Uro termenung lama, tidak berselera menyantap makanan. Tiba-tiba, terdengar suara raungan keras menakutkan, disusul oleh kehadiran seekor singa. Hewan berbulu itu menghampiri Uro. Ia berjalan dengan gagah berani. Di kepalanya melingkar sebuah tiara indah yang menunjukkan kedudukan tertingginya di dalam ekosistem hutan.
“Hei, hewan gemuk, apa yang sedang kamu lakukan di sini?” tanya si Singa.
“Namaku Uro. Aku sedang beristirahat sejenak setelah berjalan kaki cukup jauh.”
“Memangnya kamu mau ke mana?”
“Ke puncak gunung tertinggi,” jawab Uro dengan nada bicara sedikit ragu. Si Singa menyipitkan satu matanya penuh selidik.
“Untuk apa kau pergi ke sana?” tanya si Singa berbisik. Uro ragu memberikan jawaban hingga terdiam cukup lama. Si Singa masih menantinya bicara, sesekali memperhatikan penampilan gajah di depannya yang terlihat berantakan dan sangat kelelahan.
“Aku ingin melihat matahari terbit.” Uro berbisik seraya menundukkan kepala. Sangat takut menatap lawan bicara, juga takut mendengar respons yang akan diberikan.
“Hmm, matahari terbit dari puncak gunung tertinggi memang sangat luar biasa,” timpal si Singa. Uro menganggukkan kepala yang kian menunduk.
“Tapi aku putuskan untuk pulang saja.”
“Ho! Kenapa begitu? Matahari terbit di puncak sana sangat bagus lho. Kamu harus melihatnya! Sudah banyak yang menyaksikannya. Kuyakin kamu tidak akan menyesal jika pergi ke sana.”
Uro menggeleng dan mulai menatap si Singa. “Aku tidak akan mampu pergi ke sana. Tempat itu terlalu jauh untukku. Untuk tubuh gemukku ini.”