Letusan tembakan diarahkan ke langit. Memecah kesunyian. Para petugas polisi berpakaian preman, mengatur posisi masing-masing. Sang komandan berteriak lantang, memberi perintah untuk angkat tangan dan menyerah.
“Mereka sudah mengepung tempat ini, Fe” suara lelaki itu bergetar, penuh amarah, “tapi kali ini aku tak akan tertangkap.”
Perempuan dengan nama Fenita, mendengarkan di seberang telepon. “Aku pikir kau akan menyampaikan kabar gembira. Atau mungkin bercerita, kemana saja selama empat bulan ini. Semua orang mencarimu, semua...” seraya menghela napas perlahan, menahan emosi yang sejak tadi meletup-letup.
“Maafkan aku...” suara lelaki itu berubah lirih. Menyesal? Entahlah.
“Semua kecuali aku,” tegasnya, “Karena kupikir, setelah melarikan diri dari penjara, kau akan pulang. Pulang ke tempat di mana kami menunggu. Namun ternyata salah besar. Selalu salah besar.”
Sebenarnya banyak yang ingin dikatakan. Kekecewaan, amarah, kebencian. Serta sebuah pertanyaan besar, adakah seseorang dilahirkan untuk jadi penjahat? Sehingga pelajaran apapun tak mampu dan tidak akan pernah membuat jera. Apalagi bertobat.
“Mereka semakin dekat, jangan khawatir Fe. Aku akan melawan. Agar tak harus mati konyol di tangan para aparat itu. Tunggu kedatanganku, sayang...” desah napasnya memburu, diikuti sumpah serapah yang kemudian terucap.
Sedangkan Fe hanya mampu tersenyum kecut, sambil menelan ludah yang terasa amat pahit, “Aku yakin kau bisa lolos, Dre. Kau adalah bajingan paling licik yang pernah ada. Sukar untuk ditaklukkan, selicin ular cobra berbisa,” kata-kata itu meluncur begitu saja, batinnya bersorak setuju. “Berlarilah sekencang kau bisa, datanglah kemari. Akan kulindungi kau dalam dekapanku. Sehingga tak akan ada seorang pun yang dapat mengusikmu lagi.” Sebuah janji terucap, kemudian ditorehkan jauh dalam relung sanubari. Satu hal. Untuk membuat pria itu tak beranjak lagi dari sisinya sedikit pun.
Suara di seberang ponsel terdengar semakin gaduh. Teriakan bersahutan, tendangan dengan kekuatan penuh diarahkan pada pintu yang terkunci dari dalam. Kemudian mereka masuk, menyebar ke beberapa ruangan. Nihil. Kini terdengar suara hantaman tinju menggebrak meja. Tak mau membuang waktu, para petugas segera mengambil langkah selanjutnya. Tentu saja , mereka tak ingin kehilangan lagi seorang pesakitan yang telah melarikan diri saat akan diadili.
Fe sedikitpun tak menarik dan hembuskan napas. Demi mendengarkan baku tembak yang terjadi. Sesaat hatinya mencelos, seraya berharap-harap cemas. Beberapa letusan senjata api mengakhiri pembicaraan mereka di telepon.
Senyap.
Entah apa yang terjadi di sana. Siapa menembak siapa, ratusan dugaan berkecamuk dalam otak perempuan bertubuh kurus ini.
***