Nenek bilang cinta seorang lelaki dapat dimenangkan lewat perutnya. Meskipun kenyataannya hal ini tak dapat membuatmu bertekuk lutut seperti cerita mereka. Mungkin jaman telah merubah hati seorang lelaki menjadi keras. Sehingga masakan seenak apapun tak akan mampu menahan mereka untuk tetap setia.
Sekarang aku lelah Dre. Letih dengan segala permainanmu yang tak pernah usai. Entah apa artinya kata ‘Cinta’ untukmu. Padahal dahulu kerap kali kau ucapkan. Adakah ia dihatimu? Atau hanya sebagai aksesoris untuk melelehkan hatiku.
Cangkir porselen hitam kesayanganmu, kini kembali terisi penuh. Teh tubruk dengan dua potong gula batu. Asapnya mengepul liar, hasil dari air yang mendadak dijerang hingga mendidih. Sambil mengaduk, aku memasang wajah paling cerah, mengingat kini kau tak akan pergi kemana-mana lagi. Tak perlu susah payah mencari tempat persembunyianmu, saat ingin melepas rindu. Atau mengintip ke setiap kamar wanita yang kau cap menjadi kekasihmu. Ketika buah hati kita kerap memanggil namamu dalam tidurnya.
Selesai. Teh manis terakhir berisi harapan untuk mendapatkanmu kembali. Kali ini tak ada mantera di dalamnya. Atau jampi-jampi yang ku dapat dari buku paririmbon tua. Semua itu ternyata hanya omong kosong, tak dapat sedikitpun mengetuk pintu hatimu. Kalau memang kau masih memiliki ini di tubuhmu.
Sekarang aku tinggal duduk di sofa butut yang ditemukan di pinggiran rel. Kala itu, kita mengucap terima kasih─pada seseorang─ entah siapa. Karena telah rela membuangnya. Sehingga tak perlu lagi, duduk di lantai kasar yang selalu memantulkan panas.
Di sini, menantimu, untuk kemudian memelukmu.
Belaian angin membuat kelopak mataku enggan terbuka. Mereka memilih untuk mengatup perlahan. Sementara berbagai khayal menari gemulai dalam benak, aku mulai memasuki gerbang mimpi. Namun kenyataan samar-samar menggeliat di depan mata. Karena kedua bola mata masih belum tertutup rapat.
“Asik, teh manis...”
Sayup terdengar gemerincing suara gadis kecil. Cinta. Jemari mungilnya meraih cangkir di atas hasfel. Sebuah gulungan kabel bekas yang ditinggalkan begitu saja di area kolong jembatan tol. Rupanya ia berjodoh dengan sofa butut yang kini dihiasi motif tambalan.
Aku terperanjat, melintas hal terburuk dalam pikiranku. Anakku, diri ini membatin. Langsung kusambar tubuh mungilnya, “Muntahkan Sayang, muntahkan,” sambil kumasukkan telunjuk ke mulutnya, “cepat, Cantik. Muntahkan.”
Gadis kecilku meronta sambil terbatuk-batuk, hampir tercekik. Mata Cinta memerah, mengeluarkan buliran kristal yang meleleh melewati kedua pipinya.
“Sakit, Mama. Sakit...” Cinta meronta, menepis tanganku.
Kemudian aku melepaskannya, menjauhkan diri dari tubuh lunglai putri semata wayangku. Wajahnya pucat, seakan hampir kehabisan napas. Oh, tidak. Seberapa banyak yang dia minum. Kalut, neuron di otakku tak mampu berpikir jernih. Kemudian kulihat cangkir di atas hasfel. Masih ada setengah lagi, aku harus menyusul Cinta. Seraya mereguk paksa isinya untuk masuk ke dalam kerongkongan.