Mohon tunggu...
Aisyatul Fitriyah
Aisyatul Fitriyah Mohon Tunggu... -

mahasiswa ulul albab,berjiwa pancasila

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sweet Memoar Hayati

19 Juni 2015   20:55 Diperbarui: 20 Juni 2015   02:38 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Revisi, September 2014

Bismillahirrahmanirrahim

Sweet Memoar Hayati

            Aku membuka lemari buku yang ada di sudut perpustakaan pribadiku. Lemari yang penuh dengan buku buku yang aku koleksi dari dulu. Pandanganku mengarah pada buku bersampul kuning tua keemasan dan hampir saja penuh debu. Buku ini penuh dengan cacatan pribadiku masa SMA. Tiada halaman yang kosong akan ceritaku dalam buku ini. Aku buka lembar demi lembarannya, dan... ada sesuatu yang jatuh dari halaman tengah buku ini.

            Tanganku segera meraih sebuah foto lama yang terjatuh ke lantai tepat di depanku. Foto perempuan yang masih belia beerjilbab warna abu abu, lengkapnya dengan senyum di wajahnya yang ranum. “Hayatii...” gumamku berbisik pada foto yang tersenyum tanpa respon padaku. Kupandangi wajahnya yang ranum itu. Kusampaikan segala rindu yang tersisa padanya. Aku menyadari sungguh tak ada kesan yang “wah” pada rupanya. Tapi diriku mengaku damai bila memandangnya.

            Namaku Hamka. Hayati adalah bagian masa lalu yang menyisakan kesan mendalam dalam hidupku. Untukmu yang membaca baiklah, akan aku uraikan hal hal terindah yang masih hangat dalam ingatanku tentang Hayati. Tenang saja, Syifa istriku yang cantik itu tak akan keberatan karena dia sudah tahu tentang itu. Syifa istriku, senang melihatmu yang tak pernah cemberut meski cemburu ketika mendengar ceritaku berulang kali.

# # #

            Gadis itu bernama Hayati. Teman teman di sekolah biasa memanggilnya Aya’. Tetapi aku lebih suka memanggilnya “Ay” saja. Ay (Ai) adalah cinta. Ya. Aku mencintai Ay. Cinta sebagai teman, sebagai sahabat, dan saudara.

            Aku senang melihat Ay tersenyum. Senyumnya manis (menurutku). Ay adalah gadis yang mahal senyum. Menemukan senyum seorang Ay adalah keberuntungan yang langkah bagiku. Dan yang paling mengerikan adalah ketika Ay marah padaku, aku bahkan tak menemukan keelokan yang ada pada wajahnya yang ranum.

            “Hamka, Hamkaa...” seorang teman memanggilku. Dia Anwar teman kelasku, tukang pos langganan Ay jika berkirim surat padaku.

            “Bertemu dimana dengan Ay” tanyaku padanya.

            “Tadi Aya’ menemuiku di lapangan. Hamka, boleh aku bertanya tentang suatu hal?”

            “Tentang Ay?” aku langsung menukasnya.

            Anwar mengangguk dan tersenyum nakal padaku. Aku faham maksud dari pertanyaan Anwar tentang Ay. Pasti dia mengira aku berpacaran dengan Ay seperti dugaan teman teman yang lain. Tentu saja tidak. “Ay itu teman baikku, Anwar. Aku tidak mungkin mengkhianati kekasihku, Syifa”

            Anwar segera berlalu dari hadapanku. Lalu kupandang sepucuk surat dari Ay di tanganku, kemudian tersenyum sendiri. Kita seperti orang berpacaran saja Ay. Saling berkirim surat rahasia, jangan heran dengan dugaan teman teman tentang kita. Aku teringat abuya HAMKA, beliau seorang penulis periode pujangga baru. Dalam bukunya yang tersohor, beliau menghadirkan tokoh Hayati dengan segala keistimewaannya. Dan aku adalah Hamka muda yang memainkan peran kehidupan dengan seseorang bernama HAYATI.

            Sebalum membuka lipatan surat rahasia dari Ay, ada ritual yang tak mungkin terlupakan yakni membayangkan senyum Ay yang ranum. Senyum khasnya yang indah dan langka, juga tawanya yang mempesona.

# # #

            “Hamka, aku mencarimu dari tadi” Ay berlari ke arahku. Membawa wajahnya yang cemberut. Dalam hati aku berbisik pada dirinya, tersenyumlah Ay. Kamu terlihat cantik kalau tersenyum.

            “Ada apa Ay?” tanyaku lembut. Aku tidak tega berkata kasar padanya. Ay terlalu sayang untuk dikerasi.

            “Aku pinjam bukumu yang warna kuning itu ya. Jangan lupa besok dibawa...!”

            “Insyaallah. Ada lagi?”

            “Itu saja...”

            “Baiklah, besok ya, say...”

            “Aphaa???” matanya membulat mengerikan. “Kamu bilang apa tadi? Sayang...?” dia tersenyum sinis padaku. “Hamka, dengar ya namaku Hayati. Aya’...!!” dia lagi lagi menyerbuku dengan semburan kata kata yang pedas di telingaku.

            “Masyaallah Ay, tidak perlu semarah itu lahh...”

            “Diam !! Atauuuu...”

            Ay siap melemparku dengan buku tebal ditangannya. Aku angkat tangan menyerah dan memilih diam sebelum buku ditangan Ay mendarat di wajahku. Duhh... Ay, Ay. Kapan kamu akan bersikap manis dan lembut padaku?

            Berbeda dengan episode hari itu, kali ini aku merasa Ay menunjukkan sikap yang lebih manis ketika aku menyerahkan buku pesanan Ay yang kemarin. Kami diam larut dengan pikiran masing masing setelah Ay mengucapkan terima kasih dengan seulas senyumnya yang menawan.

            “Hamka, suatu saat kita akan berpisah” ucapnya. Nadanya pelan, berbeda dengan semburannya yang kemarin.

            “Aku tidak ingin berpisah denganmu, Ay” jawabku. “Aku tidak akan melupakanmu Ay. Mungkin gak yaa, kita bertemu lagi di kemudian hari?”

            “Insyaallah, Tuhan tak pernah pelit member kesempatan pada hambaNya yang berharap”

            “Aya’, ehmm.. aku.....”

            “Sudah Hamka jangan terlalu larut pada rasa khawatir akan perpisahan” dia lebih cepat mengalihkan arah pembicaraanku. Aku melihat ada mendung yang sekilas berkelebat di wajahnya. Baiklah aku akan diam tak akan melanjutkan kata kataku lagi, Ay. jika terus berbicara, aku tahu kamu tidak suka. Tapi izinkan aku Ay, bila kisah yang penuh kenangan ini aku ceritakan pada istriku esok.

# # #

            Aku melihat Aya’ berbincang dengan teman temannya di depan kelas mereka. Entah apa yang sedang mereka bicarakan. Ay belum tahu tentang luka yang menusuk tajam di ulu hatiku. Kali ini aku ingin berbagi cerita dengannya. “Ayaa’... Ay, Ay !!” panggilku.

            Aya’ menghentikan tawanya ketika mendengar panggilanku. Dia menghampiriku dengan buah senyum yang mengambang sempurna. Pipinya ada goresan lesung pipit yang cekung dan indah. Bersih, tak ada mendung yang menggantung di wajahnya. “Ada yang aku ceritakan padamu, Ay. bersediakah kamu menengarnya?”

            Aya’ mengangguk. Matanya menatapku tajam. Namun mata itu terlihat teduh dan mengayomi bathinku. Wajah Ay kali ini tampak manis dan penuh kasih. Naluri Ay tak keliru menafsiri hatiku yang sedang dilanda lara. Maafkan aku Ay. Selam ini aku menganggapmu cuek juga tidak peduli padaku. Ternyata kamu teman yang meneduhkan bagiku.

            “Mulailah apa yang akan kamu ceritakan padaku, Hamka” pintanya.

            “Syifa melepas benang merah yang pernah kami ikat bersama. Dia meninggalkanku, Ay” ucapku lirih, tak tega pada diriku sendiri.

            Kamu terlihat kaget mendenga apa yang aku ucapkan padamu. Dan aku tidak mengerti Ay, tiba tiba kamu memalingkan wajah. Matamu berubah nanar dan berair. Sebelum ini aku belum pernah meihatmu menangis. Aku tahu itu. Bahkan membayangkan dirimu menangis di hadapanku, aku tak pernah. Airmatamu semakin mengalir deras menganak sungai di pipimu. Bukankah aku yang sedang terluka, mengapa dirimu yang menangis, Ay..??

            Jika melihatmu menangis Ay, aku ingin mengulurkan tanganku untuk menghapus airmata itu. Tapi tenanglah Aya’ aku tidak akan melakukannya. Aku tahu jika aku lakukan, kamu akan marah padaku.

            “Mengapa menangis, Ay?”

            “Maafkan aku, Hamka” wajahmu menunduk semakin mendalam. “Aku rasa dia meninggalkanmu karena kehadiranku dalam hidupmu” dia terisak dalam tangisnya.

            Tentu saja aku tak dapat menjawab pertanyaanmu, Ay. Sementara matamu menatapku. Tolong Ay, jangan menatap seruncing itu padaku. Aku memejamkan mata, lari dari tatapan matamu karena tak sanggup melihat Kristal bening yang berloncatan dari matamu.

            “Ini masalah pribadiku dan Syifa. Tak ada hubungannya denganmu. Cukup Ay, jangan menangis lagi...!” aku menghela napas sejenak. Ada rasa sesak di dalamnya. “Mungkin aku dan Syifa_ tidak berjodoh...”. Berucap kalimat yang terakhir itu rasanya ulu hatiku semakin nyilu. Seperti luka di setiap dindingnya semakin membesar. Hubunganku dengan Syifa terlalu kokoh untuk dirobohkan dengan alasan kecemburuannya pada Aya’. Dia mengira aku mengkhianati penantiannya yang jauh disana. Hubungan kami memanglah korban tradisi di daerah kami.

            “Bukankah jodoh itu hanya Tuhan yang menentukan, Hamka...”

            Aya’ membuyarkan lamunanku, hujan airmata di wajahnya sudah reda. Dia berbicara menguraikan jodoh, cinta, juga kesetiaan versi dia padaku. Kemudian dia memaksaku menyambung benang merah yang menghubungkan aku Syifa, agar kembali menjadi rajutan kisah yang indah. Padahal saat ini aku belum siap menyobek luka yang belum seutuhnya sembuh.

            Aku diam saja mendengarkan ceramahnya dari mulut Ay yang cerewet. Aku lelah berdebat denganmu, Ay. Tapi tak apa teruslah berbicara, aku suka mendengarnya. Dan jangan lupa, selipkan senyum di wajahmu yang ranum. Hayati_

# # #

            Hampir 15 menit aku mematung di depan kelas Aya’. Hari dia pulangnya agak siang, ada pelajaran tambahan di kelasnya. Sesekali aku melirik daun pintu yang masih tertutup rapat. Berharap Ay segera muncul dari sana. Tak lama kemudian harapanku terkabul. Daun pintunya di buka dan Ay muncul dari dalamnya. Aku melambaikan tangan padanya.

            “Sudah lama yaa menungguku?”

            “Lumayan. Aku kira sampai besok kamu pelajaran di kelasmu baru selesai”

            Ay menjewel langanku mengajak bercanda dan tertawa. Aku canda tawamu, juga senyumanmu yang sempat vakum sejak kamu menangis kemarin. Aku segera menyerahkan kertas karton yang digulung dan diikat pita padanya. “Untukmu... Aku membuatnya semalam”

            “Apa ini, Hamka?”

            “Sketsa seorang cewek galak sedang tersenyum”

            Jemari Ay mulai bergerak melepas ikatan pita yang yang menggulung karton yang aku berikan. Kemudian Ay menghampar karton di tangannya. Dalam karton itu aku membuat sketsa wajah Aya’ yang ranum. Dia mengenakan kerudung nan anggun, lengkap dengan senyum khasnya yang langka. Sungguh betapa kesulitan aku ketika menggambar senyum di wajahmu, Ay. Semalam suntuk aku tidur demi mengejar senyummu sebelum pudar dari ingatanku.

            “Sudah bisa menggambar nihh_” celetuknya padaku. Betapa malu aku Ay, karena kamu sudah faham aku tidak pandai menggambar. Dan kali ini aku berani memperlihatkannya padamu. “Nah, begitulah wajahmu kalau tersenyum, Hayati...!”

            “Terima kasih..”

            Aku mengangguk. Senyum Ay semakin melebar sempurna. Dia terlihat manis dengan gigi ginsulnya. Seandainya menjelma di mataku semalam, sungguh aku tak akan kesulitan mengabadikannya di sketsa itu. Lhaaa, kemudian Ay tertawa dengan tawa khasnya pula yang tak pernah aku dengarkan dari orang yang berbeda darinya. Suatu saat tawa dan senyum mahalmu itu akan aku rindukan.

# # #

            Ternyata itu adalah tawamu yang terakhir aku dengar darimu, Hayati. Setelah itu kita disibukkan dengan ujian di sekolah dan tak ada waktu bercanda lagi. Hingga lonceng perpisahan telah berbunyi. Padahal aku tak ingin mengetuk waktu kala itu. Sekarang Ay telah menghilang entah kemana. Ay. Aya’. Hayati, aku merindukan senyum dan tawa pada wajahmu yang ranum.

            Bagaimana kabarmu? Apa akhir dari keputusanmu Ay, antara menjadi Sastrawati atau menjadi Psikolog? Apakah kamu pilih salah satu dari keduanya, atau tidak sama sekali? Apakah kamu sudah menikah, Ay? Dengan siapa? Kapan dan tinggal dimana kamu sekarang? Pertanyaan pertanyaan ini belum terjawab menunggumu Ay.

            Semoga kamu selalu bahagia, Hayati. Seharusnya aku juga berbagi cerita denganmu tentang keluarga kecilku yang bahagia. Aku menikah dengan Syifa. Kebahagiaan kami semakin lengkap setelah kehadiran ‘Hayati’ kecil, buah dari cinta kasih kami. Naura Hayati. Cahaya Hidupku. Itulah nama peri kecilku yang menjadi pelita harapan hidup kami menelusuri zaman. Hayati, peri kecilku yang cantik mewarisi ibunya. Tetapi dia memiliki gigi ginsul seperti yang kamu punya, Ay. Ketika tersenyum, juga terlihat ranum seperti dirimu. Hayati_

            Tuhan mengabulkan ceramah yang kau katakana padaku waktu itu. Aku mengenganggapnya itu adalah kebiasaanmu yang cerewet. Namun, bukan. Ya, aku salah. Itu adalah doa tersirat yang diterima oleh Tuhan. Sekali lagi kau benar, Syifa adalah jodohku. Rupanya aku terlalu larut bernostalgia dengan kenangan bersamamu. Sampai aku rangsang telingaku tak merespon ketika istriku memanggil. Kemudian dia duduk bersejajar di sebelahku dan berkata,

            “Hamka, siapa gadis itu?”

            Syifa menatapku seperti tatapan Ay ketika memaksaku menjawab pertanyaannya. Aku khawatir bidadariku yang cantik ini akan marah. Aku terlalu sayang padanya, Syifa yang shalihah bidadari yang Tuhan hadiahkan padaku.

            “Ay?” katanya padaku dengan tatapan selidiknya yang tak berpaling menatapku. Aku mengangguk. Kemudian Syifa memandang wajah Ay lagi, dan mengulum senyum manisnya yang indah. Aku mendekapnya seraya berkata, “Jika kau Tanya cinta, itu adalah kamu...”

# # #

 

Aicha AF (Sumenep, 2011)

 

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun