“Ini masalah pribadiku dan Syifa. Tak ada hubungannya denganmu. Cukup Ay, jangan menangis lagi...!” aku menghela napas sejenak. Ada rasa sesak di dalamnya. “Mungkin aku dan Syifa_ tidak berjodoh...”. Berucap kalimat yang terakhir itu rasanya ulu hatiku semakin nyilu. Seperti luka di setiap dindingnya semakin membesar. Hubunganku dengan Syifa terlalu kokoh untuk dirobohkan dengan alasan kecemburuannya pada Aya’. Dia mengira aku mengkhianati penantiannya yang jauh disana. Hubungan kami memanglah korban tradisi di daerah kami.
“Bukankah jodoh itu hanya Tuhan yang menentukan, Hamka...”
Aya’ membuyarkan lamunanku, hujan airmata di wajahnya sudah reda. Dia berbicara menguraikan jodoh, cinta, juga kesetiaan versi dia padaku. Kemudian dia memaksaku menyambung benang merah yang menghubungkan aku Syifa, agar kembali menjadi rajutan kisah yang indah. Padahal saat ini aku belum siap menyobek luka yang belum seutuhnya sembuh.
Aku diam saja mendengarkan ceramahnya dari mulut Ay yang cerewet. Aku lelah berdebat denganmu, Ay. Tapi tak apa teruslah berbicara, aku suka mendengarnya. Dan jangan lupa, selipkan senyum di wajahmu yang ranum. Hayati_
# # #
Hampir 15 menit aku mematung di depan kelas Aya’. Hari dia pulangnya agak siang, ada pelajaran tambahan di kelasnya. Sesekali aku melirik daun pintu yang masih tertutup rapat. Berharap Ay segera muncul dari sana. Tak lama kemudian harapanku terkabul. Daun pintunya di buka dan Ay muncul dari dalamnya. Aku melambaikan tangan padanya.
“Sudah lama yaa menungguku?”
“Lumayan. Aku kira sampai besok kamu pelajaran di kelasmu baru selesai”
Ay menjewel langanku mengajak bercanda dan tertawa. Aku canda tawamu, juga senyumanmu yang sempat vakum sejak kamu menangis kemarin. Aku segera menyerahkan kertas karton yang digulung dan diikat pita padanya. “Untukmu... Aku membuatnya semalam”
“Apa ini, Hamka?”
“Sketsa seorang cewek galak sedang tersenyum”