Saya bertanya ke kanan dan ke kiri, tetangga yang mungkin mengenalnya. Hingga saya diberi arah oleh sang tetangga, yang ternyata tinggal masih cukup jauh dari rumahnya, lebih dari 1 kilometer. Rupanya berita tentang sang tersangka, menyebar cepat di kalangan warga di Lorong-lorong Kota Malang.Â
KISAHNYA MENGEJUTKAN, SAYA, AIMAN DATANGI RUMAHNYA
Yang mengejutkan ketiksa saya tiba di rumah tersangka, saya tidak mendapati rumah mentereng, dengan fasad mewah. Saya justru mendapatkan rumah tahun 80-an, yang sebagian besar catnya sudah mengelupas, tanpa tanaman hias, kecuali bunga bakung dan alang- alang.
Tapi bukan seperti lagu grup musik God Bless yang populer di tahun 90-an, rumah yang saya datangi dari salah seorang tersangka Korupsi APBD Kota Malang adalah "Rumah Kontrakan", bukan "Rumah Kita" (dia, istri, dan anak-anaknya) sendiri.Â
Yang memprihatinkan, sang istri yang kini mengunci diri di rumah, tidak bekerja dan memiliki anak usia SD serta TK.
Saya bertanya kepada tetangga terdekat, dari mana kemudian makan sehari-hari dia dapatkan?
Sang tetangga yang juga ketua RW di sana menyebut, warga siap membantunya, tetapi sejauh ini, yang bersangkutan masih memiliki orang tua juga di kota yang sama.
Istri sang tersangka korupsi juga tak pernah kelihatan pasca suaminya ditahan KPK. Dua kali terlihat setiap hari, hanya karena mengantar dan menjemput anaknya di sekolah.
ANDAI SAJA...
Rumah kedua, yang saya datangi, juga dari tersangka korupsi Kota Malang. Juga tinggal di Gang. Tetapi bedanya rumahnya kali ini adalah rumah sendiri, peninggalan orang tua. Nilai korupsinya sama, 12 juta.
Kali ini saya bertemu dengan anaknya, yang tengah berjuang sedang mencari kerja. Sayangnya sang anak kurang tekun, kuliah S1-nya sudah pupus harapan beberapa tahun sebelum ayahnya ditahan. Hanya berbekal Ijazah SMA yang dimilikinya.