Mohon tunggu...
Galeri Cerita Ani Wijaya
Galeri Cerita Ani Wijaya Mohon Tunggu... Penulis - The taste of arts and write

Kisah cinta umpama sebuah buku. Kau tetap akan membaca selembar demi selembar meskipun telah tahu akhir ceritanya.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Moros

17 Februari 2016   13:13 Diperbarui: 18 Februari 2016   07:34 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lelakiku. Sejak bola mata kita saling beradu untuk pertama kali. Aku langsung jatuh cinta. Dengan rela menyerahkan seluruh hidup untuk kau bawa. Bukankah kekuatan cinta, akan membuat derita menjadi bahagia. Dan merubah kesengsaraan menjadi kenikmatan.

Namun. Kejam dan bengis kehidupan ibukota menodai keindahan mimpi. Tentang masa depan yang berkilau, juga kebahagiaan berlimpah materi. Kemudian siapa yang harus dipersalahkan? Nasib atau kita, karena terlalu berani mengejar angan nan terlampau tinggi. Meninggalkan hijaunya hamparan padang rumput di kampung halaman. Bermodalkan nekat dan janji palsu. Mendatangi belantara tempat gedung-gedung menjulang tinggi berdiri kokoh. Penuh keangkuhan.

Diriku selalu belajar untuk tak pernah mencetuskan keluhan. Demi memenuhi ajakanmu, berjuang dari nol. Bersedia berteman dengan lapar, berdamai dengan serba kekurangan. Kala hujan deras mengguyur, harus siaga, pontang panting menampung air. Panci, ember, tak banyak yang kita punya. Kuyup, kedinginan.

Berebutan menghela udara yang menyesakkan dalam ruangan pengap. Karena tak satu pun jendela menghiasi rumah ini. Rumah. Jika kata ini cukup mewakili definisi dari tempat berteduh. Tak apa, banyak keluarga lain yang juga tinggal di sekitar sini. Meski dengan resiko berpindah-pindah tempat, bermain petak umpet dengan para petugas penertiban kota.

Ternyata harus kita telan pil pahit dari kenyataan. Namun tak sudi untuk pulang kandang, sebagai orang kalah. Keegoisan dan kearoganan terlanjur menguasai diri. Sehingga akhirnya, perut dijadikan alasan untuk menghalalkan segala cara. Menempuh jalan mudah untuk meraih kekayaan. Buta mata dan hati dengan gemerlap yang siap direngkuh.

Oh, kekasihku. Kalau hanya untuk mengenyangkan lambung, kenapa harus jalan sekelam ini yang kau pilih. Akhirnya semua limpahan rupiah haram itu kau gunakan hanya untuk bersenang-senang. Mengembangbiakkan dosa dan nista. Aku tak hendak ikut di dalamnya. Biarlah, hidup terkungkung dalam kemiskinan. Asalkan tidak dihantui rasa bersalah.

Kemudian aku hanya mampu menunggu. Setia dan percaya. Selalu percaya bahwa kau masih punya hati. Suatu saat akan kembali pada jalan lurus yang seharusnya kita tempuh.

Terlalu poloskah aku? Atau bodoh ?

Mungkin.

Namun menggiring mereka agar berhasil menangkapmu untuk pertama kali adalah sesuatu yang tak pernah kusesali. Agar kau tinggal di satu tempat, tak beranjak ke mana pun. Sehingga bisa didatangi kapan pun aku mau. Namun rupanya cara itu tetap tak berhasil. Kau malah memilih melarikan diri dari hukuman. Mendobrak jeruji besi yang kuanggap sebagai malaikat penjaga. Menyogok oknum sipir yang sudah buta dengan keduniawian.

Lihatlah, bahkan semenjak kepergianmu. Tak pernah sekalipun absen membuatkan secangkir teh kesukaanmu. Bagiku, hal itu tak ubahnya seperti meramu harapan. Mengaduk kembali asa yang dahulu pernah terpadu, mengikat kau dan aku. Untuk kemudian disajikan, agar dapat kau rasakan cinta lewat hangat dan manisnya teh yang melewati kerongkongan. Dan bermuara di lambungmu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun