Mohon tunggu...
Lukas Benevides
Lukas Benevides Mohon Tunggu... Dosen - Pengiat Filsafat

Saya, Lukas Benevides, lahir di Mantane pada 1990. Saya menamatkan Sarjana Filsafat dan Teologi di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada Juni 2016. Pada Agustus 2017-Juni 2018 saya kembali mengambil Program Bakaloreat Teologi di Kampus yang sama. Sejak Januari 2019 saya mengajar di Pra-Novisiat Claret Kupang, NTT. Selain itu, saya aktif menulis di harian lokal seperti Pos Kupang, Victory News, dan Flores Pos

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Mitos Pasca-agama

12 Juli 2020   12:44 Diperbarui: 12 Juli 2020   13:20 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Di Indonesia, selaras dengan kajian psikologi sosial, semakin suatu kelompok diserang dari luar, semakin bersatu dan kuat kelompok tersebut, kaum kristiani umumnya belum memiliki fondasi konseptual yang kuat untuk berpaling dari pelukan agamanya. Kita masih menjumpai gereja-gereja dipenuhi umatnya. Kalaupun gereja sepi, tidak berarti orang tidak memiliki iman. Kadang-kadang gereja sepi pengunjung karena dibentengi dengan administrasi, ritualisme, dan klerikalisme. 

Hanya wabah global Covid-19 yang mampu membendung hasrat orang untuk memenuhi ruangan gereja. Namun, pandemik ini pun malah semakin memupuk dan memurnikan kerinduan umat Kristen untuk bersua dengan Tuhan dan sesamanya di tempat-tempat ibadah.

Mitos pasca-agama

Ulasan pendek di atas sepintas membuktikan bahwa ratapan atau "jumping conclusion" pasca-kekristenan, apalagi pasca-agama adalah mitos, fiksi zaman ini yang tidak berbasis data, ahistoris, dan kurang nalar. Sekularisasi sama sekali tidak menguburkan agama. Alih-alih menggusur agama dari seluruh segmen hidup manusia, sekularisasi malah mengingatkan agama untuk tidak ambisius mencaplok semua lapisan hidup manusia. Sekularisasi mengetuk nurani kaum beragama untuk rendah hati tidak mengurusi semua hal seolah agamanya adalah jawaban atas seluruh persoalan hidup manusia.

Sekularisasi sebenarnya adalah "pre-warning" yang membantu agama mengantisipasi gelombang postmodernisme. Ketika postmodernitas menggusur semua grandnarasi, agama tetap berdiri kokoh karena telah memahami diri sebagai salah satu narasi kecil yang tetap memiliki "social impacts".

Sebagai sebuah konsep sosiologis, bukan teologis, terminologi pasca-kekristenan atau pasca-agama selalu bersifat dinamis sesuai karakter dasar masyarakat dan kenyataan yang selalu menolak dipenjarakan dalam konsep tertentu. Untuk saat ini, terlalu sedu bahkan blunder untuk mengatakan masyarakat global dan lokal memasuki fase pasca-kekristenan (agama). Yang ada malah "religion revivalism". Fakta dalam konteks partikular tertentu tidak bisa dijadikan data satu-satunya untuk menjustifikasi klaim "post-religion".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun