Mohon tunggu...
Ainur Rohman
Ainur Rohman Mohon Tunggu... Nelayan - Pengepul kisah kilat

Generasi pesisir

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Langit-langit Itu

14 November 2018   23:15 Diperbarui: 15 November 2018   08:20 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Laki-laki itu biasanya ceria, suka bercanda dan menghabiskan waktu bermain dan bersenang-senang dengan teman-temannya. Ia seperti tinggal di kampung surga yang selalu bahagia dengan air surga, angin surga dan semua-semua yang berbau surga. Ia tidak pernah gelisah apalagi merasakan kesusahan. Ia hidup seperti dalam kampung dongeng.

Tapi sejak beberapa bulan terakhir ini, hidupnya jadi tak nyenyak, tak ada lagi candanya, dia semakin jarang bicara, jarang keluar rumah. Dia seperti diseret arus kesenyapan yang maha dalam. Terkadang dia seperti mayat hidup, diam dan hanya diam. Seperti bertapa brata, entah untuk apa? semua temannya tidak ada yang pernah tahu.

Di hari yang lain, dia bertingkah seperti orang yang paling sibuk sedunia. Bergegas melakukan apa saja, semua pekerjaan enteng dikerjakannya. Tapi ya itu, ia masih diam. Selayaknya orang yang sedang laku bisu, cuma tubuhnya saya yang bergerak. Seperti cacing yang tidak butuh suara untuk berkomunikasi dan bercerita.

Melihat ada yang aneh pada temannya. Jarwi tak tega, ia hendak mencari tahu penyebab apa yang merubah nasib temannya itu. Setelah lebih dulu memastikan situasi aman. Diam-diam ia menyelinap masuk ke dalam kamar laki-laki itu.

Pintu kamar laki-laki itu tidak terkunci seperti biasanya. Begitu langkah kakinya masuk ke dalam kamar. Jarwi menutup hidung, bau kamar itu pesing, antara baju, celana, sandal dan bantal saling tindih tak karuan, abu dan puntung rokok berserakan tidak pada tempatnya, semrawut.

Di sudut kanan kamar itu, di samping kursi kusam, di lantai yang tidak berkeramik itu ada genangan air yang berwarna kuning kecoklatan dan baunya sumpah mati sangat terlaknat. "Jancuk." Jarwi memaki dalam hati.

Di atas meja, ada tumpukan buku dan beberapa kertas dan beberapa alat tulis, semua itu tidak tertata rapi. Di antara tumpukan topi, kaleng biskuit dan plastik bekas bungkus makanan ada kertas surat yang sudah berdebu.

"Sepertinya surat ini sudah lama ditulis. Tapi kenapa masih di sini, tak sampai ke tujuan. Barangkali si penulis tak ingin mengirimkannya, sepertinya ia bimbang dan ragu atau memang tak punya keberanian untuk mengirimkannya." tanya batin Jarwi kepada dirinya sendiri.

Tanpa minta ijin dulu ke laki-laki itu. Jarwi sudah mengambil kertas surat itu, lalu membacanya.


Pertautan Jiwaku

    Jika menghabiskan hari bersamamu, aku tak bisa menjadi diriku seperti yang biasanya. Kamu telah membuatku merasa lelah jiwa dan raga. Aku jadi mudah gelisah dan terkejut, meski perasaan itu tak pernah aku tampakkan dan memang sengaja aku simpan untuk dipendam dalam-dalam.

     Kini, saat tidak bersamamu, ada saja caramu untuk selalu muncul kembali dengan tiba-tiba dan seperti biasanya, kamu suka sekali hadir saat aku hendak tidur atau saat aku mau bangun pagi. Memilih antara terjaga atau terlelap menjadi dilema yang menyebalkan.

    Dan kamu datang melakukan hal-hal yang tidak pernah aku duga-duga sebelumnya, selalu begitu. Anehnya aku sulit menghindar dari kejaran wujudmu. Ketidakberdayaan apa ini? kamu tampak nyata ada, namun, tak bisa aku raih dan kamu hanya bisa aku sentuh dengan mata batinku.

     Tingkah lakumu membawaku ke puncak keresahan tingkat langit dan semua itu selalu di luar perkiraanku dan semua itu serba tak terduga dan aku tidak bisa memilih dengan jelas dan aku tak suka, tidak bisa mengambil keputusan dengan tegas.

     Terkadang aku ingin mengutuk diriku sendiri hingga tidak perlu merasakan seleksi alam yang bernama karma dan rasa ini menyesakkan dada. Sialan.

     Walaupun begitu, ada perasaan yang sangat menyenangkan. Bahkan hingga sekarang pun, hanya dengan memikirkanmu, aku sudah merasa senang, tenang, nyaman dan tentram.

     Aku tidak tahu seberapa banyak senyummu itu telah membuatku memahami, aku juga tidak tahu seberapa banyak harum wangimu itu telah memberikanku harapan. Namun satu yang aku tahu, Aku tidak butuhkan apa pun lagi. Aku merindukanmu.

Sambutlah Salam dari pertautan jiwamu


"Bangsat." umpat Jarwi seketika, setelah selesai membaca surat itu. Ia bergegas keluar dari kamar busuk itu, lantas mencari temannya yang belajar bisu itu untuk diolok-olok.

Ia lihat laki-laki itu sedang sedang mencari kerang di pinggir pantai. Langkah kaki Jarwi cepat menghampiri kawannya itu. Dan laki-laki itu hanya diam, seakan seluruh fokus matanya hanya untuk melihat kerang di laut.

"Ehem, ehem, kau ternyata pandai menulis surat cinta yang cengeng! ya?" Tanya Jarwi membuka percakapan atau pernyataan. Terik matahari menyengat kulit tanpa halangan.

"Dari mana kau tahu?" laki-laki itu bertanya balik. Ia telah lupa kalau sedang puasa bisu.

"Tenang!" jawab Jarwi singkat.

"Setan! kau mengambilnya dari kamarku?" tanya laki-laki itu dengan raut wajah cemas.

"Aku sengaja mengambilnya untuk aku kirimkan ke pertautan jiwamu itu, lagipula untuk apa kau tulis surat tapi tak pernah kau kirimkan. Kau malah belajar bisu, cah koq, malah tambah goblok!" serangan pertanyaan dan pernyataan dari Jarwi membuat bungkam laki-laki itu. Dan tangan laki-laki itu sengaja dibuat sibuk mencari-cari kerang di sela-sela batu karang.

"Kenapa tak segera kau kirimkan surat itu?" tanya Jarwi sekali lagi. Memancing jawaban temannya itu yang sudah lupa benar dengan puasa bisunya.

"Cremet! Aku tak berniat mengirimkan surat itu!" ungkap laki-laki itu ketus.

"Kenapa?" kejar Jarwi mengharap jawaban yang pasti.

"Dia pacar orang!" jawab laki-laki itu pelan.

"kakek'ane!" maki Jarwi dibarengi dengan tendangan ke pinggul laki-laki itu hingga roboh dan basah dengan air laut. Jarwi ketawa terpingkal-pingkal.

"Jancuk! blog--goblok!" makian Jarwi semakin menjadi-jadi dan bringas, seakan belum puas untuk mengumpat.

Laki-laki itu basah kuyup oleh air asin, kini duduk di batu karang, ia masih diam dan belum juga ada isyarat untuk kembali bersuara. Jarwi pergi meninggalkan laki-laki itu larut dalam usahanya mencerna perasaan yang tumpes.

Pada langkah ke sepuluh, perasaan Jarwi tak enak, ia menoleh ke belakang. "Bajingan, mau minum bir gak?"

"Mau." jawab laki itu singkat dan malu-malu. Jarwi ketawa lagi, tentu saja sambil memaki-maki. "Jancuk, jancuk! lekas berdiri lah."

Dan kedua makhluk aneh itu kembali ke kampung surga. Mencari-cari kedai yang jual bir. Berjalan tak tentu arah dari satu kedai ke kedai lainnya.

"Jamput, kamu ini sebenarnya tahu apa tidak warung yang jualan bir."sergah laki-laki itu.

"Sudah jangan crewet!"tangkis Jarwi membungkam mulut laki-laki itu.

Kedua manusia aneh itu kembali menyusuri tiap lorong kampung, berharap dapat berkah dan ilham dari langit untuk dipertemukan dengan kedai penjual bir. Dan laki-laki itu merasa tubuh lelah berjalan, batinnya hendak berontak tapi selalu diurungkan. Dia menyandarkan tubuhnya di tembok rumah warga, duduk selonjoran, menikmati kelelahan barang satu-dua menit.

"Kenapa malah duduk-duduk santai?" tanya Jarwi keheranan.

"Capek, bangsat!" kata laki-laki itu membela diri.

"Baiklah, kamu tahu dimana kedai yang jualan bir?"

"Jancuk! setelah capek berjalan mengelilingi kampung, baru sekarang kamu bilang. kenapa gak ngomong dari tadi, bangsat?"

"Kamu kalau gak bisu koq, crewet!"

"Ha-ha-ha."


Tamat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun