At-Thabari mengartikan milk al-yamin pada ayat tersebut dengan 'budak perempuan'. Seorang laki-laki boleh berhubungan seksual dengan istri-istrinya serta budak perempuan yang dimilikinya. Jika budak perempuan tersebut melahirkan anak tuannya, maka statusnya dan anak yang dilahirkannya menjadi merdeka. Hukum ini menunjukkan bahwa Islam secara bertahap menghapus adanya perbudakan.
Ayat tersebut hadir sebagai social mechanism untuk merespon problem sosial di Arab pada masa itu, saat perbudakan masih terjadi, bahkan bukan hanya di Arab saja, tetapi juga di bangsa-bangsa lain seperti Yunani, Romawi, dan Persia.
Muhammad Thaha menjelaskan bahwa hukum pada ayat ini sudah di-nasakh (dihapus). Hukum bolehnya menggauli budak pada ayat tersebut tidak berlaku lagi. Ayat ini membuktikan bahwa hukum Islam itu tidak stagnan, tetapi dinamis dan sesuai dengan kondisi masyarakat, di mana sekarang perbudakan tidak ada lagi.
KONSEP MARITAL RAPE DALAM ISLAM
Islam tidak sejalan dengan konsep marital rape. Islam tidak membenarkan adanya pemerkosaan dalam pernikahan. Setelah menikah, halal bagi pasangan suami-istri untuk melakukan hubungan seksual dengan cara yang ma'ruf (baik). Pemerkosaan merupakan tindakan zina, dan tidak ada zina dalam persetubuhan suami-istri yang sudah terikat dalam pernikahan.
Pernikahan merupakan ibadah, maka pernikahan hendaknya dilihat sebagai bentuk kehambaan dua insan kepada Allah, bukan hubungan di mana salah satu pihak menjadi superior. Penting bagi pasangan suami-istri untuk memperhatikan kondisi satu sama lain, termasuk dalam hal hubungan seksual yang mestinya dilakukan dengan memberikan kesenangan bagi kedua belah pihak.
Hubungan seksual baiknya dilakukan dengan kesenangan bagi suami dan istri agar tercipta suasana yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Tujuan pernikahan yang diinginkan oleh Islam adalah memberikan rasa:
1. Sakinah: Ketenangan, kedamaian
2. Mawaddah: Cinta
3. Rahmah: Kasih sayang