Mohon tunggu...
Lukas Benevides
Lukas Benevides Mohon Tunggu... Dosen - Pengiat Filsafat

Saya, Lukas Benevides, lahir di Mantane pada 1990. Saya menamatkan Sarjana Filsafat dan Teologi di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada Juni 2016. Pada Agustus 2017-Juni 2018 saya kembali mengambil Program Bakaloreat Teologi di Kampus yang sama. Sejak Januari 2019 saya mengajar di Pra-Novisiat Claret Kupang, NTT. Selain itu, saya aktif menulis di harian lokal seperti Pos Kupang, Victory News, dan Flores Pos

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Mitos Pasca-agama

12 Juli 2020   12:44 Diperbarui: 12 Juli 2020   13:20 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Kira-kira sejak Revolusi Industri abad 18 meletus di Inggris, gelombang sekularisasi mulai menunjukkan moncongnya. Gelombang sosial ini tidak hanya bergejolak di dalam tembok-tembok pabrik yang memperbudak para buruh, tetapi menyasar semua lapisan sosial. Salah satu domain hidup yang terpapar adalah dunia agama yang sangat sakral kala itu.

Tabrakan sekularisasi dan agama tidak terhindarkan karena keduanya berebutan lahan hidup yang sama. Tidak hanya sekularisasi yang memiliki multi sayap, agama juga adalah sebuah sistem wawasan dunia yang menyeluruh (a comprehensive system of life). 

Di dalam kata-kata sosiolog agama, Jose Casanova, tidak hanya sekularisasi yang berskala global, agama pun berwajah global. Para postmodernis menyebut agama sebagai grandnarasi yang mendaku kemampuan untuk menjelaskan dan memberi solusi atas semua masalah hidup (Simon Malpas, 2003).

Gesekan agama dan sekularisasi membawa dampak 'negatif' pada absolutisme agama. Sekularisasi me-rumah-kan atau mendomestifikasi agama. Agama tidak lagi merupakan pemain tunggal yang 'all round" di atas panggung peradaban dunia. Spirit sekularisasi muncul sebagai pemain baru yang menggusur agama dari puncuk klasemen prioritas hidup masyarakat. Sekularisasi bahkan dituduh membunuh agama. Karena itu, muncul ratapan "pasca-agama" (Post-Religion).

Agama tidak lebih dari fosil tua yang tidak menarik di mata. Agama tidak lebih dari artefak klasik yang bahkan tidak pantas untuk diteduhkan di museum yang ramai pengunjung. Tuduhan ini memojokkan sekularisasi sebagai sekularisme. 

Bagi para sosiolog, vonis sekularisme justru blunder, tidak setia dengan dinamika lapangan, dan berlebihan mengingat wajah sekularisasi tidak segarang ini. Sekuralisasi berhasil menelanjangi absolutisme agama, tetapi tidak lantas menjadi sekularisme.

Sekularisasi bukan genosida agama

Cap hitam kaum agamawan terhadap sekularisasi di atas bisa ditelanjangi bias kepentingan bila kita meneropong geliat sekularisasi. Jose Casanova meringkaskan demikian. Pertama, diferensiasi institusional lingkup-lingkup sekular seperti negara, ekonomi, dan sains dari institusi-institusi dan norma agama. Kedua, kemorosotan progresif keyakinan-keyakinan dan praktik-praktik religius. Ketiga, privatisasi agama sebagai prasyarat politik demokratis (Hardiman, 2018). Dengan demikian, sekularisasi tidak berarti genosida atas agama. Sekularisasi hanya memindahkan agama pada kotaknya.

Antropolog Emile Durkheim memberi definisi yang sangat padat pada fenomena sekularisasi, "the process whereby religion loses its influence over various spheres of social life". Sefrekuensi dengan Durkheim, Anthony Giddens memberikan tiga indikator untuk mengukur efek jera sekularisasi terhadap agama, yakni "level of membership; social influence, wealth and prestige; and religiosity: beliefs and values" (6 edt., 2009). Untuk mengukur apakah badai sekularisasi sungguh menelanjangi agama hingga kaum agamawan harus memproduksi litani ratapan "pasca-agama", ketiga indikator di atas akan menjadi rambu-rambu.

Pasca-kekristenan

Untuk menakar dengan tepat pengaruh sekularisasi terhadap agama, "platform" sentimental "pasca-agama" perlu diklarifikasi. Pemetaan konseptual berbasis data ini penting untuk tidak mengkhianati fakta, jujur terhadap kenyataan, dan tidak membingungkan.

Konsep pasca-agama sendiri problematis bila bukan "essentially-contested". Ruang lingkup konsepsi pasca-agama logisnya menyentuh semua agama. Padahal, de facto dan historically, sekularisasi hanya menghantam kekristenan Eropa abad 18-19 yang memaksa diri menjadi pemain tunggal hidup masyarakat. Karena itu, penggunaan istilah sekularisasi di dalam kertas-kertas penelitian ilmiah sering disatu-paketkan dengan predikat Barat yang teritorial dan ideologis.

Agama-agama lain seperti Islam dengan basis Timur Tengah, Hinduisme India, Budhisme Tailand dan beberapa negara Asia lain, Konfusianisme Cina, Shintaoisme Jepang, dan agama-agama lokal di Afrika dan berbagai tempat hingga hari ini masih kokoh mempengaruhi hidup warganya. Maka, istilah pasca-agama tidak tepat, kecuali pasca-kekristenan. Itupun terminologi cadangan ini perlu diteliti lagi. Maka, soalnya adalah apakah tepat hingga hari ini label pasca-kekristenan masih memiliki referen riil? Soal ini akan dievaluasi dengan barometer ketiga rambu-rambu di atas.

"Level of membership"

Fenomena "post-religion" terutama terjadi di Eropa dan di dalam domain agama Trinitarian. Tidak semua agama mengalami efek dari sekularisasi. Karena itu, pantas disebut "pasca-kekristenan". Para sosiolog mengakui bahwa agama-agama tradisional mainstream (Agama-agama Kristiani: Katolik, Protestan, Anglikan, Ortodoks) di negara-negara industrialis Eropa memang mengalami penurunan jumlah anggota.

Meskipun demikian, proliferasi subur kaum Muslim di Eropa menghardik kejumawaan sekularitas warga asli Eropa. Banjir imigran Muslim ke Eropa karena serial peperangan di beberapa negara Timur Tengah semakin menambah kecemasan orang Eropa. Populasi imigran Islam di Eropa semakin menanjak setiap tahun dan masif. Karena itu, orang Eropa mulai berpikir untuk kembali menggenjot kesatuan melalui infrastruktur agama. Agama selain memiliki sisi spiritual, juga merupakan tool ideologis yang sangat manjur untuk merekatkan perbedaan, memupuk cita rasa persatuan, dan melancarkan serangan dengan senjata berlapis jurus. Dengan demikian, kategori level of membership tidak menunjukkan bahwa warga Eropa beranjak ke post-Christianity hari ini.

Di Amerika, 3 dari 5 responden selalu mengatakan agama sangat penting di dalam hidup mereka. Masih di Amerika Serikat beberapa "new religious movement" bertumbuh subur. Gerakan Pentacostalisme sangat berpengaruh dan memiliki banyak pengikut dan simpatisan di negeri industri terbesar di dunia ini. New religious movements memiliki tiga varian: "world-affirming, world-rejecting, and world accommodating movements". Ketiga bentuk new religious movement ini telah menyebar ke negara-negara Amerika Latin, Asia, Afrika, dan Eropa.

Ekspansi new religious movement ke Eropa, Asia, Afrika, dan Amerika Latin semakin menimbulkan kecemasan bagi para pemeluk konservatif agama-agama mainstream. Ketakutan sentimental itu lalu mendorong pemeluk konservatif untuk memupuk cita rasa dan ikatan terhadap organisasi keagamaannya. Getaran positif new religious movement tidak hanya menguatkan kembali tali ikatan organisatoris warga Kristen Eropa, tetapi juga mendongkrak semangat devosionalnya.

Efek new religious movement dan beberapa agama lokal di Afrika dan Asia yang masih memiliki pemeluk yang setia secara organisatoris dan devosional semakin memberi suntikan "warning" bagi kekristenan untuk dengan semua kerja imajinatif-kreaktif mengupayakan umatnya tepat berada di dalam rangkulannya. Demikian pula reaksi timbal-baliknya. Tentu saja terdapat satu dua orang yang berhasil terhipnotis bius new religious movement.

Efek positif di atas turut mempengaruhi kaum kristiani Indonesia. Negara-negara denga mayoritas umat Muslim tidak pernah mengalami "the decline of religion". Kita harus ingat, teologi kaum Muslim lahir dari aktivitas politik. Bagi kaum Muslim, agama tidak pernah dipisahkan dari res publica. Sekularisasi tidak pernah menembusi dinding tembok tebal agama dan kesalehan kaum Muslim Indonesia hingga hari ini. Kekristenan Indonesia sebenarnya turut mendapat tetesan rahmat kekuatan dan kesetiaan keanggotaan dari tameng tebal kaum Muslim terhadap sekularisasi. Karena itu, alih-alih meninggalkan agamanya, kurva kuantitas kaum Kristen di Indonesia tidak pernah mengalami penurunan drastis. Malah sering mengalami kenaikan.

"Social influence, wealth and prestige"

Eropa memang pernah mengalami masa kelam "the decline of religion" dalam jumlah. Meskipun demikian, banjir imigram Muslim Timur Tengah ke Eropa semakin menyadarkan pentingnya fungsi sosiologis agama sebagai kohesi sosial dan kemenangan politik. 

Partai-partai berhaluan kanan konservatif melonjak naik barisan puncak popularitas karena warga Kristen merasa terancam dengan kehadiran sporadis kaum Muslim. Misalnya, di Perancis, Le Pen, dan partai-partai berhaluan agama di Jerman kembali mendapat hati banyak warga dan mendapat kapital dalam tawar-menawar politik nasional.

Berbeda dengan Eropa, Amerika Serikat malah mencatatkan diri sebagai negara industrialis paling maju dan subur bagi pemeluk agama-agama dalam menjalani ritual, kesalehan religiusnya, dan magis politiknya. Donald Trump dengan mudah melancong ke atas puncak kepimpinan eksekutif Amerika Serikat karena jualan agama. Doktrin-doktrin kekristenan masih menguat dalam kebijakan politik Amerika dewasa ini. Hal ini misalnya terdapat di dalam ketegaran hati Pemerintah dan dukungan mayoritas warga yang menolak memberi hak sipil yang sama setara pada kaum gay, lebian, dan perkawinan homoseksual (White: 2009, Sprigg: 2009, Hurst:2010, Rimmerman:2008).

Tidak hanya bergaya di atas panggung religius, nilai agama-agama merembes masuk ke dalam "political culture". Max Weber di dalam penelitiannya menemukan bahwa teologi protestantisme, terutama predistinasi, menyokong ideologi ekonomi politik kapitalisme. Dengan demikian, nilai agama tetap hidup bahkan menginspirasi kemajuan modernisme. Kekuasaan agama tidak mudah digeser dari panggung politik.

Selain berpotensi memecah-belah melalui pola pengotakan, agama juga memiliki magis untuk merekatkan kohesi sosial-politik. Agama memiliki taring ideologis untuk melululantahkan keganasan perbedaan kepentingan politik, strata sosial, dan ketidaksetaraan ekonomi. Agama memasukkan orang ke dalam satu kandang dan memakaikan kaca mata uniformitas kepada para pemeluknya sehingga orang melihat diri sebagai 'yang sama', bersaudara.

Basis kekristenan di beberapa negara Afrika dan Asia meskipun tidak sekelas teokrasi, masih memiliki kapital politik yang diperhitungkan di dalam setiap siklus pemilu. Di Indonesia sendiri, meskipun kekristenan hanyalah pemeluk minor, pengaruh politiknya masih bergaung secara nasional dan lokal seperti di NTT. Salah satu faktornya adalah bercokolnya kekristenan di dalam semangat perjuangan nasionalisme dan kesetiaan pada dasar negara, Pancasila. Meskipun bukan paham teologis, nilai-nilai Pancasila tidak sama sekali bertentangan dengan teologi kristiani. Faktor lain kekristenan tetap memiliki kapital politis adalah imbas positif dari faktor agama yang digenjot kaum Muslim sejak pra hingga pasca Kemerdekaan RI.

"Religiosity: beliefs and values"

Ketika agama-agama tradisional mengalami shock keanggotaan, muncul gerakan-gerakan sosial-religius baru yang tidak terorganisir, tetapi terbentuk karena orang tetap memiliki "religious search". Grace Davie di dalam penelitiannya menemukan kelompok ini sebagai "Believing without belonging". Mereka bosan dengan administrasi dan ritualisme agama-agama tradisional yang rumit bahkan memblokade pencarian religius dan kehausan iman mereka. Namun, pencarian religius mereka tak lekang oleh waktu. Orang-orang beriman ini berkumpul di bawah satu wadah kecil yang tidak mengikat orang dengan banyak protokol dan dalam jumlah kecil. Mereka tersebar di seluruh sudut negara-negara industri maju di Eropa.

Sosiolog Perancis Michel Maffesoli (1995) membuktikan di dalam kajiannya bahwa masyarakat di era ini hidup di dalam "the time of the tribe". Setelah mengekskomunikasikan diri secara organisatoris dari lingkaran agama-agama konvensional, orang spontan mencari dan membentuk kelompok-kelompok kecil yang sporadis untuk mengekspresikan kerinduan religius. Kelompok-kelompok kecil anti-mainstream ini menjadi kanal orang mengartikasikan dirinya dan mencapai "well-being". Geliat kelompok-kelompok ini menunjukkan "religious persuit" masih hidup di dalam masyarakat era ini.

Penelitian lintas generasi oleh Ronald Inglehart (1977, 1990, 1997) terhadap masyarakat Eropa: Pra-Perang Dunia II dan Pasca-Perang Dunia II, membuktikan bahwa orientasi nilai masyarakat Pasca-Perang Dunia II mengalami shift. Bila orientasi nilai masyarakat Eropa Pra-Perang Dunia II materialistis, usai Perang Dunia II, warga Eropa beralih ke "post-materialist values". "Religious persuit" masyarakat Eropa Pasca Perang Dunia II sangat kuat hingga membentuk perilaku politik.

Sosiolog Charles Taylor menunjukkan bahwa meskipun kuantitas pemeluk agama-agama tradisional kristiani mengalami kemorosotan, kehausan religius orang untuk mencari "the sense of fulness" malah makin masif. Ada dua jalur yang lazim ditempuh masyarakat modern hingga postmodern ini. Jalur pertama, mereka menemukan "sense of fulness" di dalam rutinitas setiap hari seperti menjadi bapak/ibu rumah tangga yang menikmati aktivitas di rumah bersama keluarga, menjalani hari-hari kerja di kantor dengan intensif, dan menemukan sukacita di dalam aktivitas lainnya. Jalur kedua, arus mudik dari Barat ke negara-negara Asia terutama India, Thailand, dan Indonesia (Bali) padat karena orang mencari aliran-aliran kebatinan untuk memuaskan "religious search"-nya.

Di Amerika Serikat, gerakan Pentacostalisme sangat berpengaruh, memiliki banyak pengikut, dan simpatisan. Manza dan Wright (2003) membuktikan dalam kajiannya bahwa nilai-nilai hidup yang terakumulasi di dalam "religious cleavages" mempengaruhi kebijakan dan tindakan politik Amerika Serikat

Di Indonesia, selaras dengan kajian psikologi sosial, semakin suatu kelompok diserang dari luar, semakin bersatu dan kuat kelompok tersebut, kaum kristiani umumnya belum memiliki fondasi konseptual yang kuat untuk berpaling dari pelukan agamanya. Kita masih menjumpai gereja-gereja dipenuhi umatnya. Kalaupun gereja sepi, tidak berarti orang tidak memiliki iman. Kadang-kadang gereja sepi pengunjung karena dibentengi dengan administrasi, ritualisme, dan klerikalisme. 

Hanya wabah global Covid-19 yang mampu membendung hasrat orang untuk memenuhi ruangan gereja. Namun, pandemik ini pun malah semakin memupuk dan memurnikan kerinduan umat Kristen untuk bersua dengan Tuhan dan sesamanya di tempat-tempat ibadah.

Mitos pasca-agama

Ulasan pendek di atas sepintas membuktikan bahwa ratapan atau "jumping conclusion" pasca-kekristenan, apalagi pasca-agama adalah mitos, fiksi zaman ini yang tidak berbasis data, ahistoris, dan kurang nalar. Sekularisasi sama sekali tidak menguburkan agama. Alih-alih menggusur agama dari seluruh segmen hidup manusia, sekularisasi malah mengingatkan agama untuk tidak ambisius mencaplok semua lapisan hidup manusia. Sekularisasi mengetuk nurani kaum beragama untuk rendah hati tidak mengurusi semua hal seolah agamanya adalah jawaban atas seluruh persoalan hidup manusia.

Sekularisasi sebenarnya adalah "pre-warning" yang membantu agama mengantisipasi gelombang postmodernisme. Ketika postmodernitas menggusur semua grandnarasi, agama tetap berdiri kokoh karena telah memahami diri sebagai salah satu narasi kecil yang tetap memiliki "social impacts".

Sebagai sebuah konsep sosiologis, bukan teologis, terminologi pasca-kekristenan atau pasca-agama selalu bersifat dinamis sesuai karakter dasar masyarakat dan kenyataan yang selalu menolak dipenjarakan dalam konsep tertentu. Untuk saat ini, terlalu sedu bahkan blunder untuk mengatakan masyarakat global dan lokal memasuki fase pasca-kekristenan (agama). Yang ada malah "religion revivalism". Fakta dalam konteks partikular tertentu tidak bisa dijadikan data satu-satunya untuk menjustifikasi klaim "post-religion".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun