“Wow! Warga desa setuju dengan cara itu, Pa?” Qiana merubah posisinya. Dia meluruskan kedua kaki, menyelipkannya ke dalam selimut sang adik.
Pak Rio mengangguk. “Mereka tidak memiliki pilihan. Jadi, warga desa berbondong-bondong melepaskan ikan Tulah, membiarkan hewan itu kembali tinggal di dalam laut mereka. Laut pun pulih. Airnya kembali seperti sedia kala dan tangkapan ikan mulai mengalami peningkatan. Warga desa berbahagia dan mengadakan pesta sebagai bentuk rasa syukur.”
Pak Rio memperhatikan Qiana dan Ciara bergantian. “Selesai.”
Ciara bertepuk tangan. Wajahnya sumringah karena dongeng yang didengar berakhir bahagia. Namun tidak dengan Qiana. Remaja berusia dua belas tahun itu mengerjapkan mata beberapa kali, memikirkan hal lain yang masih berkaitan dengan dongeng ayahnya.
“Aneh ya, Pa.” Qiana memandang ayahnya bingung, membuat Pak Rio bertanya bagian mana yang terasa aneh dengan bergumam. Ciara tertarik untuk menirunya.
“Ikan Tulah kan sudah dimusnahkan, lalu dari mana warga mendapat ikan Tulah-nya lagi?”
“Ikan Tulah-nya didatangkan para ahli dari desa lain, Qiana.” Jawaban Pak Rio tidak berhasil memuaskan rasa penasaran Qiana.
“Itu kisah nyata, Pa?” Pak Rio hanya tersenyum mendengar pertanyaan itu.
“Dih, Kakak! Namanya juga dongeng, ya jelas bohongan.” Pak Rio tertawa, sementara Qiana bersungut menatap adiknya.
“Tapi ikan Tulah beneran ada, Ciara. Kamu dan Kak Qiana juga pernah memakannya loh!”
Ciara segera bangkit dari tidurnya. Qiana menegakkan punggungnya. “Ikan apa, Pa?” tanya keduanya kompak.