“Saya kira kamu hanya bisa mengangguk, menggeleng, dan menjawab singkat.” Satya tertawa, berusaha menciptakan atmosfer yang lebih hangat.
“Itu pujian atau celaan?” si gadis semula hanya menyeringai, namun akhirnya ia tertawa juga.
Satya tersenyum simpul, lantas menghabiskan kopinya. Manis, tak seperti kopi kesukaan si gadis.
“Apa yang kamu lihat dari purnama malam ini?” tanya Satya. Meski merasa telah terjebak dalam pembicaraan ganjil, Satya tertarik juga pada obrolan ini.
“Saya melihat teriakan, tangisan, tawa bengis, dan kebakaran. Entahlah.” Si gadis menyeringai, meninggalkan tatapan prihatin dalam wajah Satya. Memang itulah yang ia lihat pada rembulan malam ini. Peristiwa bertahun-tahun silam.
“Kenapa kamu bisa betah duduk diam selama berjam-jam di tempat ini?”
“Setelah saya memandangi rembulan purnama itu, saya harus merenung.” si gadis menjawab dengan mimik serius.
“Merenungi rembulan? Yang benar saja, hahaha.” Satya menertawakan jawaban si gadis, meski ia tak mengerti bagian mana yang lucu dari perkataan si gadis. Barangkali, ekspresinya yang kelewat serius dalam membicarakan rembulan purnama itulah yang membuatnya tergelak.
“Saya merenungi apa yang saya lihat dari rembulan itu. Mengingat-ingat masa lalu, menimbang-nimbang apakah saya harus menjalankan atau membatalkan rencana-rencana yang bersarang di pikiran saya.”
“Begitukah? Pertama. Bagi saya, purnama selalu sama. Bulatnya, ceruk-ceruknya, sinarnya. Melihat purnama seolah melihat janji atas hari esok yang lebih baik. Membosankan bila datang ke sini hanya untuk melihat rembulan. Kedua, saya adalah salah satu pemilik kedai ini. Saya bisa mengenali seluruh menu di tempat ini hanya dengan menciumnya sekali saja. Jadi, jangan heran kalau saya hapal pelanggan kedai kopi ini. Oh iya, khusus malam ini kamu tidak perlu membayar kopi ini. Anggap saja hadiah untuk pelanggan setia.” Satya tersenyum puas melihat keterkejutan di raut wajah si gadis.
“Lalu, apa yang kamu hasilkan dari renungan malam ini?” Satya menatap lurus ke arah gadis itu.