- Protes dan Aksi Massa: Ketika masyarakat sipil merasa bahwa perubahan UU Pilkada merugikan demokrasi, mereka seringkali turun ke jalan untuk menyuarakan penolakan. Demonstrasi, aksi protes, dan kampanye publik sering menjadi cara masyarakat sipil menekan pemerintah dan DPR agar tidak mengesahkan revisi yang kontroversial.
4. Konflik dan Ketegangan
  - Kepentingan Berbeda: Ketegangan muncul karena perbedaan kepentingan antara DPR yang mungkin ingin meningkatkan kontrol politik, MK yang ingin menjaga konstitusionalitas, dan masyarakat sipil yang berjuang untuk mempertahankan demokrasi dan partisipasi rakyat.
  - Kritik terhadap DPR dan Pemerintah: Masyarakat sipil sering mengkritik DPR dan pemerintah jika dianggap membuat undang-undang yang menguntungkan elit politik dan mengabaikan aspirasi rakyat. Hal ini dapat memicu ketegangan politik dan sosial.
  - Peran Media dan Opini Publik: Media memainkan peran penting dalam menginformasikan dan membentuk opini publik tentang konflik ini. Liputan media dapat memperkuat posisi masyarakat sipil atau bahkan mempengaruhi kebijakan yang dibuat oleh DPR dan pemerintah.
5. Solusi Potensial
  - Dialog dan Mediasi: Untuk meredakan ketegangan, perlu ada dialog yang terbuka antara semua pihak, termasuk DPR, MK, pemerintah, dan masyarakat sipil. Mediasi melalui lembaga independen juga bisa menjadi solusi untuk menemukan titik temu.
  - Transparansi Proses Legislasi: Meningkatkan transparansi dan partisipasi publik dalam proses legislasi dapat mengurangi kecurigaan dan ketegangan. DPR sebaiknya melibatkan berbagai pihak dalam pembahasan perubahan UU Pilkada.
  - Penghormatan terhadap Keputusan MK: Semua pihak, terutama DPR dan pemerintah, harus menghormati keputusan MK sebagai lembaga penegak konstitusi. Ini penting untuk menjaga stabilitas hukum dan politik di Indonesia.
Secara umum, DPR tidak memiliki kewenangan untuk langsung menganulir keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). MK adalah lembaga yudikatif independen yang bertugas menafsirkan dan menguji konstitusionalitas undang-undang. Ketika MK memutuskan bahwa suatu undang-undang atau bagian dari undang-undang bertentangan dengan UUD 1945, keputusan itu bersifat final dan mengikat.
Namun, DPR memiliki beberapa opsi yang dapat digunakan jika mereka tidak setuju dengan keputusan MK terkait UU Pilkada:
- Membuat Revisi Baru: DPR dapat merumuskan ulang atau merevisi undang-undang tersebut untuk memenuhi putusan MK, tetapi dengan tetap mencoba mencapai tujuan politik mereka. Revisi ini harus tetap dalam koridor putusan MK dan UUD 1945.
- Mencari Jalan Lain Melalui Legislasi: DPR dapat mencoba menyusun undang-undang baru yang berbeda tetapi mengandung tujuan yang sama, selama tidak bertentangan dengan putusan MK atau UUD 1945.
- Proses Politik: DPR dapat menggunakan proses politik seperti negosiasi dengan pihak eksekutif atau membangun opini publik untuk mendukung versi UU yang mereka inginkan, meskipun hal ini tidak bisa menganulir keputusan MK.
- Judicial Review Lanjutan: Pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh putusan MK dapat mengajukan permohonan uji materi ulang, meskipun MK jarang mengubah putusannya sendiri. Ini bukan berarti menganulir, tetapi mencoba mengubah sudut pandang hukum terkait peraturan tersebut.