Mohon tunggu...
AINURRASYID FIKRI
AINURRASYID FIKRI Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Development Economics Undergraduate Student | Interested in Education, Business, and Graphic Design Fields | IG: __rrsyid

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

UU TPKS: Dua Perkara yang Belum Usai

18 Mei 2022   11:46 Diperbarui: 18 Mei 2022   11:46 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Namun di sisi lain, walaupun dianggap sebagai tameng baru dalam perjuangan melawan kekerasan seksual UU TPKS juga belum sepenuhnya sempurna. Hal ini karena para pembuat kebijakan dianggap mendukung pandangan liberal yang memihak pada aktivitas pergaulan bebas akan mendapatkan tempat, serta mengesampingkan konsep keagamaan. Selain itu juga pada UU TPKS tidak mengakomodir aturan terkait perkosaan dan pemaksaan aborsi di dalam UU tersebut.

Absennya pasal perkosaan dan pemaksaan aborsi

Dalam UU TPKS, perkosaan masuk ke dalam tindak pidanan kekerasan seksual dan disebut dalam Pasal 4 Ayat (2). Namun pengaturan hukuman bagi pelakunya tidak diatur dalam UU ini. Yang lebih disayangkan lagi hilangnya pasal pemaksaan aborsi didalam naskah final UU TPKS ini alias tidak sama sekali diatur.

Berdasarkan keterangan Ketua Panitia Kerja RUU TPKS, Willy Aditya menyatakan bahwa RUU TPKS tidak akan mengatur tentang pidana pemerkosaan dan aborsi. Sebab dua hal itu akan diatur dalam RUU RKUHP dan Undang-Undang Kesehatan. 

Hal tersebut merujuk dari pernyataan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang mengatakan bahwa tindak pidana pemerkosaan akan diatur di dalam RKUHP untuk menghindari tumpang-tindih antara peraturan perundang-undangan.

Absennya dua pasal tersebut didalam UU TPKS tidak bisa dianggap remeh walaupun akan segera diatur dalam RKUHP dan juga ini merupakan PR untuk Legislatif dan berbagai pihak terkait untuk segera menyempurnakan rumusaan mengenai kedua pasal ini mendatang.

Peneliti Indonesian Judicial Research Society (IJRS) Marsha Maharani mengatakan pada forum dikusi melalui Twitter Space, Kamis (14/4/2022) diperlukan penguatan rumusan dalam masalah perkosaan dan pemaksaan aborsi di dalam RKUHP ini. 

Lebih lanjut, ia menjelaskan meski aturan dan ketentuan tindak pidana perkosaan dimuat dalam RKUHP. Namun penangan korban perkosaan tetap harus berdasarkan landasan pada UU TPKS. Mengingat lagi penguatan rumusan perkosaan diperlukan karena dinilai masih banyak celah masalah di dalam RKUHP.

Menurut Johanna Poerba, peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), di dalam draft RUU TPKS yang lama keberadaan pasal perkosaan atau istilah yang dipakai saat itu adalah pemaksaan hubungan seksual, memperluas unsur tindakan dari apa yang kita pahami serta didefinisikan secara komprehensif sebagai "persetubuhan" dalam pasal tindak pidana perkosaan yang ada di KUHP. 

Unsur persetubuhan dalam pasal perkosaan, yakni Pasal 285 KUHP, hanya didefinisikan sebatas "masuknya penis ke dalam vagina". Artinya, kasus perkosaan disini tidak menjangkau relasi kuasa dan kekerasan psikis. Jadi baru bisa dikatakan tindakan perkosaan apabila telah memenuhi unsur persetubuhan (harus adanya penetrasi sebatas alat kelaminya dengan bukti-bukti fisik).

Sementara itu, pasal pemaksaan aborsi diawal sudah tertera pada Pasal 15 dalam draft RUU TPKS lama, dan mengatur jerat pidana bagi siapa saja yang memaksa korban untuk melakukan tindakan aborsi. Tetapi setelah disahkan Pasal Pemaksaan aborsi juga menghilang dari naskah final UU TPKS. Sama seperti perkosaan, pemaksaan aborsi diatur dalam Pasal 346 KUHP dan Pasal 75 UU Kesehatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun