Bab II, Wanita Berdaya dan Mulia, lagi-lagi membuka wawasan saya. Bukan hanya berargumen, sejarah tentang pengaruh wanita di berbagai negeri juga ditampilkan. Tentang posisi di rumah tangga. Kenapa zaman dahulu laki-laki seolah “raja” ketika tiba di rumah? Termasuk di rumah saya.
“Sebentar lagi Ayah pulang. Siapin makan. Jangan lupa kobokan dan air putih.”
Dan ketika Ayah datang, kami akan berkumpul untuk makan bersama. Setelah makan, Ayah akan ditawari teh dan jajanan—jika ada.
Semua terpusat ke Ayah, karena Ayah adalah petugas luar. Sementara Emak berkuasa di dapur. Pembagiannya jelas. Ayah total cari duit, Emak total ngurus rumah dan anak-anak.
Zaman sekarang, ketika posisi laki-laki semakin tergeser karena beberapa pekerjaan memang lebih tersedia bagi perempuan, ternyata tidak diikuti oleh penyesuaian posisi di rumah. Sebagian laki-laki tetap ingin menjadi “raja” ketika di rumah. Ingin terlayani sempurna. Kebersihan, pendidikan, makanan, pijatan… tanpa menyadari bahwa istrinya ikut membantu menyokong kebutuhan sehingga tetap bisa tersaji kopi yang asapnya mengepul. Atau mungkin, menyadari, tetapi terlalu pengecut untuk mengakui. Merasa bahwa dengan membantu istri mencuci baju apalagi sampai terlihat sedang menjemur baju oleh tetangga maka harga dirinya akan runtuh.
Padahal, ssttt… ssttt…, tanyakan kepada para wanita, cowok yang sedang menjemur baju itu terlihat seksi. Karena artinya dia berjiwa cukup besar untuk berbagi beban dengan sang istri. Mau tidak mau, saya lagi-lagi teringat pada kasus seorang gadis yang membuat status di Facebook karena terpesona melihat seorang pria sedang menjaga dan menyuapi anaknya sementara istrinya sibuk memilih baju. Gadis ini tak dapat menahan diri untuk membuat status bersedia dipoligami. Nah, tuh. Pesona laki-laki yang bersedia berbagi jauh lebih besar daripada yang sok berkuasa di rumah sambil ongkang-ongkang kaki.
Di satu sisi, ini hal yang tidak disampaikan oleh komikus, karena fokusnya memang memuliakan perempuan di bab ini… bahwa perempuan yang bekerja juga tidak boleh kemudian semena-mena. Kalau kata suami saya—ketika saya mulai ribut membahas laki-laki yang masih menuntut istri sempurna di dapur, kasur, dan merawat anak—ketika masing-masing selalu ribut menuntut hak maka tidak akan bisa terjalin kerja sama. Iya, bagaimanapun posisi suami istri—sama-sama bekerja, salah satu bekerja—yang terpenting adalah saling pengertian.
Selain itu, bab ini juga memuat pendapat komikus mengenai lokalisasi. Pendapat komikus ini, kalau saya yang dulu yang membaca pasti akan saya tolak habis-habisan. Tapi, seorang kawan memberi gambaran yang kurang lebih sama dengan isi komik ini. Dan setelah dua kali pernah berkunjung ke tempat lokalisasi, saya rasa masalah memang tidak bisa selesai sesederhana dengan menutupnya saja.
Masalah lain yang dibahas adalah kontroversi memilih wanita sebagai pemimpin. Saya baru tahu…
“Di seluruh tanah air kita ini, hanya di Aceh pakaian asli perempuan memakai celana. Sebab mereka turut aktif dalam perang.” (Buya Hamka)
Bab III, Media yang belum Kunjung Memediasi, berisi kritikan tentang media yang tidak lagi menyajikan tontonan sebagai tuntunan.