Mohon tunggu...
Aisyah Safitri Hayati
Aisyah Safitri Hayati Mohon Tunggu... Guru - Teacher, Instructor, Asesor and Writer

Aktif mengajar di SMKN 31 Jakarta, Instruktur dan asesor di LSP P2KPTK2 Jakarta Pusat- BNSP, Senang Menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ra Popo

13 Februari 2023   14:20 Diperbarui: 13 Februari 2023   14:27 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebiasaan membasu kaki yang mengawalinya adalah ibunya yang kerap membasuh kakinya saat ia terlalu keras bekerja untuk biaya sekolahnya. Biasanya sambil memijat-mijat kaki ibunya sembari menasehatinya. "Kamu yang sabar toh, Mad! Kadang hidup itu memang harus dipaksakan adakalanya kita ingin bicara tapi kita harus diam, adakalnya kita begitu sakit tapi kita harus memaafkan." Ucap sang ibu kepada anaknya kala itu.

Musim akhir-akhir ini sulit diprediksi, bulan-bulan telah berlalu dengan panas tanpa hujan. Kebiasaan ini pun kembali bukan karena musim hujan. Tapi karena Ia seperti menuai emas yang telah digali dengan kepayahan sedari dulu. Ahmad kini menjadi seorang pengusaha juice sukses, ia kini memiliki lebih dari dua puluh tiga outlet juice.

Ritual yang sering  ia jalani bukan semata percaya akan sukses atau berhasil setelah melakukan ritual membasuh kedua kaki ibunya. Namun lebih ke pengabdian, rasa terima kasih pada ibunya yang semenjak kecil ia hanya sendiri mendidiknya.

Karena air dalam baskom sudah dingin, ia urungkan untuk mengambil air panas untuk kucampurkan, agar air dalam baskom kembali hangat.

"Tunggu sebentar mak..!" Ia meninggalkan ibu dengan kaki yang masih direndam.

"Iya, Mad!" Jawab ibu.

Selang kemudian ia kembali dengan membawa air panas dan sikat gigi bekas yang berada di loster dapur. Tanpa diminta ibu sudah mengangkat kedua kakinya. Sebelum  ia campur, air yang sudah dingin itu ia pakai untuk mencuci sikat gigi bekas yang sedikit berdebu.  Baru ia tuangkan.

Ibu pun kembali merendamkan kakinya ke air hangat. ia kembali memijat-mijat kaki ibu.  Ia usap-usap kulit kaki ibunya perlahan penuh kasih, kulit yang pecah-pecah itu lalu  ia urungkan untuk menyikat dengan sikat gigi bekas karena kakinya penuh bercak tanah yang sudah melekat.

Pelan-pelan ia membersihkannya. Ia benar-benar menikmati menyikat kedua kaki ibunya. Ibunya diam tak bersuara. Seakan dia pun menikamatinya. Saat hampir selesai menyikatnya. Ia menoleh pada ibunya,tak kuduga ibunya menangis.

"Kenapa Mak, kenapa emak  menangis?" Pungkasku cemas.

Ibunya hanya menangis tanpa berkata apa-apa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun