Ada seorang ibu dari  salah satu murid saya yang pada hari itu mengirim pesan lewat Whatsaap, "Ibu, mohon izin hari ini anak saya tidak masuk sekolah." Lalu saya menanyakan, "Kenapa bu, Ayu (nama samaran) tidak masuk?" Â
Wali murid tersebut memberikan penjelasan, "Maaf Ayu sedang menjaga saya bu, karena saya lagi sakit." begitulah penjelasan orang tuanya. Batin saya seketika meredup sedih, pikiran saya membayangkan Ayu yang sedang mendampingi ibunya. Memuncak kesedihan saya seketika. Saya mengiyakan izin Ayu tidak masuk dan mengucapkan semoga lekas sembuh untuk ibu Ayu.Â
Dialog izin tidak masuk sekolah seperti ini, terkadang menghiasi pagi saya saat weekday, Beragam alasan orang tua yang diberikan saat anaknya hendak izin tidak masuk sekolah.Â
Ada salah satu yang paling menyentuh hati saya, yaitu disaat Ayu izin tidak masuk sekolah lantaran harus menjaga ibunya yang sakit. Sudah sering Ayu izin, karena alasan menjaga ibunya yang sedang terbaring sakit.Â
Suatu ketika, ibunya menelpon saya, untuk kali ini ibunya menyampaikan Ayu izin harus menjaga adiknya lantaran ibunya harus kontrol ke Rumah Sakit. Sontak saat itu saya berupaya untuk mendukung Ayu untuk mengutamakan sekolahnya, dan sempat mengutarakan dukungan saya tersebut saat itu juga lewat komunikasi telepon
"Ibu, mohon maaf  apakah di rumah tidak ada orang dewasa yang bisa menemani adiknya Ayu, ayahnya mungkin atau saudara ibu," tanyaku dengan nada lirih.Â
"Tidak ada bu, ayahnya menemani saya dirumah sakit, terkadang kerja, ada adek saya nanti agak siang baru datang," jawab ibu Ayu.Â
"Nah ibu, kalau bisa biar saudara ibu dulu nggih yang jaga adiknya Ayu kalau bisa pagi sudah datang, karena kasihan Ayu sering tidak masuk dan sudah banyak ketinggalan kegiatan pembelajarannya apalagi ini sudah menjelang sumatif akhir disemester 2 bu," pintaku dengan sedih dan bingung.Â
Sisi kemanusiaan saya menggelora saat itu, tak tega jika saya harus meminta Ayu untuk masuk sekolah. Namun disisi lain disitu juga ada hak murid saya yang juga harus saya perjuangkan hak belajarnya di sekolah. Karena sudah lama dia sering tidak masuk, karena harus membantu saat Ibunya sakit dan harus jaga adik saat ibunya kontrol.Â
Sebagai guru, saya merasa dilema jika di hadapkan pada kisah cerita seperti ini. Pada posisi seperti ini sebagai seorang guru kita dihadapkan pada kasus dilema etika, dimana kita sebagai pemimpin pembelajar harus bisa mengambil keputusan dengan penuh tanggung jawab, memiliki nilai-nilai kebajikan universal, serta berpihak pada murid, hal ini juga tertuang pada modul 3.1 Pendidikan Guru Penggerak pada materi Pengambilan Keputusan Berbasis Nilai Kebjiakan sebagai Pemimpin.
Kisah Ayu belum pada titik akhir, kisah ini masih harus terus saya perjuangkan hak murid saya untuk belajar. Â Saya membangun komunikasi yang baik dengan orang tua Ayu agar anaknya terus semangat belajar. Ketika tidak masuk sekolah saya selalu menelpon Ayu untuk tanya kabarnya dan juga kabar ibunya.
Menjadi guru dan sekaligus wali kelas Ayu disaat kelas VII, menjadi pelajaran tersendiri bagi saya dan juga semua warga sekolah. Bagaimana memperlakukan murid jika ada kondisi seperti ini. Ayu terus menjadi pantauan perhatian saya saat itu, karena kondisinya yang sering izin. Semua guru- guru juga berupaya membantu yang terbaik buat Ayu untuk terus belajar disekolah. Hingga akhirnya Ayu bisa sampai mengikuti pelaksanaan Sumatif Akhir Semester.
Alhamdulillah setelah pelaksanaan Sumatif, akhirnya tiba masa akhir tahun pembelajaran. Tiba saatnya murid-murid mendapatkan rapor dari hasil belajarnya selama semester 2. Saat itu, sosok ibu dari Ayu tidak nampak terlihat di deratan bangku yang sudah disiapkan untuk wali murid untuk pengambilan rapor.Â
Begitu saya panggil nama Ayu, sosok bapak yang duduk paling belakang berdiri dari tempat duduknya dan jalan menuju ke saya. Ternyata beliau adalah ayah Ayu. Beliau menyampaikan kalau ibu Ayu masih sakit. Memang yang saya hafal selama ini hanya wajah ibu Ayu. Namun kali ini di pengambilan rapor kenaikan kelas adalah ayahnya.
"Alhamdulillah bapak, Ayu naik kelas. Semoga Ayu terus semangat belajarnya," ucap saya.Â
"Terima kasih bu," jawab ayah Ayu dengan raut bahagia.
Yah, akhirnya saya juga ikut senang bisa mengawal Ayu hingga mencapai akhir tahun pembelajaran. Ini berkat kerjasama dari semua guru. Saya lihat Ayu juga cukup happy karena dia naik kelas. Alhamdulilah cerita Ayu di masa belajarnya dia sudah berjuang sekuat tenaga, meski tertatih tatih, dia buktikan bahwa dia bisa sampai pada garis finish dikelas VII.
Hingga liburan usai, dia memasuki kelas barunya bersama wali kelas dan guru-guru baru di jenjang kelas yang baru, yaitu kelas VIII. Menjelang beberapa minggu memasuki tahun ajaran baru, saya sudah tidak lagi mendampingi secara formal untuk Ayu, namun cerita membersamainya masih membekas jelas diingatan saya. Jejak digital di Whatsapp terkadang juga masih sering saya baca. Ah Ayu, kamu memang murid hebat dimata saya.
Suatu ketika, ada teman guru yang tiba-tiba masuk ke ruang guru dan menginformasikan bahwa ibu Ayu meninggal dunia, dan hari itu Ayu dijemput disekolah oleh tetangga dekatnya.  Ya Allah, seketika itu dada saya terasa sesak, saya menarik nafas panjang karena mendengar berita itu. Sontak saya keluar menemui Ayu yang hendak keluar gerbang sekolah untuk pulang. Aku peluk erat raganya sembari aku kuatkan jiwanya. "Ayu kamu yang kuat ya nak, ibu turut berduka cita ya Ayu," ucapku lirih kepada Ayu. Dia hanya bisa menangis sesenggukan, karena memang selama ini dia yang merawat ibunya. Dia merasakan terpukul mendengar berita ini.Â
Ah Ayu, kamu semakin istimewa di mata saya. Meski kini kebahagiaan kamu tidak lagi sesempurna yang dulu, namun ibu pastikan bahwa ibu kamu bangga memilikimu kamu nak, kita do'akan sama-sama yang terbaik untuk Almarhumah ibu kamu. Yang kuat nak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H