Mohon tunggu...
NIA
NIA Mohon Tunggu... Penulis - Finding place for ...

- Painting by the words

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Uro dan Matahari Terbit

20 Januari 2022   08:13 Diperbarui: 12 Juni 2022   23:19 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source : Child of Nature/https://id.pinterest.com/pin/2111131067723067/

Di suatu sore, ada seekor gajah yang berjalan sendirian bernama Uro. Badannya melebihi definisi besar, punggungnya kekar, berwarna abu-abu gelap. Setiap kali langkah kaki tercipta, perut bergelambirnya akan bergetar dan ekornya turut bergoyang. Uro bergerak pelan sembari memikul tas berbahan jerami yang berisi bekal makanan.

Puncak gunung tertinggi. Itulah tujuan Uro. Tempatnya berada sangat jauh dari pelupuk mata, puluhan kilometer dari hutan tempat tinggalnya. Jalur yang ditempuh pun tergolong sulit. Ada banyak tanjakan dan batu terjal, juga lubang jebakan buatan manusia. Jika kurang fokus atau tidak berhati-hati, para hewan bisa dengan mudah masuk ke dalam perangkap tersebut. Sungguh, banyak rintangan yang perlu dilalui untuk mencapai puncak tertinggi. Dan Uro ingin menempuhnya, berusaha mencapai puncak gunung tertinggi demi menyaksikan matahari terbit.

Sudah banyak hewan yang berhasil mencapai puncak gunung tertinggi dengan beragam cara. Mulai dari hewan kecil seperti lebah dan kupu-kupu hingga rusa dan raja hutan. Mereka mengatakan hal yang sama, bahwa melihat matahari pagi di puncak tertinggi terasa sangat berbeda. Udara terasa hangat dan menyenangkan. Matahari nampak lebih indah berkali-kali lipat. Keindahan yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Kesaksian tersebut berhasil menggugah keingintahuan Uro, membuatnya memulai perjalanan panjang yang melelahkan.

“Kamu mau pergi ke mana?” tanya si Tupai yang berpapasan dengan Uro di tengah perjalanannya.

“Ke puncak gunung tertinggi. Aku ingin melihat matahari terbit dari sana,” jawab Uro. Si Tupai tertawa hingga berguling-guling di tanah. Tawa yang menggema dan membangunkan sekawanan kelinci yang sedang tidur siang.

“Lebih baik kau urungkan saja niatmu itu, Uro. Kamu tidak akan mungkin bisa pergi ke sana!”

“Kenapa begitu?”

Si Tupai terkekeh lagi. Dia berderham beberapa kali lalu menunjuk Uro sembari memperhatikannya dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Sadar dirilah, Uro. Kamu itu gemuk. Sebelum tiba di puncak gunung tertinggi, kuyakin kamu sudah kelelahan lebih dulu. Pulang saja ke rumah, sebelum terlambat dan menyesal nanti.”

Uro tersenyum getir mendengar respons si Tupai. Ia tidak menanggapi kalimat berbumbu ledekan tersebut dan memilih beranjak untuk melanjutkan perjalanan.

Langit mulai gelap berhias bintang gemerlap. Siapa pun yang melihatnya, pasti akan terhibur atas keelokannya, tetapi tidak dengan Uro. Saat ini, tubuhnya pegal luar biasa, dipenuhi oleh peluh yang tak kunjung berhenti meski dinginnya malam telah datang. Keempat kakinya mengalami kram otot berulang kali. Makhluk berbelalai itu menghentikan langkah, duduk bersandar di bawah pohon besar. Ia membuka tas jerami, mengambil bekal makanan untuk mengisi perutnya yang keroncongan. Di tengah hutan sunyi yang kian sepi, Uro mulai meragukan keputusannya untuk melihat matahari terbit. Tekadnya menjadi dangkal akibat meyakini kebenaran perkatan si Tupai. Sepasang manik bulatnya mulai berair dan meneteskan air mata. Perasaannya dilingkupi penyesalan karena telah melakukan hal yang sia-sia. Sepertinya, Uro harus pulang ke rumah setelah menghabiskan bekal makanan, mengubur dalam-dalam impian sederhana yang ternyata sulit digapai dengan kondisi tubuhnya.

Uro termenung lama, tidak berselera menyantap makanan. Tiba-tiba, terdengar suara raungan keras menakutkan, disusul oleh kehadiran seekor singa. Hewan berbulu itu menghampiri Uro. Ia berjalan dengan gagah berani. Di kepalanya melingkar sebuah tiara indah yang menunjukkan kedudukan tertingginya di dalam ekosistem hutan.

“Hei, hewan gemuk, apa yang sedang kamu lakukan di sini?” tanya si Singa.

“Namaku Uro. Aku sedang beristirahat sejenak setelah berjalan kaki cukup jauh.”

“Memangnya kamu mau ke mana?”

“Ke puncak gunung tertinggi,” jawab Uro dengan nada bicara sedikit ragu. Si Singa menyipitkan satu matanya penuh selidik.

“Untuk apa kau pergi ke sana?” tanya si Singa berbisik. Uro ragu memberikan jawaban hingga terdiam cukup lama. Si Singa masih menantinya bicara, sesekali memperhatikan penampilan gajah di depannya yang terlihat berantakan dan sangat kelelahan.

“Aku ingin melihat matahari terbit.” Uro berbisik seraya menundukkan kepala. Sangat takut menatap lawan bicara, juga takut mendengar respons yang akan diberikan.

“Hmm, matahari terbit dari puncak gunung tertinggi memang sangat luar biasa,” timpal si Singa. Uro menganggukkan kepala yang kian menunduk.

“Tapi aku putuskan untuk pulang saja.”

“Ho! Kenapa begitu? Matahari terbit di puncak sana sangat bagus lho. Kamu harus melihatnya! Sudah banyak yang menyaksikannya. Kuyakin kamu tidak akan menyesal jika pergi ke sana.”

Uro menggeleng dan mulai menatap si Singa. “Aku tidak akan mampu pergi ke sana. Tempat itu terlalu jauh untukku. Untuk tubuh gemukku ini.”

Singa terkatup. Ia memperhatikan Uro lagi, kemudian berkata, “Benar. Kamu benar sekali. Kamu tidak akan bisa menjangkau tempat itu. Tidak akan pernah bisa.”

Uro meneteskan air mata lagi. Hatinya kembali sakit mendengar kalimat yang sama. “Aku tahu. Aku menyadarinya sekarang. Dengan tubuh gemuk begini—“

“Bukan karena tubuh gemukmu, Uro!” sela si Singa dengan lantang, memancing Uro menegakkan kepala dan menatapnya. “Ada keraguan dalam dirimu, keraguan yang menghambatmu mencapai mimpi. Jika kamu ingin berhasil melihat matahari terbit di puncak gunung tertinggi, hilangkan keraguan itu. Kamu harus yakin dan percaya pada kemampuanmu sendiri.”

“Tetapi ... aku terlalu gemuk. Badanku terlalu berat dan tak kuat berjalan lama-lama—“

“Tidak ada hubungannya! Tubuhku pun berat karena buluku yang lebat ini, ditambah mahkota yang kupakai, tidak sekali dua kali kepalaku terasa sakit mengenakannya. Tapi, aku masih mampu berjalan dengan baik, menyaksikan matahari terbit di puncak tertinggi berkali-kali,” ucap si Singa. Uro terdiam.

“Lanjutkanlah! Jika lelah, istirahat sebentar lalu lanjutkan perjalanan. Jangan berbalik ke belakang untuk pulang. Kalau pun ingin pulang, pulanglah dengan perasaan bahagia setelah menyaksikan matahari terbit di puncak gunung tertinggi.”

Uro, si gajah bertubuh besar dengan perut bergelambir pun menangis. Sang raja hutan menghiburnya dengan menepuk pelan punggung Uro berulang kali.

“Jadi, kamu masih ingin pergi atau tidak?” tanya singa.

“Masih,” jawab Uro sesenggukan.

“Kalau begitu bergegaslah! Jangan bersedih dan merenung terlalu lama. Selesaikan perjalananmu yang kurang sebentar lagi.”

Uro menghapus air matanya. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Sepasang maniknya yang memerah mulai berbinar, keyakinan dan tekad kuatnya telah kembali. Setelah berterima kasih pada sang raja hutan, Uro melanjutkan perjalan di tengah malam yang sepi. Langkah kakinya yang berat kembali terasa ringan, sebab ia melangkah disertai keyakinan penuh pada keinginannya.

Langkah kaki Uro terhenti tatkala menyaksikan hamparan rumput hijau dipenuhi bunga warna-warni. Dirinya pun tertegun ketika kehadirannya di puncak gunung tertinggi disambut oleh matahari yang bersiap naik ke peraduan cakrawala. Pelan tapi pasti, hamburan sinar oranye mulai menerpa wajah Uro dan menghangatkan tubuhnya yang kedinginan usai melawan malam. Benar kata hewan-hewan lain, menyaksikan matahari terbit di puncak tertinggi sangat berbeda. Sangat menawan dan membahagiakan.

Uro tersenyum, bersyukur bahwa dirinya terus melanjutkan perjalanan. Ia pun menyadari bahwa kesulitan terbesar dalam mencapai puncak tertinggi untuk menyaksikan matahari terbit bukanlah jalanan yang terjal dan menanjak. Bukan pula jebakan atau perangkap buatan manusia. Rintangan terbesar yang dihadapi Uro dalam mewujudkan keinginan adalah dirinya sendiri--kehilangan tekad, kemauan kuat dan rasa percaya diri.

Uro menghirup udara pagi yang sangat menyegarkan. Lelahnya tergantikan oleh sesuatu yang indah di hadapannya. Dan setelah ini, ia bisa pulang membawa kenangan tak terlupakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun