Sudah cukup lama saya mendengar isu self harm yang dilakukan oleh banyak generasi muda sekarang. Sejak awal tahun 2023, berita mengenai self harm terus berhamburan di Indonesia. Sebelum membahas jauh mengenai self harm, saya ingin menceritakan sedikit pengalaman saya sendiri yang berhubungan dengan self harm.
Belasan tahun silam, ketika saya masih berstatus sebagai siswa SMA, saya memiliki seorang teman yang usianya berbeda sekitar 3 tahun. Saya tidak sengaja melihat bekas luka di pergelangan tangannya.Â
Kalau diperhatikan, bekas luka itu seperti sayatan pendek yang dibuat menggunakan silet. Saat saya bertanya, tangannya kenapa? Ia hanya menjawab, "ah tidak apa-apa."
Saya mencoba memahami, bahwa ia belum mau bercerita. Namun, tidak lama kemudian saya mengetahui dari teman-teman lain, bahwa yang saya lihat sedang tren kala itu.Â
Wah, saya yang masih remaja saja, mendengar hal itu sebagai tren sudah cukup merinding. Tidak bisa membayangkan, hal itu dilakukan oleh remaja seusia saya, pasti cukup perih terasa di tangan.
Self harm atau menyakiti diri sendiri secara sengaja, ternyata sudah lama pernah terjadi di Indonesia. Bahkan pernah saya lihat sendiri di masa lalu. Permasalahan ini semakin kompleks karena makin menjamur, menjadi tren masa kini pada anak dan remaja.
Kasus self harm yang menjamur di Indonesia
Kasus self harm makin menjamur di Indonesia. Kasus yang paling ramai dibicarakan yaitu kasus self harm yang dilakukan oleh siswa SD di Situbondo. Sesuai berita Kompas.com (03/10/2023), total 11 siswa SD Negeri di Situbondo, Jawa Timur, telah melukai tangannya sendiri menggunakan silet karena terpengaruh oleh konten media sosial yang sedang menjadi tren di TikTok. Duh, rasanya miris membaca berita ini, dari yang saya ketahui self harm belum pernah terjadi pada anak SD.
Dalam siaran pers Kompas.com (20/03/2023) dengan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga, beliau mengaku prihatin dengan banyaknya anak sekolah yang menjadi korban dari tindakan menyakiti diri sendiri. Sebanyak 49 anak sekolah menjadi korban self harm.
Dengan rincian 40 anak melakukan satu kali sayatan di tangan, dan 9 anak melakukan sayatan berulang kali di tangan. Ini terjadi pada salah satu sekolah di Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali, ketika pihak sekolah melakukan inspeksi dadakan pada Desember 2022 dan Februari 2023. Yang lebih parah lagi, salah satu anak tersebut ikut serta melakukan penyebaran konten self harm di media sosial. Akhirnya, ia dijadwalkan bertemu psikiater untuk ditangani lebih mendalam.
Kasus terakhir yang saya ketahui adalah kasus 76 siswa SMP di Magetan yang menyayat tangannya sendiri. Dari penjelasan Kompas.com (19/10/2023), sebanyak 76 siswa SMP menyayat tangannya sendiri. Data ini merupakan hasil screening Dinas Kesehatan Kabupaten Magetan pada sejumlah sekolah.
Namun, kasus di Magetan agak berbeda. Alasan para siswa SMP melakukan self harm karena mengalami permasalahan. Beberapa permasalahan yang dialami dalam keluarga, teman atau pacar menjadi penyebab mereka melakukan self harm.Â
Sayatan tersebut merupakan goresan yang sengaja dibuat oleh mereka menggunakan salah satu benda tajam yaitu pecahan kaca, jarum, dan penggaris.
Semua kasus tersebut, secara sigap telah ditangani oleh Sekolah, Dinas, Pemerintah Kabupaten, dan Kementerian PPPA dengan melakukan bimbingan konseling dan pendampingan psikologi pada siswa atau anak sekolah yang melakukan self harm.Â
Kini Dinas dan Pemerintah Kabupaten masing-masing provinsi masih bekerja sama dengan sekolah untuk terus mendata dan melakukan inspeksi pada anak sekolah untuk menghindari self harm terus berulang.
Upaya antisipasi self harm pada generasi muda
Pada berita di laman resmi UGM (09/07/2021), Psikolog Nurul Kusuma H., M.Psi. mengatakan, self harm merupakan segala hal yang dilakukan untuk menyakiti diri sendiri.Â
Self harm dilakukan secara sengaja dan biasanya tersembunyi, menjadikan diri sebagai objek. Ada berbagai cara untuk menyakiti diri sendiri, contohnya dengan membenturkan badan, menyayat, menjambak rambut, menggaruk, overdosis, sampai pada tindakan mutilasi diri.
Dijelaskan lebih lanjut bahwa self harm ada yang bersifat "Non-suicidal Self Injury (NSSI), dan ada yang bersifat atau mengarah kepada "suicidal attempt".Â
Nopi Rosyida Q. menambahkan bahwa self harm digunakan sebagai cara untuk mengatasi perasaan yang sulit dikelola, pikiran yang sangat mengganggu atau memori tentang peristiwa yang menyakitkan.
Dalam Kompas.com (19/10/2023), Psikolog Universitas Jember, Senny Weyara Dienda Saputri menegaskan bahwa fenomena 11 siswa SD yang melakukan self harm karena mengikuti tren TikTok, mereka hanya ingin mendapatkan pengakuan dari lingkungan. Menurutnya, konten challenge di media sosial sangat berbahaya apabila ditiru oleh anak.
Secara garis besar dari keterangan beberapa psikolog tersebut, self harm pada anak terbagi menjadi dua alasan. Alasan pertama karena anak kesulitan mengelola emosi saat mengalami masalah dalam hidup.Â
Alasan kedua untuk mengikuti tren media sosial semata. Kedua alasan ini sama-sama berdampak negatif untuk anak. Apalagi, yang biasanya self harm hanya terjadi pada anak SMP dan SMA, sekarang sudah dilakukan anak SD.
Sangat perlu upaya untuk mengantisipasi self harm pada generasi muda. Upaya ini harus dilakukan bersama-sama sekolah, pemerintah, dan paling utama orangtua.
Pertama, orangtua harus mengontrol dan mengawasi pemakaian media sosial pada anak.Â
Peranan orangtua menjadi yang paling utama karena orangtua yang memiliki waktu paling lama bersama anak. Orangtua harus lebih teliti pada tontonan anak, kalau bisa dibatasi. Orangtua juga harus memberikan pengertian pada anak, tontonan apa yang layak dan tidak layak untuk ditonton di media sosial.
Tidak hanya itu, orangtua juga harus memberikan suasana yang kondusif dan positif di rumah, sehingga anak bisa melalui tumbuh kembang dengan baik. Membuat anak tidak mengalami tekanan yang mengakibatkan mental illness. Membantu anak menemukan jati diri dengan cara yang tepat.
Kedua, sekolah dan pemerintah harus bekerja sama memberikan sosialisasi dan bimbingan konseling pada anak di sekolah.Â
Tidak semua anak hidup di lingkungan yang baik, beberapa anak mungkin mengalami tekanan mental. Pengoptimalan ruang BK sebagai tempat ternyaman untuk bercerita dengan guru BK yang menyenangkan, menjadi solusi agar anak bisa melewati masa sulit di tengah kondisi lingkungan yang kurang mendukung.
Sosialisasi mengenai dampak self harm juga sangat diperlukan di sekolah. Agar anak tak lagi melakukan tindakan yang membahayakan diri sendiri.Â
Bagi anak yang sudah terlanjur melakukan self harm, perlu dilakukan pendampingan psikolog atau bimbingan konseling untuk menyadarkan kekeliruan perilaku yang dilakukan.
Ketiga, kita sebagai orang terdekat, selain orangtua, baik selaku sahabat, atau keluarga terdekat harus lebih peka pada mereka.Â
Menjadi tempat aman dan nyaman untuk mencurahkan segala rasa, sehingga anak tidak merasa sendiri. Memberikan respon yang menunjukkan bahwa kamu peduli, memahami perasaan mereka.
Apabila self harm hanya bentuk sensasi untuk mendapatkan perhatian atau hanya mengikuti tren media sosial, maka berikan pemahaman bahwa tren negatif tak perlu ditiru. Kita harus jaga bersama generasi muda, agar terbebas dari pengaruh negatif yang merugikan.
Perhatian dan kepedulian pada generasi muda, dengan pemberian informasi yang sesuai tentang pentingnya menyeleksi tren media sosial, menjadi upaya ampuh menjaga generasi muda dari self harm.Â
Pengobatan luka luar akibat menyakiti diri sendiri memang diperlukan, tetapi mengantisipasi tindakan self harm dari dalam diri generasi muda itu lebih penting.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H