Mohon tunggu...
Aisyah Amini
Aisyah Amini Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Terima kasih sudah membaca! Dorongan dan kritik yang membangun sangat dibutuhkan dalam menulis karya selanjutnya (:

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Learn, Unlearn, Relearn: Apakah "Nilai" Dapat Membentuk Standar Intelektual?

5 Juli 2022   01:08 Diperbarui: 7 Juli 2022   19:47 1020
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pendidikan (Sumber Sinar Mas via www.kompas.com)

Seperti yang kita ketahui, hal yang menjadi acuan di sekolah adalah nilai yang tinggi, seseorang yang mempunyai nilai atau ranking yang tinggi akan lebih dipandang bahkan diberi label sebagai standar kecerdasan. 

Sayangnya, nilai yang tinggi di sekolah tidak menjamin seseorang siap untuk menjalani kehidupan selanjutnya. Walaupun riset mengatakan bahwa nilai di sekolah itu berkorelasi dengan kesuksesan, tetapi jika melihat sisi kehidupan nyata, ternyata seseorang dengan nilai rendah pun dapat masuk ke standar sukses. 

Pandangan Sir Kenneth Robinson yakni seorang ahli di bidang pendidikan, kegiatan pembelajaran di sekolah sebenarnya perlahan mengikis kreativitas siswa. Siswa diajarkan untuk terus menerus mengikuti hal yang sama seperti semua orang untuk mempunyai standar yang sama. Bagaimana mereka belajar, kapan mereka harus berhenti belajar, dan kapan harus mendapatkan nilai. 

Menilik pada pandangan Sir Kenneth Robinson, tipe pembelajaran seperti ini yang menghilangkan kreativitas sehingga pada akhirnya mereka tidak diberikan ruang untuk melakukan hal yang mereka ingin lakukan seperti kurangnya inovasi untuk mengekspor jawaban-jawaban yang ada pada diri masing-masing individu. 

Melihat dari sekian banyak kurikulum yang berlaku di Indonesia, apakah pendidikan di Indonesia yang diterima pelajar sudah relevan dan berkorelasi dengan kehidupan selanjutnya?

Di Indonesia, pendidikan masih mengarah pada nilai sebagai tolak ukur standar kecerdasan seseorang. Persepsi tersebut tentu hanya dirasakan pada sesuatu yang tampak saja, karena di luar dari hal itu siswa memiliki keahlian masing-masing yang bervariasi. 

Siswa yang kemampuannya kurang pada bidang akademik, kemungkinan mereka mempunyai kelebihan di luar akademik yang terbatasi dan belum tersalurkan. 

Sebaiknya nilai bukan menjadi penentu kelulusan karena ada faktor eksternal yang dapat kita lihat di luar hal tersebut. 

Belajar memang parameter hasilnya adalah nilai, namun proses seseorang melakukan pembelajaran merupakan hal yang lebih penting sehingga berpengaruh pada cara untuk berpikir kritis, bagaimana cara untuk merumuskan masalah, hal-hal yang tak kasat mata seperti ini terkesan tidak penting, namun hal inilah yang akan berguna untuk seseorang dalam bersosialisasi di kehidupan nyata.

Banyak sekali orang yang sekolah namun tidak merasa mempunyai proses belajar. Mengapa masih banyak anak yang memiliki nilai ujian yang tinggi namun belum mencapai standar sukses? 

Kenyataannya pendidikan semakin lama semakin tidak relevan, sebaiknya bukan hanya siswa yang terus belajar, melainkan guru dan orang tua pun harus ikut serta dalam proses belajar. 

Anak Indonesia diharapkan dapat menggapai cita-cita setinggi mungkin bukan hanya diibaratkan seperti manusia yang hanya mendengarkan tanpa suara. Pendidikan belum menjadi jembatan perubahan, melainkan hanya menjadi jembatan kertas.

Melihat waktu belajar di Indonesia yang sangat memakan waktu, siswa masuk sekolah pukul 06.30 dan selesai pukul 15.00 atau biasa dikenal dengan sebutan full day school.

Bayangkan apabila sepulang sekolah ada siswa yang harus les privat kemudian mengerjakan tugas sekolah, hal ini benar-benar memforsir tenaga dan pikiran siswa. 

Tenaga siswa akan terkuras perihal waktu, jika sudah lelah maka kegiatan belajar mengajar pun terganggu, begitupun pelajaran yang diterima tidak akan menyerap secara efektif dengan demikian, siswa akan memiliki pandangan yang tidak menyenangkan terhadap sekolah dan belajar. 

Durasi waktu belajar sebaiknya dipersingkat, namun tetap menanamkan kesadaran pada siswa untuk menggunakan waktu dengan baik dan efektif untuk mengeksplorasi hal baru dan kegiatan belajar mengajar menjadi lebih menyenangkan. 

Apakah hal yang diajarkan disekolah sudah relevan dengan kehidupan nyata? Sedangkan yang dibutuhkan dalam kehidupan adalah kecerdasan emosional, kecerdasan intelektual, bagaimana cara untuk berinteraksi sosial, pelatihan leaderdship, pengetahuan tentang diri dan masih banyak lagi.

Dari masalah di atas, dapat dipahami bahwa semua berawal dari mindset kemudian coba pelajari hal-hal penting dalam hidup yang belum pernah dipelajari di sekolah. 

Penting bagi kita untuk belajar relationship, belajar kepribadian, dan mengenal diri karena manfaatnya langsung  pada kehidupan kita yang belum banyak kita pelajari di sekolah. 

Memiliki self knowledge yang baik, tujuan hidup yang terarah, dan open minded maka kita dapat memberikan contoh kepada peserta didik, teman-teman bahkan keturunan selanjutnya.

Menilik pada pandangan Einstein, sistem pendidikan di Indonesia masih menggunakan metode menghafal, namun metode menghafal bukanlah sebuah cara belajar yang tepat. 

Salah satu ciri bahwa pendidikan di Indonesia masih bermasalah karena beberapa institusi pendidikan memaksakan anak untuk menghafal. Kuncinya adalah pahami dahulu konsepnya kemudian mengerti bagaimana pengaplikasiannya. 

Sebetulnya minat adalah kunci utama untuk membuat siswa menjadi tertarik dengan pelajaran dan menghindari memaksakan untuk menghafal. 

Hal-hal yang kita hafalkan waktu sekolah dulu, belum tentu benar dengan keadaan kehidupan nyata yang kita rasakan sekarang. Guru sebaiknya menjadi acuan untuk peserta didik karena tanpa dipungkiri guru lebih intens bertemu dengan anak. 

Guru yang baik akan memosisikan bagaimana sikap yang dikorelasikan ketika proses belajar mengajar. 

Ketika melihat siswanya benar, maka pujilah dia. Ketika melihat siswanya keliru, maka bantu dan bimbing dia karena sudah kewajiban seorang guru membuat siswanya paham, dari sikap tersebut sebagai pendidik perlu memahami perbedaannya. 

Pembenahan kualitas pendidikan diharapkan mampu membentuk manusia-manusia bermutu yang mampu secara kreatif, inovatif, berpikir tingkat tinggi, berkarakter baik, dapat mengombinasikan intelektual, emosional dan spiritual untuk menjadi solusi atas masalah yang menerpa pendidikan di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun