Artikel ini ditulis oleh  : Â
- Andini Nur Azzahra (121231295)
- Aisofia Hapsari Maharani (143231003)
- Danicha Eaghy Salva (176231003)
- Khailila Arumdapta (113231053)
- Kresnantyo Prabandaru (422231506)
- M. Zaky Irly Alqifari (434231025)
- Velycia Andhani Halim (151231007)
Â
Abstrak
Di era modern ini, anggapan bahwa kepemimpinan hanya boleh dipegang oleh laki-laki sudah tidak lagi relevan. Kebebasan adalah hak fundamental yang dimiliki setiap individu, tanpa memandang jenis kelamin. Namun, realita menunjukkan bahwa perempuan masih kerap terkungkung dalam keterbatasan hak dan peluang, termasuk dalam ranah kepemimpinan. Perkembangan zaman dan pengaruh globalisasi memicu gerakan emansipasi perempuan, bahkan mendorong munculnya gagasan matriarki. Gerakan ini bertujuan untuk memperjuangkan hak dan kebebasan perempuan, serta mendukung konsep kesetaraan gender. Isu ini menjadi topik menarik untuk dikaji dalam esai ini. Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang konsep kesetaraan gender dalam berbagai aspek, khususnya dalam kepemimpinan.
Pendahuluan
      Feminisme merupakan gerakan yang muncul sebagai respons terhadap sistem patriarki yang mendominasi masyarakat. Gerakan ini bertujuan untuk mengangkat posisi perempuan yang selama ini terpinggirkan dan tertindas dalam sistem tersebut. Emansipasi wanita, yang memiliki tujuan serupa, turut memperkuat perjuangan feminisme dalam memperjuangkan kebebasan perempuan. Sejak awal peradaban, kebebasan selalu menjadi cita-cita luhur manusia, dan perempuan pun berhak untuk merasakannya. Beberapa kritikus menyatakan bahwa kebebasan merupakan nilai yang sangat penting dalam masyarakat, dan semua manusia berhak mendapatkan kebebasan tanpa memandang status ekonomi dan sosial mereka (Harrison & Boyd, 2003).
      Dalam dunia sosial bermasyarakat, nilai dan moral masyarakat sangat memengaruhi batasan kebebasan yang tertuang dalam hukum. Namun, tidak semua batasan kebebasan tertuang dalam hukum tertulis, adakalanya menjadi nilai dan norma yang terbentuk alami dalam bermasyarakat. Contohnya dapat berupa perundungan atau pengucilan pada kaum minoritas dan termarjinalkan. Dunia sosial merupakan elemen yang berperan penting dalam pembatasan kebebasan individu, khususnya bagi kaum perempuan yang kebebasannya sampai saat ini masih sering dibatasi oleh ekspektasi masyarakat.
      Sadar atau tidak, kebebasan kaum perempuan sangat dibatasi sejak dahulu hingga kini, terlebih lagi dalam masyarakat patriarki. Menurut Therborn (2004), sejak awal masyarakat selalu bersifat patriarki, tanpa pengecualian. Patriarki merupakan sebuah sistem stuktur dan praktik sosial di mana laki-laki mendominasi, menindas, dan mengeksploitasi perempuan, serta meyakini bahwa laki-laki selalu berada dalam posisi yang dominan dan perempuan berada dalam posisi subordinat, menurut pernyataan Walby (1990). Pendapat masyarakat mengatakan bahwa perempuan memiliki sifat yang tidak rasional, mengedepankan perasaan, mudah rapuh, dan kurang bisa dibebani secara mandiri (Weitz, 2003).
      Lahirnya gerakan feminisme merupakan tonggak sejarah penting dalam perjuangan perempuan untuk meraih kebebasan dan keadilan. Feminisme hadir sebagai sebuah pemikiran yang mendobrak paradigma lama yang menempatkan perempuan dalam posisi subordinat. Gerakan ini memperjuangkan kesetaraan hak bagi perempuan dan laki-laki di berbagai aspek kehidupan, mulai dari politik, sosial, seksual, intelektual, hingga ekonomi. Lebih dari sekadar gerakan, feminisme merangkum berbagai pemikiran, teori, filosofi, dan aksi yang berfokus pada isu-isu kesetaraan gender. Tujuan utamanya adalah mewujudkan keadilan bagi perempuan dan menghapus segala bentuk diskriminasi yang mereka alami. Pada awalnya, gerakan feminisme menyoroti ketidakadilan sosial dan disparitas hak yang mencolok antara perempuan dan laki-laki. Kini, di era modern, fokus perjuangan feminisme bergeser ke ranah kepemimpinan. Perempuan semakin menyuarakan haknya untuk berperan aktif dan menduduki posisi-posisi strategis dalam berbagai bidang.
Â
      Dampak dari Gerakan feminisme ini dapat kita rasakan di era sekarang. Perempuan dapat berpendidikan dengan layak, bahkan menitih karir di luar rumah sudah bukan menjadi hal yang tabu. Menjadikan perempuan lebih banyak muncul di sektor ruang publik, berprofesi sebagai pegawai kantoran, reporter, musisi, berniaga, bahkan menjadi seorang politikus yang mempunyai peranan penting dalam kepemimpinan. Menarik bukan untuk kita ulik lebih dalam tentang eksistensi peran perempuan di era sekarang ini!
PembahasanÂ
      Pada tahun 2015, negara-negara di dunia terutama yang merupakan anggota PBB menyepakati beberapa tujuan pembangunan berkelanjutan atau sebagai Sustainable Development Goals (SDGs). SDGs yang memuat 17 tujuan dan 169 target ini dimulai tahun 2016 dan menargetkan tahun 2030 sebagai tahun pencapaian target tujuannya. Dalam SDGs ini, mencapai kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan menjadi tujuan tersendiri dan tercantum sebagai tujuan ke-5 yaitu "Ensuring women's full and effective participation and equal opportunities for leadership at all levels of decision-making in political, economic and public life".
      Gerakan feminisme telah mengantarkan dunia pada era baru, di mana kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan menjadi pilar penting dalam pembangunan peradaban. Di tingkat nasional maupun global, kesetaraan gender diakui sebagai kunci untuk mencapai kemajuan di berbagai bidang, seperti politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Pemerintah Indonesia, sebagai anggota PBB, berkomitmen untuk mewujudkan kesetaraan gender. Hal ini dibuktikan dengan dibentuknya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA). Keberadaan kementerian ini menjadi bukti nyata komitmen pemerintah dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dan anak, yang seringkali termarjinalkan dalam masyarakat.
      Sebelum akhirnya perempuan dapat berperan dalam kepemimpinan atau bahkan turut bergabung di sektor pemerintahan, begitu panjang jalan yang dilalui. Terutama menjadi salah satu kelompok yang termarjinalkan oleh konsepsi sosial budaya di masyarakat, yang cenderung patriarkis tanpa memedulikan hak-hak perempupuan. Perlakuan diskriminatif, stigmatisasi buruk, kekerasan, bahkan pelecehan seksual seringkali diterima perempuan. Hal-hal tersebut menjadi alasan utama perempuan tidak berani menampilkan diri di sektor publik.
      Namun, dengan adanya Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), yang ditandatangani pada 1979 dalam konferensi yang diadakan Komisi Kedudukan Perempuan PBB, terdapat perlindungan hak yang diperoleh perempuan, yaitu;
hak dalam ketenagakerjaan,
setiap perempuan berhak memiliki kesempatan kerja yang sama dengan laki-laki. Baik itu dari proses awal seleksi, sampai dengan fasilitas lainnya dalam dunia kerja. Termasuk hak untuk cuti kehamilan dan melahirkan,
hak dalam bidang kesehatan,
hak dalam Pendidikan,
hak dalam perkawinan dan keluarga,
hak dalam kehidupan publik dan politik,
      kaum perempuan menjadi berani untuk melangkahkan diri melakukan hal yang sama dan sewajarnya dilakukan kaum lelaki.
      Bahkan tak jarang ditemui kepemimpinan perempuan di kalangan publik. Sejarah mencatat, seorang perempuan pertama yang terpilih menjadi presiden dalam sebuah pemilihan umum nasional. Tak lain dan tak bukan perempuan tersebut bernama Vigdis Finnbogadottir dari Islandia yang terpilih pada tahun 1980. Beberapa posisi jabatan lain seperti Perdana Menteri, Ketua Asosiasi, dan sejenisnya juga kerap dipegang oleh kaum perempuan. Pemimpin merupakan agen perubahan, orang yang perilakunya akan lebih memengaruhi orang lain daripada perilaku orang lain yang memengaruhi mereka. Kepemimpinan timbul ketika suatu anggota kelompok mengubah motivasi atau kompetensi anggota lainnya didalam kelompok. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan perempuan merupakan suatu proses atau kegiatan untuk mempengaruhi orang atau sekelompok orang anggota organisasi untuk mencapai tujuan bersama yang dilakukan oleh perempuan.
      Kepemimpinan bukan semata-mata kekuasaan yang kebanyakan berujung pada privilege khusus, kemudahan fasilitas, dan kemudahan mengakses kebijakan secara cepat dan mudah. Maka kepemimpinan bukan saja tugas kaum laki-laki tetapi tidak terkecuali kaum perempuan. Perempuan juga mempunyai tanggungjawab kepemimpinan pada level manapun. Setiap orang bisa menjadi pemimpin pada level apapun, baik sebagai pemimpin pemerintahan, lembaga maupun masyarakat (Suyatno, 2014).
      Kepemimpinan perempuan tidak sesederhana sebatas kehidupan domestik rumah tangga dan kodratif, seperti hamil, melahirkan, menyusui, dan sejenisnya. Akan tetapi dalam peran publik, perempuan juga sebagai anggota masyarakat dan warga negara yang mempunyai hak sama untuk mengemukakan pendapat, berpolitik, dan melakukan peran sosialnya. Dalam ranah domestik yaitu urusan rumah tangga, bukan hanya kaum laki-laki saja yang menjadi pemimpin, kaum perempuan pun juga memiliki tugas memimpin urusan rumah tangganya. Sederhananya, menjadi role model untuk anak-anaknya. Bahkan ada beberapa keadaaan yang mengharuskan perempuan berperan sebagi pemimpin keluarga sekaligus sebagai pengambil kebijakan di keluarga, misalnya pada single parent.
      Sudah banyak kaum perempuan yang dapat mengenyam dunia pendidikan yang sejajar dengan kaum lelaki, sehingga dapat menduduki jabatan strategis dalam urusan politik pemerintahan. Sebut saja di Indonesia Megawati Soekarno Putri sebagai presiden, Tri Rismaharani sebagai Walikota Surabaya, dan banyak jabatan-jabatan penting dalam kementerian yang juga dipegang oleh kaum perempuan.
      Dalam bidang ekonomi, kiprah perempuan sudah tidak diragukan lagi. Satu dekade terahir ini perempuan seolah menjadi bintang dalam upaya pengentasan kemiskinan. Berbicara mengenai ekonomi adalah juga berbicara mengenai perempuan, sebab kenyataannya, perempuan adalah agent of development yang perannya sangat dibutuhkan dalam perkembangan perekonomian. Keberdayaan wanita di bidang ekonomi adalah salah satu indikator meningkatnya kesejahteraan. Saat wanita menjadi kaum terdidik, mempunyai hak-hak kepemilikan, dan bebas untuk bekerja di luar rumah serta mempunyai pendapatan mandiri, inilah tanda kesejahteraan rumah tangga meningkat.
      Hal lain yang juga menarik untuk dibahas seputar peran perempuan, adalah adanya kegiatan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Tematik Perempuan. Peran serta perempuan dalam perencanaan pembangunan daerah dianggap penting, bahkan dijadikan forum khusus sebagai bentuk dukungan pemenuhan hak-hak mereka. Sebut saja Musrenbang Tematik Perempuan Kota Malang yang dilaksanakan sejak tahun 2019. "Perempuan adalah pendidik utama dan pertama bagi putra-putrinya. Perempuan merupakan potensi bagi daerah, jika daerah ingin maju maka potensi perempuan harus dikelola dengan baik agar mampu berperan," begitulah kata Sofyan Edi Jarwoko, Wakil Wali kota Malang yang membuka kegiatan tersebut.
      Dalam forum kegiatan Musrenbang Tematik Perempuan, seluruh proses diskusi mulai dari jaring aspirasi, hingga perumusan usulan kegiatan untuk pembangunan di anggaran tahun berikutnya hanya dilakukan oleh perempuan saja, tanpa ada campur tangan kaum lelaki. Hal tersebut merupakan wujud dari pembangunan yang responsif gender, dalam artian partisipasi perempuan dan laki-laki adalah setara dan bukan menimpang, untuk memastikan akses dan manfaat pembangunan dapat dibagi dengan adil dan dinikmati secara bersama-sama pula.
Kesimpulan
      Kaum perempuan merupakan kelompok termarjinalkan, yang hak-haknya dalam berbagai aspek seperti pendidikan, ekonomi, sosial budaya, dan politik perlu untuk dilindungi. Melalui gerakan feminisme dan konsep emansipasi wanita, budaya patriarki dapat dikesampingkan sehingga perempuan juga memiliki peranan dalam kepemimpinan.
      Persepsi sosial dalam masyarakat yang menganggap perempuan hanya bisa berkegiatan di sektor domestik, bukan lagi konsep yang dipertahankan di era modern ini. Perempuan juga mampu mengambil peran di sektor publik seperti halnya laki-laki, menitih karir sesuai passion mereka seperti halnya laki-laki, dan menjadi seorang pemimpin seperti halnya laki-laki.
      Konsep kesetaraan gender dalam pembangunan daerah sudah seharusnya menjadi perhatian untuk bisa diterapkan di seluruh daerah khususnya wilayah Indonesia, untuk mewujudkan pengarusutamaan gender. Sehingga ketimpangan hak dan partisipasi peranan antara laki-laki dan perempuan bukan lagi menjadi hal yang perlu dipermasalahkan. Karena perempuan dan laki-laki pada dasarnya setara di mata hukum, setara untuk memperoleh hak dan kesempatan partisipasi yang sama.
Referensi
bappeda.malangkota.go.id. (2019, February 8). Kota Malang Libatkan Peran Perempuan dalam Pembangunan. Kota Malang Libatkan Peran Perempuan dalam Pembangunan, p. 1.
Ilaa, D. T. (2021). Feminisme dan Kebebasan Perempuan Indonesia dalam Filosofi. Jurnal Filsafat Indonesia, Vlo 4 No 3, 211.
kemenpppa.go.id. (2017, May 19). 5 HAK-HAK UTAMA PEREMPUAN. 5 HAK-HAK UTAMA PEREMPUAN, p. 1.
Mustikawati, C. (2015). PEMAHAMAN EMANSIPASI WANITA. Jurnal Kajian Komunikasi, 66-68.
Sukim1, F. R. (2018). Mengukur Kepemimpinan Perempuan di Indonesia dengan Metode Fuzzy c-Means Clustering. Statistika, Vol.18 No. 2, 101-103.
     Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI