Harmonisasi UU Tentang Haji dan Umrah dengan Visi Saudi 2030
Undang-Undang No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah adalah fondasi hukum yang kuat bagi pengelolaan Haji di Indonesia. Namun, dengan perubahan global yang semakin cepat, khususnya melalui Visi Saudi 2030 yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas jamaah Haji dan Umrah hingga 30 juta orang per tahun, Indonesia perlu melakukan harmonisasi terhadap regulasi yang ada agar tetap relevan dan mampu menghadapi tantangan baru.Â
Selain itu, konsep kemandirian Haji, di mana jamaah dapat mendaftar dan melaksanakan Haji secara mandiri tanpa harus melalui Kementerian Agama (Kemenag), juga memerlukan perhatian khusus dalam konteks ini. Perubahan besar ini memerlukan adaptasi strategis pada peran Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) dan pengelolaan dana Haji yang semakin kompleks.
Penyesuaian UU No. 8 Tahun 2019 dengan Visi Saudi 2030
1. Pengelolaan Kuota Haji (Pasal 6) Dengan peningkatan kuota yang diharapkan melalui Visi Saudi 2030, UU No. 8 perlu direvisi untuk memberikan fleksibilitas dan responsivitas yang lebih besar dalam pengelolaan kuota Haji. Salah satu penyesuaian penting adalah penyediaan mekanisme yang memungkinkan alokasi kuota khusus bagi jamaah yang memilih jalur mandiri, serta mempertahankan prioritas bagi jamaah tertentu, seperti lansia dan mereka yang telah lama menunggu. Hal ini penting untuk menjaga keseimbangan dan keadilan dalam distribusi kuota yang semakin meningkat.
2. Pengelolaan Biaya dan Investasi (Pasal 47-50) Revisi UU juga diperlukan untuk memastikan pengelolaan dana Haji yang lebih strategis dan efisien. BPKH harus diberikan mandat lebih kuat untuk mengoptimalkan pengelolaan sumber daya melalui investasi strategis, termasuk kontrak multiyears yang dapat mengunci harga lebih rendah.Â
Selain itu, transparansi biaya menjadi semakin penting, terutama bagi jamaah yang memilih untuk mendaftar secara mandiri. Dengan peningkatan kuota yang signifikan, pengelolaan biaya yang efisien dan transparan akan menjadi kunci dalam menjaga keberlanjutan layanan Haji.
3. Penguatan Layanan Digital (Pasal 8) Visi Saudi 2030 sangat mengedepankan digitalisasi layanan Haji. Oleh karena itu, UU No. 8 perlu mengakomodasi pengembangan sistem digital yang memungkinkan pendaftaran dan manajemen Haji secara mandiri melalui platform yang terintegrasi dengan pemerintah Arab Saudi. Penguatan layanan mandiri ini juga mencakup penyediaan pilihan bagi jamaah untuk memilih penyedia layanan yang diakui secara resmi oleh kedua negara, dengan pengawasan ketat terhadap kualitas dan keamanan layanan tersebut.
4. Pengawasan dan Koordinasi Internasional (Pasal 36-39) Untuk mendukung peningkatan kapasitas jamaah dan implementasi kemandirian Haji, perlu ada penguatan kerjasama bilateral dengan pemerintah Arab Saudi dalam hal pengaturan pelaksanaan Haji mandiri. Selain itu, pengawasan yang ketat terhadap penyedia layanan Haji mandiri harus diatur secara tegas dalam UU, untuk memastikan bahwa standar internasional dipenuhi dan layanan yang diberikan berkualitas tinggi.
5. Pengembangan Infrastruktur dan Sumber Daya (Pasal 45-46) Peningkatan jumlah jamaah Haji membutuhkan dukungan infrastruktur yang memadai. Revisi UU harus mencakup ketentuan untuk pengembangan infrastruktur Haji, baik di Indonesia maupun di Arab Saudi, termasuk fasilitas penginapan, layanan kesehatan, serta pelatihan dan sertifikasi petugas Haji. Hal ini penting untuk memastikan bahwa peningkatan jumlah jamaah tidak mengorbankan kualitas layanan.
6. Efisiensi dan Keberlanjutan (Pasal 42-43) Dalam menghadapi peningkatan jumlah jamaah, efisiensi operasional dan keberlanjutan menjadi fokus utama. Revisi UU harus mencakup strategi untuk mengembangkan layanan yang lebih efisien, termasuk penggunaan teknologi ramah lingkungan, serta memastikan bahwa setiap langkah yang diambil berkontribusi pada keberlanjutan lingkungan, ekonomi, dan sosial.