Mohon tunggu...
Aisyah Safitri Hayati
Aisyah Safitri Hayati Mohon Tunggu... Guru - Teacher, Instructor, Asesor and Writer

Aktif mengajar di SMKN 31 Jakarta, Instruktur dan asesor di LSP P2KPTK2 Jakarta Pusat- BNSP, Senang Menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Raisha

15 Februari 2023   08:50 Diperbarui: 15 Februari 2023   08:56 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

RAISHA

Oleh: Aisyah Asafid Abdullah

Sesudah pulang bekerja, meskipun jam sudah menunjukan pukul 20.55 WIB. Ia sempatkan pergi ke Cileduk untuk mengantarkan album pernikahan temannya. Pikirnya kapan lagi ia bisa mengantarkannya, besok ia harus bekerja, dan pulang malam. Apalagi ini kali pertama ia mendapat job foto wedding. Pikirnya ia tidak ingin mengecewakan temannya, pelanggan pertamanya itu. Profil massage ia ganti "Otw Cileduk anter jepretan wedding my friend" Tiba-tiba handphone dikantong celananya bergetar, pesan dari Rahma, teman dekatnya.

"PING!!!"

"PING!!!"

"PING!!!"

"Kek.."

"Kalo kita nikah siapa yg fotoin"

"Kan tukang fotonya jadi pengantin"

Selesai membaca ia hanya tersenyum dan membalas pesan Rahma.

"Hehehehehehe.."

Lalu, secepat kilat Rahma membalas.

"Ketawa doang gak bisa ngasih solusi tau!"

Setelah membaca, ia membalas "Aku lagi djalan", Ishak mengharu biru jika gadis pujaannya itu khawatir padanya. Dan seperti biasa Ishak selalu berteka-teki padanya, Pikirnya ia akan memberikan kenyataan yang indah untuk Rahma, namun bukan saatnya. Karena dalam waktu dekat ini uang yang dikumpulkan untuk menikahi Rahma akan terkumpul, ia benar-benar tak sabar menunggu hari itu.  Lalu ia langsung tancapkan gas kembali. 

Sampai di  Cileduk, belum sampai digang rumah temannya, ia melihat ada lima unit mobil pemadam kebakaran. "Astagfirullaaladzim, ada apa ini" Ishak membatin. Lalu ia secepat kilat memarkirkan motornya di pinggir jalan, dan berjalan dengan langkah lebar menuju gang rumah temannya.

Waktu jam tangannya, sudah menunjukan jam sepuluh lebih seperempat jam. Ia melihat pemandangan yang mengerikan, kepulan asap hitam, dan api bermain ayunan di rumah-rumah, termasuk diatas rumah temannya. Tangisan dan jeritan terdengar melengking diudara. Petugas pemadam, dengan sekuat tenaga mendorong dan sesekali mundur mengusir api itu dengan selang besar.

"1,2,3, semprot..." teriak salah satu komando petugas pemadam.

"Mundur..." teriak lagi. Karena ada ledakan, serta api berkobar-kobar diayun oleh angin malam.

Ia bingung, berusaha mencari temannya dari kerumunan korban kebakaran. Ia melihat ada seorang ibu yang pingsan yang dibiarkan begitu saja, anak-anak menangis. Begitupun seorang kakek, ia menangis seperti anak kecil yang kehilangan mainannya.

"Astagfirullahaladzim.." Ia berulang-ulang beristigfar dalam hatinya, sambil mencari-cari sosok temannya. Dan ia pun tertuju pada lelaki yg menaruh kepalanya pada tangannya, ia menangis terisak-isak.

"Na, maulana..."

"Maulana, ini aku Ishak..!"

Lalu ia mengangkat kepalanya dari tangannya, ia mengusap hidung dan matanya, langsung ia peluk Ishak dengan erat.

"Rumahku, Is, rumahku habis.." Maulana sambil menangis dipundak Ishak.

 " Istigfar, na, Istigfar!" Sambil merangkul erat Maulana.

"Mana Isterimu?" Tanya Ishak.

"Dia masuk shift malam." jawab Maulana.

"Isterimu belum tau?" tanya Ishak.

"Belum." Jawab singkat Maulana.

Akhirnya pukul dua puluh empat lebih lima menit api berhasil dipadamkan, korban kebakaran sementara ditampung disebuah masjid di seberang jalan. Karna belum ada tenda penampungan.

Ishak mengurungkan niat'tuk  pulang ke rumah, ia memilih menemani temannya tidur di masjid dengan korban lainnya. Paginya, isteri Maulana pulang.

"Mas, kenapa tidak memberi kabar?" tanya isteri Maulana.

"Mas, bingung de." jawab maulana sambil memegang erat tangan isterinya.

"Kenapa bingung?, mas 'kan tidak melakukan dosa, ini musibah mas, cobaan untuk keluarga baru kita" Isterinya tersenyum tanpa beban.

Melihat isteri Maulana ia ingat dengan Rahma. Ia benar-benar ingin cepat-cepat menikahi gadis pujaannya itu. Gadis yang ceriwis yang selalu menaruh kekhawatiran pada dirinya yang kerap tak memberi kabar, gadis yang mengerti ketika ia sedang sibuk, gadis yang peduli dan tak menuntut apa-apa. Tiba-tiba ia ingat dengan perkataan gadis itu ketika ia dalam keadaan sakit.

"Saya tidak minta lebih dari kamu, kecuali kesembuhan kamu. Tolong jaga diri kamu baik-baik karena aku begitu mencintai kamu." kala itu Rahma mengucapkannya begitu lembut tanpa menoreh pada wajahnya. Sikap seperti itu yang membuatnya tersenyum sendiri. Tiba-Tiba, ia dikagetkan Maulana.

"Is, aku minta tolong, pinjamkan aku uang untuk modal jualan, dagangan sembakoku ludes terbakar" Maulana memelas.

"Iya, insya Allah aku pinjamkan besok." jawab Ishak.

"Saya, pamit mau langsung kerja." Ishak.

"Iya, Sob terima kasih" Maulana sambil merangkul Ishak.

Sepanjang perjalanan ia memikirkan pinjaman untuk Maulana. Ia bingung harus mengurungkan rencana menikah atau pesantrenin adiknya. Ia memang sudah lama menyiapakan uang untuk dua rencana itu. Keputusan yang sulit, baginya maulana adalah sahabat sekaligus saudara untuknya. Pikirnya dia harus menolong, karena saat ibunya sakit maulana selalu membantu pengobatan ibunya.

Ishak adalah pemuda yang kreatif, Ia menyukai dunia fotografer. Impiannya adalah mendirikan sekolah fotografer gratis untuk kaum marjinal. Ia bekerja sebagai fotografer di salah satu stasiun televisi  yang baru launching tahun kemarin.

Selepas bekerja, ia kerap memikirkan masalah Maulana menginai pinjaman uang. Pikirannya terlintas pinjam pada Nurhalimah, adik keduanya yang baru bekerja tiga bulan sebagai recepsionis di salah satu Bandara di Jakarta. Sontak ia ingat dengan rencana adiknya, yang sedang mengumpulkan uang muka untuk mengkredit motor, akhirnya ia mengurungkan niat meminjam uang pada adiknya.

"Apa yang dapat saya lakukan, ini diluar rencana saya, dan Allah memberi jalan seperti ini." Ishak membatin. Pikirnya, apa yang ia kumpulkan selama ini berarti Allah maksudkan bukan  untuk menikahi Rahma, atau pesantren untuk adiknya.

" Menikah atau Pesantren ya?" Ishak pikir ulang.

" Menikah dengan Rahma adalah sebuah pilihan, sedangkan pesantren untuk adik saya adalah tanggung jawab saya  sekarang, begitupun menolong seorang sahabat yang begitu membutuhkanku" Ishak menemukan jawabanya. Akhirnya satu tabungan yang semula ia rencanakan untuk menikahi Rahma, ia pakai untuk menolong sahabatnya.

Pagi-pagi ia meluncur ke penampungan kebakaran, ia menemui Maulana. Akhirnya ia mengambil uang yang mulanya untuk rencana menikah dengan Rahma ia serahkan ke Maulana.

"Banyak sekali Is?" Maulana kaget.

"Sudah pakai saja, kamu membutuhkannya na!" Pungkas Ishak

 "Hmmmm, saya memang membutuhkannya, tapi saya takut tidak bisa mengembalikannya uang sebanyak ini." jawab Maulana ragu.

"Sudahlah, pakai saja, urusan mengembalikan nanti Allah yang ngatur" jawab Ishak sambil menelan ludah.

"Ahhh, tidak Is, saya takut." Jawab Maulana sambil menyerahkan uangnya ke Ishak.

"Tidak apa-apa tidak perlu takut, saya ikhlas na" Ishak.

"Subhanallah, Is kamu benar-benar mau membantu saya." Maulana terharu.

"Iya na" Ishak.

"Terima kasih Ishak, terima kasih..!" Maulana dengan mata mengandung air.

Akhirnya Ishak yakin dengan keputusannya memberi uang tabungan pernikahannya untuk maulana. Ia lebih memilih mempertahankan uang tabungan untuk anas adik bungsunya.

Setelah seharian bekerja ia kembali ke rumah. Hari ini ia pulang cepat, karena besok libur. Ia berbaring sejenak di sofa ruang tengah, ia tak nafsu makan. Pikirannya tak karuan, carut marut. Pikirannya merangkun antara kemarin dan hari ini hanya selisih sehari. Perasaannya berbeda drastis bahagia dan sedih.

"Begitu cepatkah Allah mengambil kebahagian itu!" Pikirnya layaknya manusia biasa. Lantas ia berfikir.

"Maulana kebahagiannya terbakar dalam hitungan detik, hah sudahlah ini cobaan!" batin Ishak. Dia terdiam mematung seperti disulap penyihir. Ia membenarkan yang terlintas pada dirinya.

Tak mau lama-lama mematung dan meratapi nasibnya, ia langsung menuju kamar dan mengambil handuk baru dilemarinya. Tiba-tiba matanya melirik sebuah catatan yang ia tempel dua tahun yang lalu, catatan itu dari Rahma.

Mimpi Baruku

Oleh: Rahma Abbasyir

Teruntuk mimpi baruku Muhammad Ishak

Mimpi Baruku, aku lebih lama mengenalnya yaitu cinta lama yang tertunda karna usia dini. Aku mengerti bagaimana ia diam karna marah. Ia benar-benar tergores karna sebuah ucapan yang tak berarti. Kata-kata jalang di lontarkan orang terkasih lebih menyakitkan daripada musuh yang melontarkan. Dan aku paham setelah aku beranjak dari usia dini. Sebelumnya cuma satu yang ku pegang dari diammu yaitu kejahatan. Aku benar-benar menggali menggali luka begitu dalam. Bukan karena diamnya, tapi aku menaruh cinta yang begitu banyak. Aku mulai menerima ketika ia memberi sebuah keputusan. Rasanya jauh lebih baik dari diamnya selama seminggu, rasanya seperti seribu tahun. Dan benar Tuhan sudah menetapkan hari ini untuk kita. Bagimana kita dipertemukan tanpa scenario manusia. Ini murni tangan Tuhan. Aku jauh lebih baik mengenalmu dari usia dini dulu. Kau seperti dipersiapkan menjadi raja, dan aku ratunya. Kau, adalah mimpi baruku, cinta lama yang tertunda karna sikap kekanakanku. mari bersama-sama menyelesaikan asa yang sempat tertunda. Jadikanlah aku jawaban dari tiap persoalanmu.

Rahma memang berbeda dari sebelumnya, dulu yang tomboy, mau menang sendiri, sedikit urakan. Kini ia terlihat manis, karena sifat perempuannya kian tumbuh pada dirinya. Lembut, sopan dan peduli dengan sekelilingnya. Ishak  dan Rahma sempat pacaran tapi karena sifat Rahma yang kanak-kanak dan terlalu protektif, Ishak meninggalkannya. Itulah, kemungkinan Ishak meninggalkan Rahma dulu. Setelah, membaca catatan Rahma, Ishak ingat ketika ia dipertemukan lagi dengan cara tak sengaja. Kala itu ada sebuah seminar Amazing Al-Quran, secara kebetulan mereka berdua berada dalam seminar tersebut.

Pada akhirnya Ishak mengajak pulang bersama, dan hal yang paling mengherankan rumahnya saling berdekatan.

" Sudah berapa lama kamu tinggal disini?" Tanya Ishak.

" Hampir 2 tahun ka." Jawab Rahma.

" Wah, memang jodohnya hari ini ya, saya tinggal depan gang rumah kamu mah sudah lebih 2 tahun lagi"

"Hihihihihihihi..." Rahma tertawa kecil sambil menutup mulutnya.

Adzan Isya berkumandang, menyadarkan Ishak dari lamunan tentang Rahma, ia segera mandi dan menuju masjid dekat rumahnya.

Setelah shalat di masjid, ia lebih memilih berbaring di kamarnya, lalu ia membuka handphonenya, dan melihat personal message Rahma " Setelah On air langsung tancap ke RS. Adella"

Ia ingin menanyakan pada Rahma, mengenai statusnya itu namun ia takut. Akhirnya memilih tidak  bertanya pada Rahma.

"Siapa yang sakit yaa?" Membatin Ishak. Tiba-tiba ia melihat recent update, Rahma changed display picture. Ia terlihat foto dikamar rumah sakit dengan seorang perempuan yang menggendong bayi.

            "Oh, temannya melahirkan."  membatin Ishak

            Ishak tidak bisa tidur, jam dinding dikamarnya berbunyi menunjukan pukul satu. Paginya.

            "Is  bangun is, sudah jam 5" ibu Ishak.

            "Ayo bangun, biasanya subuh solat di masjid" ibu.

            "Ahhh...." Ishak segera menggulung selimutnya.

            "Semalam Ishak susah tidur bu, jadi kesiangan" jawab Ishak sambil menggerakan tanganya.

            "Yaudah sana solat dulu!" Ibu.

            "Iya bu."Ishak

Ishak adalah anak pertama dari tiga bersaudara, Ayahnya sudah meninggal lima tahun yang lalu, saat ia baru semester pertama. Semenjak itu, ia menjadi kepala rumah tangga. Ia kuliah sambil bekerja, untuk biaya kuliah dan sekolah untuk kedua adiknya. Ibuny membuat kue kering yang dititipkan di toko kue di pasar-pasar.

Setelah solat subuh, Ishak mendapat sebuah pesan."Assalamualaiku, kek.." Pesan Rahma

"Walaikumusalam, nek" balas Ishak

Pada masa itu memang pasangan muda yang belum menikah sudah memanggil dengan sebutan pipi mimi, mami papi, mama papa. Tapi berbeda dengan Rahma dan Ishak. Mereka berdua mengambil nama panggilan yang unik yaitu kakek dan nenek. Lalu Rahma kembali membalas pesan.

" Aku buat puisi untuk kamu kek, judulnya rindu. Pesan Rahma.

Rindu: Bagaimana aku bisa mengatakan kerinduan padamu. Kerinduan itu hanya pada pemilik yang berikar. Dan kau belum melakukannya untukku. Simpulnya, meski kau tak pernah mendengar kerinduanku. Hakikatnya aku menanam kerinduan pada satu titik dan letak akarnya pada hati. Ia tumbuh sampai buahnya masak lalu berjatuhan, ketika kau tersenyum. Dan sampai saatnya tetap seperti itu. Akan kusemat semua rasa yang dititipkan Tuhan, bukan ,menjajaki tapi menjaga hati untukmu.

Membaca puisi dari Rahma, Ishak menyeka matanya. Ia tidak membalas pesan dari teman dekatnya itu. Ia menutup diri, menunjukan bahwa ia tidak merindukannya. Padahal dalam lubuk hatinya yang paling dalam ia benar ingin segera menikahi Rahma. Akan tetapi apa daya, entah apa yang harus dilakukannya.

Hari berganti hari Ishak tidak pernah membalas pesan Rahma, lantas Rahma memberikan pesan seperti biasa seperti mengingatkan solat dhuha, ia menganggap seperti tidak ada apa-apa. Pikirnya, Ishak sedang sibuk atau ia sedang menjaga kehormatanku dengan tidak membalas pesan, pikir Rahma.

Akhirnya yang ditakutkan Ishak, pada akhirnya terjadi. Rahma mengajak bertemu, katanya ada satu hal yang dibicarakan penting. Ia takut menyakiti perasaan Rahma, ia benar-benar mencintai Rahma.

            Sore itu, di sebuah taman kota terletak di jantung Jakarta, Ishak menepati pertemuan yang diminta Rahma.

            "Assalamualaikum.." Rahma tersenyum manis.

            "Walaikumusalam.." Ishak menjawab dengan raut wajah yang tak semangat.

            "Kek, aku tak bisa mengendalikan perasaan apa yang Allah berikan selama dua tahun ini." Pungkas Rahma.

"Kapan, kamu main ke rumah setidaknya sambil menunggu uang yang terkumpul, kamu main ke rumahku. Coba bicarakan hubungan kita pada ayah." pinta Rahma.

"Dan kapan kamu akan mengajak aku ke rumahmu, meski ibu sudah mengenalku, tapi kapan kamu akan mengenalkan aku pada ibumu, bahwa aku pilihanmu, calon isterimu?" Rahma penuh harap.

            Ishak diam seribu bahasa.

            " Kamu kenapa?' tanya Rahma cemas.

            "Tidak, apa-apa aku hanya bingung apa yang kamu bicarakan, benar-benar aku tak mengerti Mah" Ishak membohongi Rahma.

            Mendengar Ishak berbicara seperti itu, Rahma sontak kaget.

            " Masya Allah, apakah selama dua tahun yang ku tunggu-tunggu ini hanya sebuah harapan semu?" Tanya Rahma.

" Apakah kamu lupa, kamu mengatakan kamu menyanyangiku lebih dari apapun hanya saja belum siap menikah karena masalah uang. Dan kamu katakan akan mengumpulkannya untuk menikahiku." Pungkas Rahma.

            "Tidak, nek maafkan aku setelah di pikirkan sepertinya aku tidak mencintaimu, maafkan aku." Ishak memaksa mengatakan hal yang demikian.

            "Kau tega sekali kek!" Rahma menangis.

"Tahukah, aku menjaga semua rasa ini sudah dua tahun, dan aku mengungkapkan dan mengajakmu berta'aruf karena aku benar-benar siap menikah, kalau tidak aku tidak akan seperti ini" Rahma marah.

"Kenapa kau tidak mengatakannya sedari dulu, aku tak tahu apa-apa. Aku cuman menganggapmu teman tidak ada lebih perasaan padamu". Pungkas Ishak membohongi dirinya sendiri dengan nada keras.

"Aku kira, kamu lelaki yang baik, tahu syariat Islam!. Bagaimana aku mengatakan semua hal tentang perasaanku. Sedangkan aku belum siap untuk menikah." Rahma membalas dengan nada meninggi.

"Apa kamu benar-benar tak mengetahui, mendahului kata mencintai dan merindu kepada lelaki bukan muhrim sama halnya aku menjatuhkan harga diriku." Rahma tegas, lalu ia pergi begitu saja.

Ishak hanya diam, tak berbicara sepatah kata pun, membiarkan Rahma.

{ { {

Setelah hampir  Rahma melupakan kejadian itu ia menemui sesuatu yang di luar segala dugaannya. Ia baru saja pulang dari  Belanda menyelesaikan S2 jurusan hukum di Universiteit Leiden.

Ia menemukan sosok yang dikenal Nurhalima adik Ishak, saat bertemu Ia berusaha pura-pura tak melihatnya. Namun, Nurhalimah tercengan dan memanggilnya.

            "Kakk...!"

            "Kak Rahma...! Nurhalimah teriak.

Rahma mempercepat langkahnya, namun gadis  itu dapat mengelabui langkahnya.

            "Kak, apa kau lupa dengan Imah..?" tanya Nurhalimah dengan nafas tersenggal-senggal.

            "Hmmmmm, Ingat Imah.." Jawab Rahma sambil menorehkan senyum memaksa.

            " Kak, kenapa kakak menghindar melihat Imah?" Nurhalimah.

            "Tidak sayang, tadi kakak tidak lihat kamu." Rahma sambil memegang pundak Alimah.

            Akhirnya keduanya memilih mengobrol duduk di sebuah caf di Bandara.

            " Kak, kak Ishak ke Sydney sudah delapan bulan. Dia mendapat beasiswa master Documentary Photograpy." jelas Nurhalimah.

            "Syukurlah kalau begitu Imah, kakak mendengarnya ikut senang." Jawab Rahma.

            " Kak, kenapa kakak tidak memberi kabar pada ka Ishak, tentang study ke Belanda kakak?" tanya Halimah.

" Saat itu memang tidak direncanakan untuk melanjutkan master ke Belanda, meskipun kakak tahu mendapatkan beasiswa. Kakak lebih memilih ingin menikah dengan kakakmu. Tapi sayang, kakak kamu tidak mencintaiku. Akhirnya kuputuskan pergi ke Belanda, mengambil beasiswa." Jelas Rahma dengan mata berkaca-kaca.

            "Tidak, kak Ishak bohong, dia bukan tidak mencintai kakak. Tapi uang untuk menikahi kakak terpakai untuk menolong temannya yang rumahnya terbakar." Jelas Nurhalimah.

            "Apaaa...?" Tanya Rahma menggantung.

            "Ini no kak Ishak, coba hubungi dia kak!" suruh Nurhalimah.

            "Tidak, Imah. Ini sudah terlanjur. Biarlah Tuhan yang mengingikan kami kembali, bukan campur tangan manusia!" tegas Rahma.        

{ { {

Bandung, ada suara jangkrik sedang bercakap berisik. Sayup-sayup terdengar merdu lantunan ayat suci al-Quran dari masjid dekat rumah nenek Rahma. Sekejap ia ingat sedang berbaring di kamarnya menunggu adzan magrib. Ia sedang ada tugas di Bandung, pikirnya dari pada menginap di hotel. Ia lebih memilih menginap dirumah neneknya.

            Senandung ayat al-Quran menghilang, tiba-tiba terdengar suara mengucapkan salam mengetuk pintu.

            "Tok-tok.."

            "Assalamualaikum...."

            "Walaikumusalam......"

            Suara itu ia seperti mengenalnya, namun tidak bisa ia jangkau. Nenek membuka pintu dan mempersilakan masuk.

            "Siapa yang bertamu magrib-magrib?"Rahma membatin.

            Tiba-tiba nenek mengetuk pintu kamar Rahma.

            " Itu teman kamu datang dari Jakarta, tapi dia ke masjid. Katanya abis shalat magrib dia kesini lagi" Nenek.

            "Siapa nek, namanya?"

            "Oh iya nenek lupa menanyakan namanya siapa!" Nenek.

 Setelahnya suara adzan berkumandang bersahutan, ia pun segera mengambil wudhu dan segera menunaikan shalat magrib. Selesai, ia membaca al-Quran dengan tartil. Rahma keluar.

            "Nek, mana temanku dia belum datang?"Rahma.

            "Sudah, tapi dia balik lagi ke masjid karena dia mendengar kamu membaca al-Quran. katanya, ba'dah isya kesini lagi." Nenek.

            " Oh, begitu!, nenek sudah tanya siapa namanya?" tanya Rahma.

            "Ohh iya, nenek lupa tanya nama temanmu itu lagi!" Nenek.

            Rahma hanya tersenyum, melihat nenek yang sudah pikun.

            Setelah menunaikan shalat isya, Rahma memilih membaca buku dikamar. Tiba-tiba nenek mengetuk pintu, memberi tahu temannya sudah datang.

            "Kamu temui temanmu, nenek buatkan minum dulu." nenek.

            "Baik, nek." Rahma.

Rahma menuju ruang tamu, namun ia tak menemukan temannya itu. Di halaman muka rumah terdapat kolam ikan dengan pancuran buatan. Dan ia menemukan sosok lelaki berambut panjang sebahu mengenakan kupluk biru muda  stelan jeans dan kaos serta jaket hitam casual. Perawakannya tinggi berisi.

            "Assalamualaikum.." salam Rahma.

            "Kenapa menunggu diluar?" tanya Rahma.

            "Di dalam terasa panas, jadi saya pilih menunggu diluar!". Jawabnya sambil menoleh.

            " Isshaak.." Rahma.

            "Kapan kau pulang?" Rahma sambil memukul pundak Ishak.

            "Sebulan yang lalu, nek." Ishak.

            "Apa?, kamu masih ingat dengan panggilan itu kek." Rahma tersenyum malu.

            "Maafin aku nek.." Ishak sambil memegang tangan Rahma.

            Rahma mendengarnya hanya tersenyum.

            "Tak perlu minta maaf, kamu sudah melakukannya yang terbaik." Jawab Rahma.

            "Aku datang kesini, untuk memenuhi janjiku padamu nek." jelas Ishak.

            "Aku ingin menikahimu." Ishak dengan suara bergetar.

            Rahma tersenyum malu mendengarnya.

            "Apakah kau mau menikah denganku?" Tanya Ishak dengan cemas.

            "Yes, I will. when?" jawab Rahma sambil tersenyum bahagia.

            "Today"  Ishak sambil tertawa.

Akhirnya Rahma dan Ishak  menemukan waktu dan tempat yang paling indah, yaitu sebuah pernikahan. Kini, ia di karuniai seorang anak bernama Raisha, singkatan nama Rahma dan Ishak.

Foto Ilustrasi dari Siswa ANM DAN DKV SMKN 31 JAKARTA

           

           

           

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun