Tidak seperti biasanya ibu menangis, baru kali ini ia melihat ibu menangis. Tidak seperti biasanya, ia yang selalu terlihat tegar.
"Emak, kenapa menangis?" Pungkas Ahmad kembali sambil menyeka mata ibunya.
Tiba-tiba air mata Ahmad pun mengalir begitu saja, tak kuasa melihat ibunya menangis.
"Apa kau ingat dengan Sobari , yang sering menjahilimu!"Ibu dengan suara serak.
"Iya bu aku ingat." Ahmad.
"Berterima kasihlah padanya, karena dia membuatmu seperti ini!" Ibu.
      "Terkadang kita harus berterima kasih pada orang-orang yang telah mencaci kita."Ibu
      "Ia mak, tapi Ahmad tidak tahu dia dimana sekarang." Pungkas Ahmad.
      Setelah hampir ia lupakan, ia menemui sesuatu yang di luar segala dugaannya. Ahmad membawa kedua orang tuanya dan kedua adiknya umroh, belum sebulan pulang dari umroh. Ia belum menikah, ia melamun tentang istri idamannya di kantor sekaligus gudang buah miliknya. Tiba-tiba ia disadarkan dengan pembeli, meski ada karyawan yang melayani ia tetap saja mengontrol dan mengawasi kinerja karyawan di gudang maupun di toko. Seorang pembeli ingin menemuinya.
      Ia memperhatikan sang pembeli tersebut, mukanya lebar, berbadan tinggi besar, berkulit hitam, beralis tebal dan memakai topi. Sekejap hampir ia ingin berteriak di depan karyawan-karyawannya. Tapi sepasang mata itu pernah merendahkannya. Mungkinkah jika ia menegur pembeli itu. Ia akan menyerangnya dan mancaci di depan karyawan-karyawannya. Dengan segala kekhawatiran, ia memberanikan diri menemui lelaki berbadan tinggi besar itu.
"Saya Ahmad, Sob!"Ahmad