Judul: Reinkarnasi Hantu Paneleh
Written: Ain Saga
Pukul dua dini hari, aku terbangun oleh bunyi alarm hape Androidku di atas meja belajar. Rasa kantuk yang dahsyat, membuatku enggan membuka mata. Tapi dering hapeku kian melolong membuat gaduh suasana. Setengah hati, kubangkit menuju benda kesayangan itu. Kuraih, dan tuts, hape kumatikan. Tanpa berpikir rumit, segera kujatuhkan lagi tubuh bongsorku pada spring bed empuk dan mencoba kembali terlelap. Maklumlah, dua hari aku sibuk mencari bahan untuk kelengkapan reportaseku tentang skripsi yang kuusung di semester akhir kuliah jurnalisku. Semua foto yang kuliput, sudah kubundel dalam file khusus. Tinggal editing besok pagi, pikirku setengah ngelindur.
Baru saja, setengah menit mataku terpejam, seperti ada tangan halus menyentuh lenganku. Dingin, kurasakan jemari itu menyentuh kulitku. Tanpa sadar, kutepiskan, sekali, dua kali, ia kembali melakukan hal yang sama, bahkan lebih gila lagi, indera penciumanku kini seperti ditarik-taarik bau busuk menyengat, seperti bau yang sering kuindera di ruang formalin kamar jenasah di rumah sakit tempat aku pernah meliput berita kriminal.
Ah, aku tak kuat lagi untuk tak membuka mataku, tak ada siapa-siapa. Ruang kamarku sepi dan semua tampak normal, tanpa ada tanda-tanda ada orang masuk diam-diam. Aku bangkit sejenak, menuju kulkas dan meneguk Coppucino dingin. Kukitari sudut-sudut kamar dengan mata siaga. Gorden putih bermotif bunga-bunga di dekat ranjangku tampak bergerak tertiup angin. Padahal ruangan kamarku full AC. Aneh, pikirku, meski masih juga tak menyiutkan nyaliku untuk kembali terlelap, kalau saja, hape Androidku mendadak menyala sendiri. Loh, Bukankah telah ku-off-kan sedari tadi? Aku merasa bertindak ceroboh karena tak sempat lagi memastikan hal itu.
Segera kuraih benda berisi semua data hasit riset dan observasiku beberapa hari lalu, serasa menyalakan lagi layar di dalamnya.
“Adam…!” sebuah suara teramat halus seperti berbisik di ujung gendang telingaku. Aku mengernyitkan dahi, mencoba berkonsentrasi, dari mana sumber suara itu.
“Kemarilah, Adam….” Kembali suara halus bernada setengah merintih memaku pikiranku. Kurasakan hawa dingin di belakang tengkukku. Kakiku tiba-tiba seperti terkunci, tak bisa kuberlari apalagi berteriak sekuat daya. Ah, ada apa ini, kenapa kurasakan tubuhku seperti ditarik ke sebuah lorong panjang, terus dan tak berujung. Aku menjerit histeris, tapi suaraku seperti membentur dinding gua nan jauh.
“TIDAKKKKK…!”
kupaksakan berteriak sekali lagi. Berharap ada orang yang mendengar dan menolongku saat itu. Tapi, aku seperti terlempar ke sebuah dataran hijau dan bangunan tinggi menjulang di abad lalu. Aku terjatuh di sebuah makam kuno yang tak kumengerti, apa, dan milik siapa itu?
Sesosok makhluk berlumur darah di mulut dan tangan, segera menjamah tubuhku dengan kasar. Tawanya mendirikan bulu kudukku.
“Akhirnya kutemukan juga engkau, Johan, ha…ha…ha….”
“Sekian abad kucari dirimu, ternyata kau tumbuh besar dan cukup berotot untuk menjadi tumbal para arwah leluhur Paneleh … ha…ha …!” terdengar pekik tawa memekakkan gendang telingaku. Aku terhuyung dalam cengkeraman kuku panjang dan hitam dengan bau anyir tak karuan menyebar ke pusat sarafku. Perutku terasa mual. Kakiku beku tak bisa tergerak lagi. Apakah aku sudah mati? Pikirku setengah pucat pasi. Mata mahkluk serupa drakula dalam film horror yang sering kutonton pun terasa nyata kini. Sorot matanya penuh api. Dendam dan kemarahan. Entah apa yang membuatnya begitu membenciku, dan siapa orang yang ia sebut sebagai Johan? Aku tak punya waktu untuk berpikir wajar, tenagaku bagai terhisap habis dan nyawaku terasa di ujung tanduk.