Bangsa Indonesia saat ini sedang mengalami multikrisis, salah satunya adalah krisis dalam penegakan hukum. Hukum merupakan pedoman (rules of the game) yang berlaku bagi setiap orang atau anggota masyarakat dalam bertingkah laku, mengenai hal apa yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan.Â
Penegakan hukum berarti kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum. Hal ini bertujuan untuk menciptakan ketertiban, kedamaian dan kesejahteraan masyarakat, serta keadilan sosial.
Namun pada realitanya, penegakan hukum di Indonesia belum bisa mewujudkan keadilan tersebut. Praktik tebang pilih yang terjadi antara masyarakat kecil (alit) dengan masyarakat yang mempunyai kekuasaan (elite) dalam penegakan hukum di Indonesia merupakan salah satu contoh dari tidak ditegakkannya keadilan.Â
Meminjam ungkapan Soetandyo Wignjosoebroto, hukum lebih menguntungkan kaum elite dan menindas kaum alit. Banyak kasus yang ditangani secara tidak adil, membuat masyarakat semakin bertanya-tanya mengenai proses penegakan hukum di Indonesia. Orang-orang tertentu merasa bahwa keadilan di negara ini hanya untuk orang-orang dengan uang tunai. Lantas di mana hukum kita? Kondisi ini sangat memprihatinkan dan bisa membawa dampak yang buruk bagi bangsa Indonesia ke depannya.
Problematika Penegakan Hukum di Indonesia
Penegakan hukum di Indonesia masih belum bisa memenuhi nilai keadilan karena masih dipengaruhi oleh stratifikasi sosial. Hukum di Indonesia sering dikatakan tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Penindakan kasus "pencurian kecil" yang cepat dibandingkan dengan kasus "pencurian besar" yang lamban dan jalan di tempat, jelas menunjukkan adanya diskriminasi dalam penegakan hukum di Indonesia.Â
Kasus kejahatan kecil oleh orang-orang miskin mendapatkan tekanan hukum yang sangat kuat. Sebaliknya, hukum menjadi lemah untuk kasus besar yang merugikan negara, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme (white collar crime).
Beberapa contoh kasus yang sempat melukai rasa keadilan masyarakat di antaranya kasus penempatan Artalyta Suryani di ruang khusus yang cukup mewah di Rumah Tahanan Pondok Bambu beberapa tahun lalu, tidak tuntasnya penyelesaian beberapa kasus korupsi, kelambanan penanganan kasus-kasus besar seperti kasus Century dan kasus Wisma Atlet, hingga kasus Harun Masiku yang menjadi buron sejak awal 2020 dan masih belum berhasil ditangkap hingga saat ini, semua itu merupakan sedikit dari wajah buram penegakan hukum yang berkeadilan di Indonesia.Â
Belum lagi kasus nenek Minah yang dituduh mencuri tiga buah kakao di Banyumas, 'pencurian' kayu jati oleh nenek Asyani di Situbondo, pencurian satu buah semangka oleh Cholil dan Basar di Kediri, serta pencurian kapuk randu oleh Manisih di Batang, semakin menambah daftar panjang potret suram dalam praktik penegakan hukum di negeri ini.
Kita mungkin juga masih ingat dengan kesenjangan hukum yang terjadi beberapa tahun lalu pada saat pandemi merebak. Ketika masyarakat kalangan biasa dijerat hukum sebab membuat perayaan yang dihadiri banyak orang, sementara masyarakat kalangan atas seperti kasus artis yang menikahkan anaknya yang sampai dihadiri pejabat negara justru tidak tersentuh sama sekali dengan hukum, padahal sama-sama dilakukan di tengah pandemi.
Dari serangkaian contoh kasus di atas dapat terlihat dengan jelas adanya perbedaan perlakuan dalam hukum, yang memberi kesan bahwa hukum hanya berlaku bagi masyarakat kelas bawah sedangkan hukum bagi penguasa seakan tak berdaya dan dapat diperjualbelikan.Â
Fakta yang sangat ironis sekali. Potret penegakan hukum dan keadilan pun bukan lagi milik semua orang, melainkan hanya milik segelintir orang yang sangat dekat dengan uang dan kekuasaan. Mengutip apa yang pernah ditulis oleh Marc Galanter: "the haves will always get out ahead".
Padahal pada prinsipnya, setiap orang sama di hadapan hukum (equality before the law). Hukum tidak mengenal stratifikasi sosial dalam penegakan hukum. Walakin, kenyataan yang terjadi justru berbanding terbalik dari prinsip dan tujuan hukum. Hal ini jelas melanggar UUD Pasal 28D ayat (1) yang berbunyi, "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum".
Rendahnya integritas moral, kredibilitas, profesionalitas, dan kesadaran hukum aparat penegak hukum dalam menegakkan hukum juga menjadi faktor lain sulitnya penegakan hukum di Indonesia.
Hukum yang tidak adil dapat menyebabkan munculnya krisis kepercayaan (legitimasi) dari masyarakat terhadap penegakan hukum, sehingga citra dari hukum di mata masyarakat menjadi buruk. Â
Upaya Mengatasi Ketidakadilan Hukum
Untuk bisa menegakkan hukum sesuai dengan amanat UUD 1945, Pasal 28D ayat (1) perlu ditegakkan. Jika kebebasan bersama untuk diperlakukan secara setara di bawah pengawasan hukum yang stabil terpenuhi, hukum di Indonesia tidak akan benar-benar tajam di satu sisi.Â
Hukum diterapkan tanpa pandang bulu, setiap masyarakat baik yang berasal dari golongan kelas menengah ke bawah dan golongan kelas atas harus mendapatkan perlakuan yang sama di mata hukum. Di sisi lain, para aparat hukum juga harus taat terhadap hukum dan berpegang pada nilai-nilai moral dan etika yang berlaku di masyarakat.
Apabila kedua unsur ini terpenuhi maka diharapkan penegakan hukum secara adil dapat terjadi di Indonesia. Kejadian-kejadian yang selama ini terjadi diharapkan dapat menjadi proses mawas diri bagi para aparat hukum dalam penegakan hukum di Indonesia, disertai upaya pembenahan dalam sistem penegakan hukum di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H