Singa terkatup. Ia memperhatikan Uro lagi, kemudian berkata, “Benar. Kamu benar sekali. Kamu tidak akan bisa menjangkau tempat itu. Tidak akan pernah bisa.”
Uro meneteskan air mata lagi. Hatinya kembali sakit mendengar kalimat yang sama. “Aku tahu. Aku menyadarinya sekarang. Dengan tubuh gemuk begini—“
“Bukan karena tubuh gemukmu, Uro!” sela si Singa dengan lantang, memancing Uro menegakkan kepala dan menatapnya. “Ada keraguan dalam dirimu, keraguan yang menghambatmu mencapai mimpi. Jika kamu ingin berhasil melihat matahari terbit di puncak gunung tertinggi, hilangkan keraguan itu. Kamu harus yakin dan percaya pada kemampuanmu sendiri.”
“Tetapi ... aku terlalu gemuk. Badanku terlalu berat dan tak kuat berjalan lama-lama—“
“Tidak ada hubungannya! Tubuhku pun berat karena buluku yang lebat ini, ditambah mahkota yang kupakai, tidak sekali dua kali kepalaku terasa sakit mengenakannya. Tapi, aku masih mampu berjalan dengan baik, menyaksikan matahari terbit di puncak tertinggi berkali-kali,” ucap si Singa. Uro terdiam.
“Lanjutkanlah! Jika lelah, istirahat sebentar lalu lanjutkan perjalanan. Jangan berbalik ke belakang untuk pulang. Kalau pun ingin pulang, pulanglah dengan perasaan bahagia setelah menyaksikan matahari terbit di puncak gunung tertinggi.”
Uro, si gajah bertubuh besar dengan perut bergelambir pun menangis. Sang raja hutan menghiburnya dengan menepuk pelan punggung Uro berulang kali.
“Jadi, kamu masih ingin pergi atau tidak?” tanya singa.
“Masih,” jawab Uro sesenggukan.
“Kalau begitu bergegaslah! Jangan bersedih dan merenung terlalu lama. Selesaikan perjalananmu yang kurang sebentar lagi.”
Uro menghapus air matanya. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Sepasang maniknya yang memerah mulai berbinar, keyakinan dan tekad kuatnya telah kembali. Setelah berterima kasih pada sang raja hutan, Uro melanjutkan perjalan di tengah malam yang sepi. Langkah kakinya yang berat kembali terasa ringan, sebab ia melangkah disertai keyakinan penuh pada keinginannya.