyarakat Kolaboratif Internasional. Jakarta: Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Jakarta.
Raposa, E. B., Laws, H. B., & Ansell, E. B. (2016). Prosocial behavior mitigates the negative effects of stress in everyday life. Clinical Psychological Science, 4(4), 691-698.
Zhan, Z., Li, Y., Yuan, X., & Chen, Q. (2021). To be or not to be: parents’ willingness to send their children back to school after the COVID-19 outbreak. The Asia-Pacific Education Researcher, 1-12.
https://disdikkbb.org/news/learning-loss-dampak-pandemi-covid-19/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H