Jakarta bukan kota asing sepenuhnya, malah separuh menjadi "kampung halaman". Â Beberapa keluarga besar menetap di sana.
Tetapi, saya tidak pernah keleleran. Setiap pergi ke dan selama berada di Jakarta, saya selalu diantar jemput. Tinggal duduk manis atau nunjuk-nunjuk.
Selama tahun 2003, saya "terpaksa" menjadi penduduk Jakarta. Menjalani rangkaian pendidikan sebagai PNS baru di sebuah Kementerian.
Selama itu saya tinggal di Jakarta Timur, dan setiap pagi harus menuju Pusdiklat yang berada di Slipi, Jakarta Barat.
Well, petualangan yang sesungguhnya pun dimulai. Bukan saya tidak terbiasa dengan angkutan umum. Toh selama di Surabaya, setiap hari pun harus berburu bus kota, angkot, dan tabah menanti berjam-jam.
Namun Jakarta tetap mengerikan untuk  cah ndeso macam saya. Â
Dari Jakarta Timur ke Jakarta Barat, memanggul tas ransel berat yang terisi penuh modul-modul tebal yang wajib dibawa setiap hari. Ketika tidak muat, masih ada tas tambahan yang harus ditenteng, berisi bekal makan dan minum.
Iya, selama diklat  tidak tersedia air minum yang bebas diambil para peserta diklat. Saya selalu membawa satu botol Aqua 1,5 liter yang saya isi ulang di rumah, agar tidak kehausan karena baru sampai rumah menjelang magrib.
Masa iya minum air kran?
Seminggu pertama saya masih di antar jemput. Lalu mulai kenal kawan-kawan sekelas. Beberapa kawan yang anak Jakarta dan paham jalur transportasi mulai berbagi informasi.
"Ngapain pakai diantar jemput segala? Naik bus lah, gampang kok!"
Demikian mereka berusaha meyakinkan