Mohon tunggu...
Aisyah Ajhury Alhasani
Aisyah Ajhury Alhasani Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Dosen UIN KHAS Jember dan aktif berdakwah serta punya hobi traveling

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kisruh UU Pilkada

23 Agustus 2024   00:25 Diperbarui: 23 Agustus 2024   05:02 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

                                                                                                             Kisruh Revisi UU Pilkada

                                                                                                        Oleh : Aisyah Ajhury Al Hasani

Konflik internal antara DPR, Mahkamah Konstitusi (MK), dan masyarakat sipil terkait UU Pilkada mencerminkan perbedaan pandangan dan kepentingan dalam mengelola proses pemilihan kepala daerah di Indonesia. Konflik ini biasanya muncul dari ketidaksepakatan mengenai bagaimana pemilihan kepala daerah harus diatur untuk menjaga prinsip demokrasi, partisipasi politik, dan stabilitas pemerintahan. Berikut adalah beberapa dimensi konflik tersebut:

1. Perspektif DPR

   - Kepentingan Politik: DPR, sebagai lembaga legislatif, memiliki peran utama dalam merancang dan mengesahkan undang-undang, termasuk UU Pilkada. Anggota DPR sering kali mewakili kepentingan partai politik, yang mungkin memiliki agenda tertentu terkait bagaimana pemilihan kepala daerah harus dilakukan. Misalnya, ada upaya untuk mengubah sistem pemilihan dari langsung oleh rakyat menjadi tidak langsung melalui DPRD, yang dapat meningkatkan kontrol partai atas proses politik daerah.

   - Kontroversi Revisi UU Pilkada: Ketika DPR mengusulkan revisi UU Pilkada, yang mengubah cara atau sistem pemilihan, hal ini sering kali memicu kontroversi. Misalnya, perubahan dari pemilihan langsung ke pemilihan tidak langsung (melalui DPRD) telah menjadi isu yang sangat diperdebatkan karena dianggap mengurangi partisipasi langsung rakyat dalam pemilihan kepala daerah.

2. Perspektif Mahkamah Konstitusi (MK)

   - Penjaga Konstitusi: MK berperan sebagai lembaga yang memastikan setiap undang-undang, termasuk UU Pilkada, tidak bertentangan dengan konstitusi. Ketika ada pengajuan judicial review, MK menilai apakah ketentuan dalam UU tersebut sesuai dengan UUD 1945.

   - Keputusan yang Mengikat: Putusan MK bersifat final dan mengikat. Hal ini sering kali menjadi sumber ketegangan jika putusan tersebut bertentangan dengan kehendak politik DPR atau pemerintah. Sebagai contoh, jika MK membatalkan ketentuan dalam UU Pilkada yang dianggap inkonstitusional, DPR harus menyesuaikan undang-undang tersebut, yang terkadang dianggap tidak sesuai dengan agenda politik tertentu.

3. Perspektif Masyarakat Sipil

   - Kepentingan Demokrasi: Masyarakat sipil, termasuk mahasiswa, LSM, dan organisasi masyarakat lainnya, sering kali mengadvokasi agar UU Pilkada tetap mendukung prinsip-prinsip demokrasi, transparansi, dan partisipasi rakyat. Mereka biasanya menentang perubahan yang dianggap mengurangi hak-hak rakyat untuk memilih pemimpin mereka secara langsung.

   - Protes dan Aksi Massa: Ketika masyarakat sipil merasa bahwa perubahan UU Pilkada merugikan demokrasi, mereka seringkali turun ke jalan untuk menyuarakan penolakan. Demonstrasi, aksi protes, dan kampanye publik sering menjadi cara masyarakat sipil menekan pemerintah dan DPR agar tidak mengesahkan revisi yang kontroversial.

4. Konflik dan Ketegangan

   - Kepentingan Berbeda: Ketegangan muncul karena perbedaan kepentingan antara DPR yang mungkin ingin meningkatkan kontrol politik, MK yang ingin menjaga konstitusionalitas, dan masyarakat sipil yang berjuang untuk mempertahankan demokrasi dan partisipasi rakyat.

   - Kritik terhadap DPR dan Pemerintah: Masyarakat sipil sering mengkritik DPR dan pemerintah jika dianggap membuat undang-undang yang menguntungkan elit politik dan mengabaikan aspirasi rakyat. Hal ini dapat memicu ketegangan politik dan sosial.

   - Peran Media dan Opini Publik: Media memainkan peran penting dalam menginformasikan dan membentuk opini publik tentang konflik ini. Liputan media dapat memperkuat posisi masyarakat sipil atau bahkan mempengaruhi kebijakan yang dibuat oleh DPR dan pemerintah.

5. Solusi Potensial

   - Dialog dan Mediasi: Untuk meredakan ketegangan, perlu ada dialog yang terbuka antara semua pihak, termasuk DPR, MK, pemerintah, dan masyarakat sipil. Mediasi melalui lembaga independen juga bisa menjadi solusi untuk menemukan titik temu.

   - Transparansi Proses Legislasi: Meningkatkan transparansi dan partisipasi publik dalam proses legislasi dapat mengurangi kecurigaan dan ketegangan. DPR sebaiknya melibatkan berbagai pihak dalam pembahasan perubahan UU Pilkada.

   - Penghormatan terhadap Keputusan MK: Semua pihak, terutama DPR dan pemerintah, harus menghormati keputusan MK sebagai lembaga penegak konstitusi. Ini penting untuk menjaga stabilitas hukum dan politik di Indonesia.

Secara umum, DPR tidak memiliki kewenangan untuk langsung menganulir keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). MK adalah lembaga yudikatif independen yang bertugas menafsirkan dan menguji konstitusionalitas undang-undang. Ketika MK memutuskan bahwa suatu undang-undang atau bagian dari undang-undang bertentangan dengan UUD 1945, keputusan itu bersifat final dan mengikat.

Namun, DPR memiliki beberapa opsi yang dapat digunakan jika mereka tidak setuju dengan keputusan MK terkait UU Pilkada:

  1. Membuat Revisi Baru: DPR dapat merumuskan ulang atau merevisi undang-undang tersebut untuk memenuhi putusan MK, tetapi dengan tetap mencoba mencapai tujuan politik mereka. Revisi ini harus tetap dalam koridor putusan MK dan UUD 1945.
  2. Mencari Jalan Lain Melalui Legislasi: DPR dapat mencoba menyusun undang-undang baru yang berbeda tetapi mengandung tujuan yang sama, selama tidak bertentangan dengan putusan MK atau UUD 1945.
  3. Proses Politik: DPR dapat menggunakan proses politik seperti negosiasi dengan pihak eksekutif atau membangun opini publik untuk mendukung versi UU yang mereka inginkan, meskipun hal ini tidak bisa menganulir keputusan MK.
  4. Judicial Review Lanjutan: Pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh putusan MK dapat mengajukan permohonan uji materi ulang, meskipun MK jarang mengubah putusannya sendiri. Ini bukan berarti menganulir, tetapi mencoba mengubah sudut pandang hukum terkait peraturan tersebut.

Dengan sistem hukum yang berlaku di Indonesia, keputusan MK tidak dapat dianulir oleh DPR. Namun, DPR dapat mengajukan revisi atau perundang-undangan baru untuk mencapai tujuan yang sama, asalkan sesuai dengan konstitusi dan tidak melanggar putusan MK.

Konflik ini mencerminkan dinamika demokrasi di Indonesia, di mana berbagai aktor dengan kepentingan berbeda mencoba mempengaruhi arah kebijakan publik, khususnya terkait pemilihan kepala daerah.

Penulis merupakan Kandidat Doctor Islamic Studies UIN KHAS Jember, Dosen, Tokoh Public dan Koordinator Pemberdayaan Perempuan ISNU (Ikatan Sarjana Nahdhatul Ulama' Jawa Timur 2017-2022)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun