Parliamentary treshold atau ambang batas parlemen menjadi kebijakan yang panas dirumuskan oleh wakil rakyat selama tiga pemilu terakhir (2009, 2014, dan 2019).Â
Menurut August Mellaz, threshold, electoral threshold, ataupun parliamentary threshold pada dasarnya sama, yakni ambang batas (syarat) yang harus dilampaui oleh partai politik, untuk dapat mengirimkan wakilnya ke lembaga perwakilan.[1] Belum genap setahun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjabat, regulasi mengenai pemilu kembali mencuat ditengah pandemi Covid-19.Â
Evaluasi serta formulasi mengenai kebijakan pemilu menjadi hal yang serius dilakukan untuk mempersiapkan pemilu 2024 menjelang. Pasca pemilu 2019 lalu, kebijakan ini menuai pro-kontra ditubuh parlemen itu sendiri.Â
Para anggota DPR dari masing-masing partai politik memiliki subjektifitas yang berbeda. Karena kebijakan ini akan berpengaruh terhadap nasib partai politik dalam pemilu selanjutnya.Â
Kebijakan ambang batas ini pertama kali digunakan pada pemilu 2009 silam. Kebijakan ini pertama termuat dalam Undang-Undang nomor 10 tahun 2008.Â
Pasal 202, menyebutkan bahwa Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5 persen dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR. Pada pemilu 2009, yakni 28 dari 44 partai politik tidak lolos dari ambang batas.[2]
 Berlanjut dengan formula baru mengenai kebijakan ambang batas ini, pada pemilu 2014 DPR berhasil merevisi UU nomor 10 tahun 2008 menjadi UU nomor 8 tahun 2012. Pasal 208 menetapkan bahwa ambang batas parlemen dinaikkan menjadi 3,5%. Kebijakan ini kembali tidak meloloskan dua partai pada pemilu 2014.[3]Â
Pada tahun 2017, peraturan ini kembali di revisi menjadi UU Nomor 7 tahun 2017. Ambang batas yang ditentukan pun kian meningkat dari kebijkan sebelumnya menjadi 4% untuk pemilu 2019. Dari kebijakan terbaru mengenai ambang batas ini, dipemilu 2019 terdapat 7 parpol yang tidak lolos 4% dari ambang batas.Â
Dinamika yang sudah terjadi dari pemilu 2009 hingga 2019 diatas membuat persaingan antar partai politik semakin ketat. Persaingan ini menyisakan partai-partai dengan suara terbanyak dalam pertarungan kursi parlemen.Â
Hubungan sebab-akibat dari kebijakan yang sudah terjadi harus bisa diperhatikan oleh masyarakat kedepannya. Dengan semakin berkurangnya partai politik di parlemen menjadikan wadah aspirasi semakin berukurang. Disinilah titik dimana demokrasi yang semakin dikebiri.
Ihwal parliamentary treshold ini, membuat partai-partai besar semakin keras melantangkan dalam meningkatkan ambang batas dari sebelumnya. Ditengah pandemi yang sedang dihadapi Indonesia, DPR sudah memulai untuk merancang regulasi baru mengenai pemilu. Kali ini wacana yang muncul ialah menaikkan ambang batas dari 4% menjadi 7%.[4]
Wacana ini disampaikan oleh Partai Nasdem dan Partai Golkar. Namun, terdapat parpol yang tetap ingin mempertahankan ambang batas ini diangka 4%, yaitu PAN, PPP, dan PKS. Perdebatan yang berhasil tersajikan ialah bagaimana PT ini dapat menghambat partai kecil dan semakin memperkuat posisi partai besar di kursi parlemen.Â
Terancamnya Demokrasi
Dalam beberapa kasus di dunia, sistem parliamentary treshold menjadi parameter demokrasi disuatu negara. Disinilah demokrasi suatu negara dapat dikatakan mapan atau masih ditahap transisi.Â
Negara yang sedang ditahap transisi demokrasi---dalam hal ini suatu negara sedang membangun sistem demokrasi dari perubahan dari sistem sebelumnya---menaruh ambang batas yang rendah untuk meningkatkan partisipasi politik. Begitupun sebaliknya, negara yang sudah mapan dalam demokrasi menaruh angka tinggi dalam ambang batasnya.[5]Â
Menurut Sunny, ketentuan tentang parliamentary threshold di masing-masing negara umumnya dipengaruhi oleh keberadaan kultural dan sejarah dari berdirinya negara tersebut.[6] Â Â Â Â
Dalam sistem demokrasi modern, partai politik, pemilu, dan Dewan Perwakilan Rakyat menjadi 3 institusi yang tidak bisa dipisahkan. Robert Dahl menyampaikan, rezim demokrasi pemilihan memiliki empat unsur penunjang seperti universal, kelompok pemilihan yang aktif, hak yang universal dan pasif untuk memilih, pemilihan yang bebas dan adil.[7]Â
Menurut Dahl, salah satu variasi demokrasi adalah pluralist democracy. Karakteristik utamanya adalah, adanya jaminan kebebasan dan kemerdekaan dan adanya sistem pemilihan yang kompetitif.[8] Â
Dengan adanya kebijakan PT ini, sistem demokrasi yang ideal akan tereduksi. Sistem demokrasi yang berbentuk perwakilan melalui partai politik dan anggota DPR dapat berujung kepada sistem oligarki dari beberapa kelompok saja.Â
Penyederhanaan partai politik yang substansi yang terdapat dalam kebijakan PT ini sangat merugikan partai-partai kecil. Selain partai kecil, masyarakat pun tidak memiliki alternatif partai politik yang dipercaya.Â
Karena dengan penyederhanaan partai ini, menyisakan partai-partai besar yang mencapai ambang batas. Padahal masyarakat sudah mempercayakan suatu partai pada saat pemilu dan hanya menjadi suara yang terbuang saja. Seperti pada pemilu 2019 lalu, lebih dari 13 juta suara terbuang dengan adanya ambang batas 4%.[9]
Terbatasnya suara masyarakat dalam pemilu itu sendiri dapat menjadi bumerang terhadap demokrasi di Indonesia. Proses check and balances dalam pembentukan regulasi menjadi bentuk ideal dari demokrasi. Dengan adanya pembatasan dalam suara pemilu ini akan menimbulkan masalah baru dalam tubuh masyarakat.Â
Dengan kontur masyarakat yang plural di Indonesia, masing-masing kelompok menginginkan perwakilannya menjadi anggota.Â
Bahkan jika kita melihat pembuatan regulasi ini, para anggota DPR sudah tidak lagi menjadikan masyarakat sebagai tujuan dari kebijakan ini, yang berlangsung hanya tarik-menarik kepentingan dari masing-masing partai tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H