Dalam catatan sejarah peradaban manusia menyatakan bahwa laki – laki adalah sang pemburu (hunter) dan perempuan adalah sang peramu (gatherer). Catatan tersebut secara tidak langsung menjadikannya sebagai fokus utama dalam beberapa aspek, salah satunya budaya. Seperti yang sudah diketahui, bahwa di masa lampau kedudukan perempuan tidaklah seperti masa kini.
Zaman dahulu, keberadaan perempuan di dunia ini dianggap sangat lemah, rendah, bahkan dianggap sebagai pembawa musibah. Sehingga banyak terjadinya ketimpangan sosial terhadap perempuan atau ketidaksetaraan gender pada masa itu. Sama halnya dengan di Indonesia yang dulu pernah dijajah selama 3,5 abad lamanya, juga pernah terjadi ketidaksetaraan gender dan tentunya yang dirugikan adalah kaum perempuan.
Kedudukan kaum laki – laki yang dianggap superior dan sering dipandang sebagai pendominasi merupakan pandangan kental dalam budaya masyarakat yang kerap diterapkan oleh sebagian masyarakat. Hakikat keadilan dan kesetaraan gender memang tidak bisa dilepaskan dari konteks yang selama ini dipahami oleh masyarakat tentang peranan kedudukan laki – laki dan perempuan di dalam realitas sosial mereka.
Pensubordinasian terhadap perempuan dianggap telah menjadi sesuatu yang struktural dan digambarkan sebagai sebuah budaya patriarki, ada juga yang menjadikan patriarki sebagai ideologi. Patriarki adalah sistem sosial yang menempatkan laki – laki sebagai pemegang kekuasaan dan mendominasi dalam segala aspek daripada perempuan.
Di negara Indonesia sendiri, memperlihatkan mengenai kedudukan seorang laki – laki lebih tinggi daripada perempuan. Sejarah nasional pun menguak sebuah fakta di mana kaum perempuan tidak diperbolehkan untuk menempuh pendidikan (kecuali perempuan tersebut berasal dari kalangan priyayi atau bangsawan), apalagi memiliki sebuah profesi di luar rumah atau ikut berpartisipasi dalam birokrasi. Maka, muncul gerakan dari seorang bangsawan kelahiran Jepara, R. A Kartini, yang memperjuangkan emansipasi atau kesetaraan perempuan di bidang pendidikan.
Sebagaimana yang telah digambarkan dalam sejarah bahwa perempuan adalah kaum yang termarginalkan, paradigma terus terhegomoni hingga sekarang sehingga perempuan selalu dianggap kaum lemah dan tidak berdaya. Inilah faktanya seberapa kuat gerakan feminisme di Indonesia namun budaya patriarki yang sudah dipegang erat oleh masyarakat Indonesia susah dihilangkan. Walaupun perempuan saat ini sudah dapat menempuh pendidikan dengan bebas namun kembali lagi jika sudah berumah tangga harus dapat membagi peran, sebenarnya bias gender seperti ini muncul karena kontruksi masyarakat itu sendiri.
Praktik budaya patriarki masih membelenggu sebagian masyarakat Indonesia sampai saat ini. Hasil dari praktik tersebut menyebabkan timbulnya berbagai masalah sosial di Indonesia, seperti Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), pelecehan dan kekerasan seksual, pernikahan dini, dan stigma mengenai perceraian. Di dalam kasus pelecehan seksual, budaya patriarki memberikan konstruksi dan pola pikir apabila laki – laki berkaitan erat dengan ego maskulinitas sementara feminitas sendiri diabaikan dan dianggap sebagai sesuatu yang lemah.
Masyarakat seperti membiarkan saja jika ada laki – laki bersiul yang menggoda perempuan (catcalling) yang melintas di jalan, tindakan mereka seolah – olah menjadi hal yang lumrah dan wajar sebab sebagai laki – laki, mereka harus berani mengahadapi perempuan, laki – laki dianggap sebagai kaum penggoda sementara kaum perempuan adalah objek atau makhluk yang pantas digoda dan tubuh perempuan dijadikan sebagai tindakan kekerasan itu sendiri. Terlebih lagi jika perempuan tersebut melakukan perlawanan, laki – laki akan merasa disepelekan sehingga akan semakin menjadi – jadi dalam melakukan pelecehan dan kekerasan.
Terdapat pula yang disebut dengan victimblaming, atau suatu kondisi di mana pihak korban yang justru menjadi objek atau sasaran kesalahan dari sebuah kejadian. Pada kasus pelecehan seksual, perempuan justru erap kali menjadi pihak yang disalahkan, entah itu berkaitan dengan cara berpakaian, tingkah laku, waktu kejadian pelecehan, atau justifikasi yang tidak menempatkan laki – laki sebagai pelaku. Dan yang sangat menjadi permasalahan adalah ketika perempuan yang “menurut moralitas masyarakat” tidak bisa menjaga dirinya dengan baik atau terhormat. Para korban pun akhirnya dilabeli oleh lingkungan sosial dengan label yang jelek atau bahkan hina.
Munculnya berbagai masalah sosial tersebut tentunya mendorong kaum perempuan, pembela perempuan, serta penegak keadilan untuk segera bisa membereskan problematika tadi. Dorongan – dorongan tersebut ada karena melihat semakin maraknya ketimpangan sosial yang terjadi walaupun berlakunya hukum. Maka dari itu, feminisme hadir untuk sebagai bentuk penolakan dari konsep patriarki dan menjujung keadilan dan kesetaraan gender di kalangan masyarakat demi terciptanya relasi gender.
Keadilan gender adalah proses yang adil bagi perempuan dan laki – laki, untuk menjamin agar proses itu adil bagi perempuan dan laki – laki perlu tindakan – tindakan untuk menghentikan hal – hal yang secara sosial dan menurut sejarah menghambat perempuan dan laki – laki untuk berperan dan menikmati hasil. Keadilan gender mengantarkan perempuan dan laki – laki menju kesetaraan gender.
Kesetaraan gender adalah keadaan bagi perempuan dan laki – laki menikmati status dan kondisi yang sama untuk merealisasikan hak asasinya secara penuh dan sam – sama berpotensi dalam menyumbangkannya dalam pembangunan, dengan demikian kesetaraan gender adalah penilaian yang sama oleh masyarakat terhadap persamaan dan perbedaan perempuan dan laki – laki dalam berbagai peran yang mereka lakukan (KMNPP RI, 2001).
Sebagian masyarakat masih berasumsi feminisme adalah gerakan pemberontakan kaum perempuan terhadap kaum laki – laki. Akibat dari persepsi itu, timbul berbagai upaya untuk mengkaji ketimpangan tersebut serta menemukan cara untuk menyejajarkan kaum perempuan dan laki – laki sesuai dengan potensi yang dimiliki mereka sebagai manusia.
Pemahaman konsep terhadap feminisme yang sesuai diharapkan akan membuka pemikiran masyarakat tentang gerakan feminisme secara seimbang dan adil. Dari pengertian feminisme yang ada tujuan tersiratnya, masyarakat yang terbilang sudah dewasa dalam berpikir dan lebih baik dalam pendidikan dari masa lampau silam, semestinya bisa menangkap makna tersirat tersebut guna terciptanya keadilan baik bagi kaum perempuan dan juga kaum laki – laki.
Inti dari gerakan feminisme adalah kesadaran akan diskriminasi, ketidakadilan dan subordinasi perempuan serta usaha untuk mengubah usaha tersebut menuju suatu sistem yang adil antara laki – laki dan perempuan.
Feminisme masa kini adalah perjuangan untuk mencapai kesetaraan harkat dan kebebasan perempuan dalam mengelola kehidupan dan tumbuhnya baik di ruang domestik dalam rumah tangga maupun di ruang publik dalam lingkungan masyarakat. Kaum feminis juga menuntut suatu masyarakat yang adil serta persamaan hak antara laki – laki dan perempuan.
Dengan demikian, untuk bisa menjadi feminis tidaklah harus menjadi berjenis kelamin perempuan. Laki – laki pun bisa,-seharusnya bisa-, menjadi feminis agar bisa menyebarkan serta mengajak masyarakat untuk mempunyai kesadaran dan kepedulian untuk mengubah ketidakadilan dan penindasan terhadap perempuan, baik dalam keluarga maupun masyarakat.
Feminisme yang bercita – cita mewujudkan kesetaraan gender itu juga akan membawa pada relasi gender. Merujuk pada kata relasi yang berarti hubungan, dapat disimpulkan bahwa relasi gender adalah hubungan antara laki – laki dan perempuan yang memiliki hak dan keadilan yang sama rata tanpa dibeda – bedakan satu sama lain.
Adapun relasi gender di Indonesia bisa berupa interpretasi dari manusia (masyarakat) yang telah membuka pandangannya untuk tidak lagi menganut ajaran yang ada di dalam budaya patriarki, yang merugikan perempuan dan sebetulnya akan merugikan laki – laki juga.
Jadi dengan berparadigma “kesederajatan perempuan dan lelaki dengan tetap mengenal hak dan kewajiban baik domestik maupun sosial mereka” relasi gender menempatkan perempuan,-meminjam istilah yang popular di Indonesia-, sebagai “mitra sejajar” lelaki. Hubungan “mitra sejajar” berarti masing-masingnya mendapat kebebasan dan dapat mengembangkan diri, namun bersamaan dengan itu mereka tetap memperhatikan perlunya memelihara kerja sama, tolong menolong, saling menghargai, saling membutuhkan, saling menganggap penting, diantara mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Sakina, Ade Irma., dan Dessy Hasanah. 2017. “MENYOROTI BUDAYA PATRIARKI DI INDONESIA”. Social Network Journal UNPAD. Vol. 7. No. 1. Hal. 75.
Retnowulandari, Wahyuni. 2010. “BUDAYA HUKUM PATRIARKI versus FEMINISME: DALAM PENEGAKAN HUKUM DIPERSIDANGAN KASUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN”. JURNAL HUKUM. Vol. 8. No. 3. Hal. 29.
Hasan, Nur., dan Robby Maulana. 2014. “KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER DALAM PANDANGAN PEREMPUAN BALI: STUDI FENOMENOLOGIS TERHADAP PENULISAN PEREMPUAN BALI”. Jurnal Psikologi Undip. Vol. 13. No. 2.
Idrus, Nurul Ilmi. 2006. “Antropologi Feminis: Etnografi, Relasi Gender dan Relativisme Budaya di Indonesia”. ANTROPOLOGI INDONESIA. Vol. 30. No. 3
Setyobudi, Imam., dan Mukhlas Alkaf. “ANTROPOLOGI FEMINISME DAN POLEMIK SEPUTAR TUBUH PENARI PEREMPUAN JAIPONGAN MENURUT PERSPEKTIF FOUCAULT”. Jurnal Humaniora.
Artikel dari google scholar di laman http://digilib.unila.ac.id/14185/19/II.pdf
Faruk, A. 2014. “TRANSFORMASI RELASI GENDER”. Nur El-Islam. Vol. 1. No. 1. Hal. 102.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H