Mohon tunggu...
Muhajjah Saratini
Muhajjah Saratini Mohon Tunggu... -

Pembaca.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Mengingat Harga Sesama Manusia—Ulasan Buku Teroris Visual oleh Aji Prasetyo

22 September 2015   14:01 Diperbarui: 22 September 2015   14:19 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul: Teroris Visual oleh Aji Prasetyo

Cerita & Gambar: Aji Prasetyo

Editor: Ifan Adriansyah Ismail

Penerbit: Cendana Art Media

Cetakan Pertama, Mei 2015

Bagaimana memulainya, ya?

Sudah berapa lama saya tidak menulis? Membaca saja sepertinya sudah lama sekali tidak saya lakukan, apalagi menulis. Ah, semakin tua semakin berbeda prioritas utama kita.

Di antara banyak list currently reading saya di Goodreads, komik ini terselip. Saya dapat hasil pinjam teman kos dulu. Tadinya, saya dahulukan baca karena komik identik dengan hiburan dan bisa dibaca cepat.

Ternyata saya salah.

Ada 6 Bab di buku ini. Masing-masing menohok perasaan dan pemikiran.

Bab I, Merayakan Manusia, mengingatkan perubahan “harga” manusia di mata sesamanya. Contoh yang diberikan adalah zaman perang dan Ospek. Saya baru paham maksud Ospek yang tugasnya aneh-aneh itu justru setelah membaca komik ini. Bahwa tugas-tugas itu agar sebagai mahasiswa baru kita mau berkelana keliling kota tempat kita akan menuntut ilmu. Jadi bukan hanya berputar-putar di kampus saja, melainkan juga mengenal lingkungannya. Belajar bagaimana berinteraksi dengan masyarakat sesungguhnya. Sayangnya, pergeseran zaman membuat kita menjadi generasi instan, termasuk dalam Ospek.

Bab II, Wanita Berdaya dan Mulia, lagi-lagi membuka wawasan saya. Bukan hanya berargumen, sejarah tentang pengaruh wanita di berbagai negeri juga ditampilkan. Tentang posisi di rumah tangga. Kenapa zaman dahulu laki-laki seolah “raja” ketika tiba di rumah? Termasuk di rumah saya.

“Sebentar lagi Ayah pulang. Siapin makan. Jangan lupa kobokan dan air putih.”

Dan ketika Ayah datang, kami akan berkumpul untuk makan bersama. Setelah makan, Ayah akan ditawari teh dan jajanan—jika ada.

Semua terpusat ke Ayah, karena Ayah adalah petugas luar. Sementara Emak berkuasa di dapur. Pembagiannya jelas. Ayah total cari duit, Emak total ngurus rumah dan anak-anak.

Zaman sekarang, ketika posisi laki-laki semakin tergeser karena beberapa pekerjaan memang lebih tersedia bagi perempuan, ternyata tidak diikuti oleh penyesuaian posisi di rumah. Sebagian laki-laki tetap ingin menjadi “raja” ketika di rumah. Ingin terlayani sempurna. Kebersihan, pendidikan, makanan, pijatan… tanpa menyadari bahwa istrinya ikut membantu menyokong kebutuhan sehingga tetap bisa tersaji kopi yang asapnya mengepul. Atau mungkin, menyadari, tetapi terlalu pengecut untuk mengakui. Merasa bahwa dengan membantu istri mencuci baju apalagi sampai terlihat sedang menjemur baju oleh tetangga maka harga dirinya akan runtuh.

Padahal, ssttt… ssttt…, tanyakan kepada para wanita, cowok yang sedang menjemur baju itu terlihat seksi. Karena artinya dia berjiwa cukup besar untuk berbagi beban dengan sang istri. Mau tidak mau, saya lagi-lagi teringat pada kasus seorang gadis yang membuat status di Facebook karena terpesona melihat seorang pria sedang menjaga dan menyuapi anaknya sementara istrinya sibuk memilih baju. Gadis ini tak dapat menahan diri untuk membuat status bersedia dipoligami. Nah, tuh. Pesona laki-laki yang bersedia berbagi jauh lebih besar daripada yang sok berkuasa di rumah sambil ongkang-ongkang kaki.

Di satu sisi, ini hal yang tidak disampaikan oleh komikus, karena fokusnya memang memuliakan perempuan di bab ini… bahwa perempuan yang bekerja juga tidak boleh kemudian semena-mena. Kalau kata suami saya—ketika saya mulai ribut membahas laki-laki yang masih menuntut istri sempurna di dapur, kasur, dan merawat anak—ketika masing-masing selalu ribut menuntut hak maka tidak akan bisa terjalin kerja sama. Iya, bagaimanapun posisi suami istri—sama-sama bekerja, salah satu bekerja—yang terpenting adalah saling pengertian.

Selain itu, bab ini juga memuat pendapat komikus mengenai lokalisasi. Pendapat komikus ini, kalau saya yang dulu yang membaca pasti akan saya tolak habis-habisan. Tapi, seorang kawan memberi gambaran yang kurang lebih sama dengan isi komik ini. Dan setelah dua kali pernah berkunjung ke tempat lokalisasi, saya rasa masalah memang tidak bisa selesai sesederhana dengan menutupnya saja.

Masalah lain yang dibahas adalah kontroversi memilih wanita sebagai pemimpin. Saya baru tahu…

“Di seluruh tanah air kita ini, hanya di Aceh pakaian asli perempuan memakai celana. Sebab mereka turut aktif dalam perang.” (Buya Hamka)

Bab III, Media yang belum Kunjung Memediasi, berisi kritikan tentang media yang tidak lagi menyajikan tontonan sebagai tuntunan.

Bab IV, Sebelum Kita Lupa Berbudaya, tentang pertentangan paham lama dengan paham baru. Mulai dari cara mencari nafkah hingga beragama. Ada patung Bunda Maria dan Bayi Yesus ternyata di Gereja Ganjuran Bantul yang memakai pakaian daerah Jawa. Menarik sekali. Jadi, yang melakukan akulturasi budaya demi dapat memasukkan agama bukan hanya Islam—iya, pengetahuan saya tentang ini memang minim sekali. Saya harus memberi tahu suami agar kami sekeluarga bisa melihatnya langsung.

Bab V, Negeriku, Negara Siapa? Isinya mewakili pertanyaan ini. Sebenarnya, kita ini, Indonesia, negara siapa? Setelah merdeka berpuluh tahun masih ada yang harus berjuang keras hanya agar bisa mendapat pelajaran membaca, atau mendapat pengobatan yang layak. Mereka juga orang Indonesia, kan?

Selain itu, bab ini juga membahas mengenai kongkalikong koruptor mengeruk uang negara—demi siapa?—termasuk kasus Atik di Bank Jatim. Juga, kasus penyiraman Munarwan terhadap Tamrin Amal saat acara dialog yang disiarkan langsung di televisi.

Bab VI, Salam Penutup dari Lembah Biru…, tiba-tiba romantis. Saya ngutip saja, ah, di bab ini.

“Bumi sedang sakit. Saat langit menyuapinya dengan air, ia tak sanggup menelan. Semua dimuntahkan.”

Saya salah. Komik ini tidak ringan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun