Mohon tunggu...
Aimi Alfiyan
Aimi Alfiyan Mohon Tunggu... Penulis - Nama lengkap saya alfiyan izza maulana idris

Mahasiswa aktif UIN Walisongo Semarang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dampak Kekerasan pada Anak di Masa Pandemi Terhadap Perkembangan Psikologi Anak

20 April 2021   22:28 Diperbarui: 20 April 2021   23:11 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

FITK UIN Walisongo, Alfiyan Izza Maulana Idris, 1903016034, PAI-4A

Pendahuluan

Merawat dan membina anak merupakan kewajiban yang sudah seharusnya dilaksanakan agar anak memiliki budi pekerti yang baik. Anak merupakan bagian penting sebagai generasi penerus bangsa, masih di bawah umur, rentan terhadap pengaruh yang berdampak negatif bagi dirinya bahkan mungkin bagi orang lain. Oleh karena itu seorang anak harus mendapatkan bimbingan agar tidak melakukan sesuatu yang memberikan dampak negatif bagi dirinya dan orang lain. 

Anak juga berhak mendapatkan perlindungan dari kekerasan, diskriminasi dan segenap tindakan-tindakan buruk yang dapat merugikan serta menyakiti fisik maupun psikis anak. Anak wajib dihindarkan dari kekerasan orang dewasa, baik di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.

Dalam beberapa tahun terakhir kasus kekerasan terhadap anak mengalami peningkatan. Hampir setiap hari ada berita dan tayangan kekerasan melalui berbagai media massa. Kekerasan yang terjadi tidak hanya orang dewasa saja yang menjadi korban, tetapi kini anak-anak juga menjadi sasarannya. Kekerasan yang terjadi terhadap anak seperti kekerasan fisik (physical abuse) yang berupa penyiksaan,pemukulan, dan penganiayaan dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu yang menimbulkan luka-luka fisik atau kematian. Kekerasan kedua yaitu kekerasan secara psikis, dimana anak dianiaya secara psikologis.

Kekerasan yang terjadi pada anak saat pandemi covid-19 malah meningkat secara drastis, sebagaimana yang dikutip dari Kompas.com (Oktober 2020) bahwa kasus kekerasan terhadap anak dari sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) dari tanggal 1 Januari 2020 sampai 23 September 2020 menunjukkan bahwa Kasus Kekerasan terhadap Anak di Indonesia sebanyak 5.697 kasus dengan 6.315 korban. Segala bentuk perlakuan yang mengganggu dan merusak hak-hak dasarnya dalam berbagai bentuk pemanfaatan dan eksploitasi yang tidak berperikemanusiaan yang harus segera dihentikan tanpa terkecuali.

Pembahasan

Istilah kekerasan terhadap anak (child abuse), mulai dikenal dari dunia kedokteran pada tahun 1946, dimana seorang radiologist menemukan kekerasan pada hasil foto rontgen anak, dan sejak itu dikenal istilah child abuse Abuse artinya penganiayaan atau penyiksaan yang mengakibatkan kerugian secara fisik, psikologis atau finansial baik dialami individu atau kelompok (Probosiwi, 2015:31). 

Menurut Soeroso, kekerasan terhadap anak adalah perbuatan orang dewasa yang berakibat kesengsaraan dan penderitaan fisik maupun psikis pada anak dibawah umur. Anak dalam posisi lemah sering menjadi sasaran kekerasan orang keliling nya. Ada empat kategori utama tindak kekerasan terhadap anak yaitu pengabaian, kekerasan fisik, pelecehan emosional atau psikologis, dan pelecehan seksual.

Tindak kekerasan yang terjadi tidak hanya berupa tindakan fisik melainkan juga perbuatan non fisik (psikis). Tindakan fisik secara langsung bisa dirasakan akibatnya oleh korban serta dapat dilihat oleh siapa saja, sedangkan tindakan non fisik (psikis) yang bisa merasakan langsung hanyalah korban, karena tindakan tersebut langsung berkaitan menyinggung hati nurani atau perasaan seseorang. Kekerasan fisik dan non-fisik juga bisa dilakukan oleh lingkungan terdekat terhadap anak, dan lebih-lebih pada masa pandemi covid-19 ini. (Ririen Arinalhaq, 2020: 3)

Adanya pandemi covid 19 telah mengubah proses belajar mengajar yang bisanya dilakukan di sekolah sekarang harus menggunakan PJJ atau pembelajaran jarak jauh yang mengharuskan anak didik belajar dirumah. Ibu yang biasa mengeluarkan kata-kata kasar juga akan berpengaruh terhadap anak yang berada di rumah, belajar di rumah, dan beribadah di rumah selama pandemi covid-19. 

Keseharian anak yang nyaris selalu di rumah sejak pandemi covid-19 membuat beban kerja ibu semakin meningkat, bersih-bersih, menyediakan konsumsi, dan beban yang paling berat adalah mendampingi anak belajar. 

Beban kerja yang meningkat kadang-kadang akan menyulut emosi yang kadang-kadang tidak terkontrol. Banyak tayangan media dan media sosial tentang kekerasan yang dilakukan ibu saat mendampingi anak belajar di rumah. 

Bersumber dari Kompas.com (16 September 2020) terjadi kekerasan pada anak di daerah Tangerang, dimana anak usia 8 tahun dibunuh oleh ibu nya karena kesal anaknya susah dibimbing belajar online di rumah. Kejadian ini terjadi pada tanggal 16 Agustus 2020, di rumah kontrakan di kecamatan Larangan Tangerang. Siibu mengaku kesal karena anak susah belajar online, sehingga ibu gelap mata menganiaya anaknya sampai meninggal. 

Kemudian anak dikuburkan oleh suami istri tersebut secara sembunyi-sembunyi. Setelah dikuburkan, mereka melapor ke pihak keamanan setempat bahwa anaknya sudah beberapa hari hilang. Kasus tersebut adalah salah satu contoh dari kekerasan terhadap anak yang terjadi di masa pandemic covid 19.

Menurut teori Erik Erikson anak pada kasus diatas  termasuk dalam fase ketekunan vs inferior. Fase ketekunan vs inferior ini terjadi pada anak usia 6-12 tahun. 

Pada tahapan ini ruang lingkup sosial anak telah meluas keluar dari dunia keluarga dan masuk pada dunia sekolah. Orang tua, guru, dan teman memiliki perananan yang sangat penting dalam tahapan ini. 

Pada tahap ini seorang anak sudah mulai mengembangkan kemampuan dan ketrampilannya melalui kegiatan-kegiatan positif yang dilewatinya dan perngarahan yang tepat dari orang disekitarnya. Seorang anak yang telah merasakan keberhasilan dan pencapaian akan sesuatu (kegiatan positif), akan menumbuhkan rasa ketekunan dan kompetensi (competence) yang tinggi dalam diri anak tersebut. 

Sebaliknya, jika seorang anak terus merasakan kegagalan dalam tugas sekolah dan sebagainya, serta kurangnya dukungan dan arahan dari orang di sekitarnya maka, anak tersebut akan memiliki rasa tidak mampu dan inferiortas yang tinggi. Kegagalan dalam tahap sebelumnya seperti kurang percaya diri, malu, rasa bersalah berlebih, dan keragu-raguan juga bisa memicu terjadinya rasa inferioritas dalam diri seseorang.

Kekerasan yang dialaminya dapat menimbulkan dampak negative terhadap perkembangan psikologi anak. Anak akan menjadi pribadi yang inferior dan kurang percaya diri. Selain kekerasan yang dialami anak dari orang tuanya, pada masa pandemic ini anak menggunakan pembelajaran jarak jauh yang mengakibatkan anak kurang mengenal lingkungan mulai dari teman hingga sekolahnya, yang harunya anak dapat mengembangkan potensi-potensi mereka melalui interaksi dengan teman teman dan guru disekolah.

Kemudian bagaimana cara mengatasi kekerasan yang marak terjadi sekarang ini?

Pertama, pencegahan kekerasan terhadap anak harus dimulai dari keluarga sebagai lingkungan terdekat anak. Banyak kasus kekerasan terhadap anak justru dilakukan oleh anggota keluarga. 

Oleh karena itu, penguatan peran dan fungsi keluarga perlu dilakukan. Keluarga dapat mulai mengatur ulang pengelolaan sumber daya yang dimiliki baik fisik maupun nonfisik serta masalah yang dihadapi keluarga pada masa pandemi Covid-19. 

Selanjutnya perlu diciptakan iklim yang kondusif dalam keluarga dengan dukungan, komitmen, dan komunikasi anggota keluarga sehingga memperkuat kapasitas keluarga dalam menghadapipandemi Covid-19.

Kedua, meningkatkan pengetahuan orang tua dalam hal pengasuhan anak. Pada masa pandemi Covid-19, orang tua perlu menyesuaikan pengasuhan anak dengan kondisi tersebut. Misalnya dengan meningkatkan literasi terkait pengasuhan anak khususnya pada masa Covid-19, serta berdiskusi dengan komunitasnya atau mengikuti webinar parentingterkait. 

Dengan demikian orang tua lebih mudah beradaptasi dengan pengasuhan anak selama pandemi Covid-19. Orang tua dapat mulai mendiskusikan terlebih dahulu mengenai aturan-aturan di rumah. Selanjutnya orang tua memposisikan diri sebagai guru, pengasuh sekaligus sahabat selama mendampingi anak di rumah sehingga tercipta pola pengasuhan anak tanpa kekerasan.

Ketiga, memperkuat komunikasi dan kerja sama antara orang tua dengan sekolah selama mendampingi anak belajar di rumah. Selama pandemi Covid-19, PJJ menjadi pilihan rasional dalam pendidikan. 

Namun demikian, PJJ menuntut kesiapan kedua belah pihak baik sekolah maupun peserta didik. Sekolah harus mampu bekerja sama secara intens dengan orang tua selama proses PJJ untuk meminimalkan dampak negatif PJJ bagi anak. Sekolah perlu \menyosialisasikan kepada orang tua pentingnya mendidik anak tanpa kekerasan. 

Dalam hal ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Komunikasi dan Informasi dapat mendukung dengan melakukan sosialisasi mendidik anak tanpa kekerasan melalui saluran belajar jarak jauh, termasuk melalui berbagai media. Dengan demikian orang tua lebih memahami tentang kebutuhan anak, hak anak, dan perlindungan anak.

Keempat, penguatan peran dari berbagai lembaga keagamaan dan lembaga masyarakat di tingkat lokal. Lembaga tersebut berperan melakukan sosialisasi secara masif tentang perlindungan hak anak di kalangan masyarakat. Metode pendekatan dan komunikasi yang didasarkan nilai, norma, dan budaya masyarakat akan lebih mudah diterima masyarakat. Setelah sosialisasi selanjutnya dilakukangerakanPerlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM). 

Gerakan PATBM merupakan inisiatif masyarakat untuk mencegah kekerasan terhadap anak dengan membangun kesadaran masyarakat sehingga terjadi perubahan pemahaman, sikap, dan perilaku yang melindungi anak. Sasaran kegiatan PATBM adalah anak, keluarga, dan komunitas atau masyarakat di wilayah PATBM dilaksanakan. Saat ini terdapat 548 aktivis PATBM yang tersebar di 1.776 desa di 342 kabupaten/kota di seluruh Indonesia.

Kelima, perbaikan ekonomi keluarga. Perbaikan ekonomi keluarga dapat dimulai dengan pemberdayaan ekonomi keluarga. Pemberdayaan ekonomi keluarga meliputi penataan pola pikir keluarga untuk dapat mengelola keuangan dengan baik, menciptakan produk dengan modal dari sumber pembiayaan seperti koperasi agar memudahkan dalam hal persyaratan, dan membangun jaringan pemasaran melalui teknologi digital (antaranews, 10 Juni 2020). Sementara bagi masyarakat rentan secara ekonomi, pemerintah perlu memastikan skema pemenuhan kebutuhan dasar bagi kelompok rentan selama PSBB. 

Sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan bahwa kegiatan penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan bersumber dari APBN, APBD, dan/atau masyarakat. Dengan demikian selama pelaksanaan PSBB sebagai bentuk penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan, pemerintah bertanggung jawab menyediakan anggaran khususnya anggaran kebutuhan dasar. (Dinar wahyuni, 2020: 16)

Dengan mengetahui hal-hal tersebut diharapkan angka kekerasan terhadap anak usia sekolah akan menurun. Dan anak akan merasa anam dan nyaman walaupun masih harus melaksanakan pembelajaran jarak jauh.

Kesimpulan

kekerasan terhadap anak adalah perbuatan orang dewasa yang berakibat kesengsaraan dan penderitaan fisik maupun psikis pada anak dibawah umur. Tindak kekerasan yang terjadi tidak hanya berupa tindakan fisik melainkan juga perbuatan non fisik. Adanya pandemi covid 19 telah mengubah proses belajar mengajar yang bisanya dilakukan di sekolah sekarang harus menggunakan PJJ atau pembelajaran jarak jauh yang mengharuskan anak didik belajar dirumah. 

Hal tersebut menyebabkan maraknya kekersan terhadap anak. Kekersan terhadap anak banyak dilakukan oleh orang tua, karena bertambahnya beban orang tua untuk menemani anak belajar. Kekerasan tersebut dapat berdampak pada perkembangan psikologis pada diri anak. Yang mana di usia sekolah (6-12 tahun) termasuk dalam fase ketekunan vs inferior, dimana anak harunya anak telah meluas keluar dari dunia keluarga dan masuk pada dunia sekolah. Dan kekerasan hanya akan menghambat pertumbuhan psikologis anak.

Daftar Pustaka

Ririen arinalhaq dan Hadiyanto. 2020. Peran Keluarga, Sekolah Dan Masyarakat Dalam Penanganan Kekerasan Terhadap Anak (Child Abuse) Pada Masa Pandemi Covid-19. Jurnal E-Tech. Volume 8 Numor 2 (hlm. 1)

Probosiwi, Ratih dan Bahransyaf, Daud. 2015. Pedofilia dan Kekerasan Seksual: Masalah dan Perlindungan terhadap Anak. Jurnal Sosio Informa. Volume 1, Nomor 1 (hlm.31)

Dinar Wahyuni. 2020. Pencegahan kekerasan terhadap anak pada masa pendemi covid 19. Info Singkat. Volume 12, Nomor 22 (hlm. 13)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun