Mohon tunggu...
NIA
NIA Mohon Tunggu... Penulis - Finding place for ...

- Painting by the words

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tulah, Ikan yang Jatuh Cinta pada Tuan Puteri

25 Februari 2021   13:13 Diperbarui: 25 Februari 2021   13:36 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Sudah siap mendengarkan sebuah dongeng?” Pria berkacamata bernama Ario Adiawan—tetangga memanggilnya sebagai Pak Rio, duduk di tepi tempat tidur dan memperhatikan kedua anaknya.

Ciara—gadis berumur lima tahun, tersenyum menggemaskan seraya naik ke atas tempat tidur dan masuk ke dalam selimut, berbaring di dekat ayahnya. Sedangkan Qiana, si sulung yang beranjak remaja memilih duduk bersila di kasur adiknya.

“Cerita tentang apa, Pa?” Ciara bertanya penuh antusias.

“Kisah seekor ikan yang jatuh cinta pada Tuan Puteri cantik jelita.”

“Ciara yang jadi Puteri ya, Pa. Kakak yang jadi ikan.” Qiana pun mendengus pelan sebagai bentuk penerimaan terhadap peran ikan yang disematkan adiknya, memancing ayahnya untuk tertawa dan memberikan usapan lembut di kepala Qiana. Setelah itu, Pak Rio mulai bercerita.

“Kisah ini bertempat di sebuah desa pesisir. Desa itu terkenal dengan keindahan laut dan keanekaragaman biota perairan. Penduduknya hidup rukun dan makmur dengan hasil tangkapan ikan yang melimpah. Masakan yang ada di desa itu pun terkenal lezat.” Senyum Pak Rio mengembang melihat ekspresi dua putrinya. Dia bisa menebak dengan mudah jika saat ini Qiana dan Ciara sedang membayangkan berbagai menu seafood yang menggugah selera.

“Oh, ada satu lagi nih yang membuat desa itu dikenal banyak orang. Ada yang bisa menebak?”

Ciara menggeleng cepat.

Qiana berpikir. “Ikan yang jatuh cinta pada tuan puteri?”

“Seratus buat kakak!”

Qiana tersenyum senang. Ciara bertepuk tangan. Sang ayah pun melanjutkan cerita.

“Kisah ikan yang jatuh cinta pada Tuan Puteri sangat terkenal di desa pesisir. Ikan itu adalah milik seorang putri raja. Wujudnya sangat rupawan dengan corak warna yang indah. Tuan Puteri merawat ikan tersebut dengan penuh kasih, membuat Si Ikan akhirnya jatuh cinta kepadanya.”

Qiana dan Ciara mengangguk-angguk.

“Suatu hari, Si Ikan ingin menyatakan perasaan pada Tuan Puteri, sehingga ia meminta bantuan Peri Air untuk mengubah penampilannya menjadi manusia. Tapi setelah ikan itu berubah menjadi manusia, dia tetap tidak dapat mengungkapkan perasaannya karena Tuan Puteri sudah memiliki kekasih dan akan menikah. Si ikan pun marah dan berencana untuk mengacaukan pernikahan Tuan Puteri.”

“Waduh! Kenapa ikannya jadi jahat, Pa! Padahal kan dia udah dirawat oleh Tuan Puteri.” Ciara memukul kasurnya yang empuk.

“Akibat dari patah hati ini mah!” timpal Qiana meraih bantal dan memeluknya. “Kelanjutan ceritanya gimana, Pa?”

“Manusia ikan berhasil mengacaukan pernikahan Tuan Puteri. Pernikahan itu gagal dilaksanakan. Tuan Puteri pun bersedih. Mendengar berita ini, Peri Air murka terhadap manusia ikan. Dia lalu mengubah wujud manusia ikan menjadi ikan yang buruk rupa. Dan konon katanya, kemarahan yang masih tersimpan dalam diri Si Ikan membuat rasa dagingnya tidak enak, sehingga tidak ada orang yang mau memakannya. Warga desa menamai ikan itu sebagai ‘Ikan Tulah’, artinya ikan yang terkena kutukan karena kesalahannya sendiri. Tetapi, tidak semua penduduk desa percaya dengan mitos tersebut. Mereka justru penasaran dengan rasa daging ikan Tulah dan mencoba memakannya.”

“Jadi ... rasanya enak tidak, Pa?”

“Pasti enak! Karena itu muncul mitos dagingnya nggak enak supaya keberadaan ikan Tulah tetap terjaga.” Qiana berpendapat penuh keyakinan.

Pak Rio mengangguk. “Tidak ada yang aneh dengan rasa dagingnya, sama enaknya seperti ikan lainnya.”

“Tuh, kan!” Qiana menjentikkan jari dan tersenyum bangga.

“Tapi warga desa yang memakan ikan Tulah meninggal dunia tidak lama setelah itu. Hanya dalam hitungan jam.” Penjelasan Pak Rio membuat Qiana dan Ciara bergidik ngeri.

“Daging ikan Tulah bukannya tidak enak, tapi beracun.”

“Betul, Qiana. Ikan itu beracun.”

“Wah, Si Ikan kena kutukan sugguhan.” Pak Rio mengangguk, membenarkan kesimpulan Ciara.

“Mau tahu kelanjutan ceritanya?” Pertanyaan Pak Rio dibalas anggukan cepat dari kedua anaknya.

“Setelah tahu bahwa ikan Tulah beracun, warga desa beramai-ramai menangkap, membakar dan membuang ikan Tulah dari laut mereka karena takut kejadian yang sama terulang kembali. Ratusan ikan Tulah berhasil dimusnahkan.”

“Desa pun kembali aman dan tentram,” sambung Ciara nyengir.

“Awalnya begitu, Ciara. Namun masalah baru menimpa desa pesisir. Setelah ikan Tulah dimusnahkan, ikan-ikan lain banyak ditemukan mati. Air laut berubah keruh. Hasil tangkapan nelayan berkurang drastis. Laut mereka tidak sekaya dulu. Kejadian itu berangsur hingga berbulan-bulan.”

“Wah, gawat dong, Pa!” Ciara jadi ikut gelisah memikirkan nasib warga desa pesisir.

“Tentu saja! Karena itu, sekumpulan ahli didatangkan dari desa seberang. Mereka mencoba menemukan penyebab masalah hingga mendapatkan solusi yang sulit diterima. Kalian tahu apa yang dikatakan para ahli?”

Qiana dan Ciara menggeleng.

“Mengembalikan ikan Tulah pada lautan.”    

“Wow! Warga desa setuju dengan cara itu, Pa?” Qiana merubah posisinya. Dia meluruskan kedua kaki, menyelipkannya ke dalam selimut sang adik.

Pak Rio mengangguk. “Mereka tidak memiliki pilihan. Jadi, warga desa berbondong-bondong melepaskan ikan Tulah, membiarkan hewan itu kembali tinggal di dalam laut mereka. Laut pun pulih. Airnya kembali seperti sedia kala dan tangkapan ikan mulai mengalami peningkatan. Warga desa berbahagia dan mengadakan pesta sebagai bentuk rasa syukur.”

Pak Rio memperhatikan Qiana dan Ciara bergantian. “Selesai.”

Ciara bertepuk tangan. Wajahnya sumringah karena dongeng yang didengar berakhir bahagia. Namun tidak dengan Qiana. Remaja berusia dua belas tahun itu mengerjapkan mata beberapa kali, memikirkan hal lain yang masih berkaitan dengan dongeng ayahnya.

“Aneh ya, Pa.” Qiana memandang ayahnya bingung, membuat Pak Rio bertanya bagian mana yang terasa aneh dengan bergumam. Ciara tertarik untuk menirunya.

“Ikan Tulah kan sudah dimusnahkan, lalu dari mana warga mendapat ikan Tulah-nya lagi?”

“Ikan Tulah-nya didatangkan para ahli dari desa lain, Qiana.” Jawaban Pak Rio tidak berhasil memuaskan rasa penasaran Qiana.

“Itu kisah nyata, Pa?” Pak Rio hanya tersenyum mendengar pertanyaan itu.

“Dih, Kakak! Namanya juga dongeng, ya jelas bohongan.” Pak Rio tertawa, sementara Qiana bersungut menatap adiknya.

“Tapi ikan Tulah beneran ada, Ciara. Kamu dan Kak Qiana juga pernah memakannya loh!”

Ciara segera bangkit dari tidurnya. Qiana menegakkan punggungnya. “Ikan apa, Pa?” tanya keduanya kompak.

Ikan Buntal.” Pak Rio tertawa mengingat betapa lahap kedua putrinya setiap kali berkunjung ke Jepang dan menyantap masakan teman berbisnis yang berprofesi sebagai koki. Sayangnya, baik Ciara ataupun Qiana tidak pernah tahu wujud ikan yang mereka santap.

“Jadi, ikan Buntal nggak beracun?” Qiana meragu.

Sepengetahuan Qiana, ikan Buntal mengandung racun bernama Tetraodotoksin. Sedikit saja racun itu ada di dalam tubuh, maka hidup kita tidak akan terselamatkan. Artinya, siapapun yang mengonsumsi ikan Buntal, sudah pasti akan meregang nyawa. Nama racunnya saja tersematkan dengan apik sebagai nama ilmiah ikan Buntal, menjadi suatu kesatuan yang tak dapat dipisahkan.

“Ya jelas nggak dong, Kak! Kalau beracun, mana mungkin kita masih hidup.” Ciara tertawa. Tawanya menular pada sang ayah. 

Pak Rio menanggalkan kacamatanya. “Ikan Buntal memang ikan yang beracun. Tetapi tidak semua bagian tubuhnya mengandung racun. Karenanya, tidak sembarang orang boleh mengolah ikan Buntal. Harus koki yang memiliki lisensi dan pengetahuan yang sangat baik tentang bagian tubuh ikan Buntal agar ikan tersebut dapat dikonsumsi secara aman.”

Qiana hendak melontarkan pertanyaan lagi, namun melihat Ciara baru saja menguap, ia mengurungkan niat. Qiana dan Pak Rio akhirnya keluar dari kamar Ciara, membiarkan si bungsu untuk segera terlelap.       

“Qiana nggak berpikiran kalau racun ikan Buntal karena kutukan Peri Air, kan?” tanya Pak Rio setelah menutup kamar Ciara. Si sulung terkekeh dan menggeleng cepat.   

“Racun ikan Buntal berada di organ hati, kelenjar kelamin, saluran pencernaan dan kulit. Itu karena di alam, ikan buntal memakan plankton dinoflagelata. Plankton itulah yang beracun dan jika termakan oleh ikan lain menyebabkan kematian. Ketika ikan Buntal dimusnahkan oleh warga, ekosistem perairan menjadi tidak seimbang, plankton yang merugikan tidak ada yang makan sehingga meracuni ikan lainnya.” Pak Rio menjawab rasa penasaran yang tertahan di pikiran Qiana. Qiana mencerna penjelasan analoginya dengan baik, membuatnya tersenyum.

“Menarik ya, Pa.”   

Pak Rio mengangguk. “Itulah ciptaan Tuhan, Qiana. Tidak ada satu pun makhluk hidup yang diciptakan sia-sia. Jadi, kita pun tidak boleh menyia-siakan waktu yang kita punya.” Pak Rio kembali tersenyum. “Sudah malam, saatnya tidur.”

Qiana mengangguk patuh dan berjalan menuju kamarnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun