“Tadi Aya’ menemuiku di lapangan. Hamka, boleh aku bertanya tentang suatu hal?”
“Tentang Ay?” aku langsung menukasnya.
Anwar mengangguk dan tersenyum nakal padaku. Aku faham maksud dari pertanyaan Anwar tentang Ay. Pasti dia mengira aku berpacaran dengan Ay seperti dugaan teman teman yang lain. Tentu saja tidak. “Ay itu teman baikku, Anwar. Aku tidak mungkin mengkhianati kekasihku, Syifa”
Anwar segera berlalu dari hadapanku. Lalu kupandang sepucuk surat dari Ay di tanganku, kemudian tersenyum sendiri. Kita seperti orang berpacaran saja Ay. Saling berkirim surat rahasia, jangan heran dengan dugaan teman teman tentang kita. Aku teringat abuya HAMKA, beliau seorang penulis periode pujangga baru. Dalam bukunya yang tersohor, beliau menghadirkan tokoh Hayati dengan segala keistimewaannya. Dan aku adalah Hamka muda yang memainkan peran kehidupan dengan seseorang bernama HAYATI.
Sebalum membuka lipatan surat rahasia dari Ay, ada ritual yang tak mungkin terlupakan yakni membayangkan senyum Ay yang ranum. Senyum khasnya yang indah dan langka, juga tawanya yang mempesona.
# # #
“Hamka, aku mencarimu dari tadi” Ay berlari ke arahku. Membawa wajahnya yang cemberut. Dalam hati aku berbisik pada dirinya, tersenyumlah Ay. Kamu terlihat cantik kalau tersenyum.
“Ada apa Ay?” tanyaku lembut. Aku tidak tega berkata kasar padanya. Ay terlalu sayang untuk dikerasi.
“Aku pinjam bukumu yang warna kuning itu ya. Jangan lupa besok dibawa...!”
“Insyaallah. Ada lagi?”
“Itu saja...”