“Siapa kau? Apa maksudmu memanggilku Johan? Aku Adam, bukan Johan! Paham? Kau salah Tuan!” susah payah kuteriakkan identitasku sebenarnya, meski kepalaku seperti gasing terputar tujuh keliling. Pusing dan nyeri sekali.
Makhluk jelek itu hanya tertawa menyeringai seraya memamerkan dua taring runcing dalam mulutnya. Rambutnya yang hitam tertutup jubah berwarna gelap pula.
Tangan makhluk itu berlumur darah, matanya berkilat merah, menyala bak bara api dari neraka. Suaranya begitu berdentum seperti bom atom dijatuhkan dari atas kepala. Menggetarkan, membuat telingaku sakit bukan main.
“Kau Johan, reinkarnasi pembunuh warga Paneleh abad 1800, hahaha…!”
“Mau mengelak lagi,he?” ejek makhluk jelek rupa itu lagi seraya bersiap mengayunkan pedangnya ke arahku. Aku mundur beberapa langkah. Tubuhku bergetar hebat menahan rasa sakit dari ketakutan yang mulai memenuhi dadaku. Peluh membanjir di pelipis.
Di bawah sinar bulan temaram, angin dingin seakan menjadi saksi kematianku. Detik-detik nahas yang tak pernah kusadari bakal menimpaku dengan penuh tragedi.
Tiba-tiba, hape di saku kemejaku berbunyi. Persis di saat tubuh buruk rupa itu telah menempelkan ujung pedangnya ke urat leherku. Tak kusiakan kesempatan ini. Secepat kilat ku berlari menempuh gundukkan tanah makam, entah di mana itu. Aku tak sempat lagi berpikir. Tapi naluriku seperti meyakinkan aku pernah di sini, berabad lalu, saat jaman penjajahan Hindia Belanda.
Kudengar langkah berat makhluk jelek itu mengejarku lamat-lamat. Jumlah mereka tak hanya satu, melainkan puluhan. Dan aku terus berlari, tak peduli kakiku berdarah, lututku perih menginjak reranting dan kerikil tajam di tanah setengah berbatu itu. Ponselku kembali berdering, aku membuka layar dan, aarrrghhh….kembali tubuhku melayang ke lorong gelap, panjang tanpa bisa kuhindari. Seperti ditarik oleh sosok ghaib kematian.
BUKK!!!
Aku jatuh di sebuah area empuk, wangi dan memabukkan. Sesaat, kubiarkan tubuh lelahku terdiam dan pulas entah untuk berapa lama. Aku terkapar diam! Hingga napas pagi membangunkanku, aku masih masih tak percaya ini sebuah mimpi! Inginnya ini sekedar nightmare belaka.
***
Untuk pertama kalinya mataku basah oleh air mata. Darahku terasa menggigil mengingat kejadian semalam yang antara mimpi dan kenyataan.
Aku terbangun, kusiapkan perlengkapan foto amatirku. Pikiranku, jujur, kusut! Jantungku masih bergolak ngeri membayangkan andai pedang terhunus itu memenggal kepalaku semalam. Kuhela napas berat, sambil memesan secangkir kopi panas. Mungkin dengan meneguk secangkir kopi pikiranku akan sedikit jernih. Arrrghhh!!!!