Partai-partai berhaluan kanan konservatif melonjak naik barisan puncak popularitas karena warga Kristen merasa terancam dengan kehadiran sporadis kaum Muslim. Misalnya, di Perancis, Le Pen, dan partai-partai berhaluan agama di Jerman kembali mendapat hati banyak warga dan mendapat kapital dalam tawar-menawar politik nasional.
Berbeda dengan Eropa, Amerika Serikat malah mencatatkan diri sebagai negara industrialis paling maju dan subur bagi pemeluk agama-agama dalam menjalani ritual, kesalehan religiusnya, dan magis politiknya. Donald Trump dengan mudah melancong ke atas puncak kepimpinan eksekutif Amerika Serikat karena jualan agama. Doktrin-doktrin kekristenan masih menguat dalam kebijakan politik Amerika dewasa ini. Hal ini misalnya terdapat di dalam ketegaran hati Pemerintah dan dukungan mayoritas warga yang menolak memberi hak sipil yang sama setara pada kaum gay, lebian, dan perkawinan homoseksual (White: 2009, Sprigg: 2009, Hurst:2010, Rimmerman:2008).
Tidak hanya bergaya di atas panggung religius, nilai agama-agama merembes masuk ke dalam "political culture". Max Weber di dalam penelitiannya menemukan bahwa teologi protestantisme, terutama predistinasi, menyokong ideologi ekonomi politik kapitalisme. Dengan demikian, nilai agama tetap hidup bahkan menginspirasi kemajuan modernisme. Kekuasaan agama tidak mudah digeser dari panggung politik.
Selain berpotensi memecah-belah melalui pola pengotakan, agama juga memiliki magis untuk merekatkan kohesi sosial-politik. Agama memiliki taring ideologis untuk melululantahkan keganasan perbedaan kepentingan politik, strata sosial, dan ketidaksetaraan ekonomi. Agama memasukkan orang ke dalam satu kandang dan memakaikan kaca mata uniformitas kepada para pemeluknya sehingga orang melihat diri sebagai 'yang sama', bersaudara.
Basis kekristenan di beberapa negara Afrika dan Asia meskipun tidak sekelas teokrasi, masih memiliki kapital politik yang diperhitungkan di dalam setiap siklus pemilu. Di Indonesia sendiri, meskipun kekristenan hanyalah pemeluk minor, pengaruh politiknya masih bergaung secara nasional dan lokal seperti di NTT. Salah satu faktornya adalah bercokolnya kekristenan di dalam semangat perjuangan nasionalisme dan kesetiaan pada dasar negara, Pancasila. Meskipun bukan paham teologis, nilai-nilai Pancasila tidak sama sekali bertentangan dengan teologi kristiani. Faktor lain kekristenan tetap memiliki kapital politis adalah imbas positif dari faktor agama yang digenjot kaum Muslim sejak pra hingga pasca Kemerdekaan RI.
"Religiosity: beliefs and values"
Ketika agama-agama tradisional mengalami shock keanggotaan, muncul gerakan-gerakan sosial-religius baru yang tidak terorganisir, tetapi terbentuk karena orang tetap memiliki "religious search". Grace Davie di dalam penelitiannya menemukan kelompok ini sebagai "Believing without belonging". Mereka bosan dengan administrasi dan ritualisme agama-agama tradisional yang rumit bahkan memblokade pencarian religius dan kehausan iman mereka. Namun, pencarian religius mereka tak lekang oleh waktu. Orang-orang beriman ini berkumpul di bawah satu wadah kecil yang tidak mengikat orang dengan banyak protokol dan dalam jumlah kecil. Mereka tersebar di seluruh sudut negara-negara industri maju di Eropa.
Sosiolog Perancis Michel Maffesoli (1995) membuktikan di dalam kajiannya bahwa masyarakat di era ini hidup di dalam "the time of the tribe". Setelah mengekskomunikasikan diri secara organisatoris dari lingkaran agama-agama konvensional, orang spontan mencari dan membentuk kelompok-kelompok kecil yang sporadis untuk mengekspresikan kerinduan religius. Kelompok-kelompok kecil anti-mainstream ini menjadi kanal orang mengartikasikan dirinya dan mencapai "well-being". Geliat kelompok-kelompok ini menunjukkan "religious persuit" masih hidup di dalam masyarakat era ini.
Penelitian lintas generasi oleh Ronald Inglehart (1977, 1990, 1997) terhadap masyarakat Eropa: Pra-Perang Dunia II dan Pasca-Perang Dunia II, membuktikan bahwa orientasi nilai masyarakat Pasca-Perang Dunia II mengalami shift. Bila orientasi nilai masyarakat Eropa Pra-Perang Dunia II materialistis, usai Perang Dunia II, warga Eropa beralih ke "post-materialist values". "Religious persuit" masyarakat Eropa Pasca Perang Dunia II sangat kuat hingga membentuk perilaku politik.
Sosiolog Charles Taylor menunjukkan bahwa meskipun kuantitas pemeluk agama-agama tradisional kristiani mengalami kemorosotan, kehausan religius orang untuk mencari "the sense of fulness" malah makin masif. Ada dua jalur yang lazim ditempuh masyarakat modern hingga postmodern ini. Jalur pertama, mereka menemukan "sense of fulness" di dalam rutinitas setiap hari seperti menjadi bapak/ibu rumah tangga yang menikmati aktivitas di rumah bersama keluarga, menjalani hari-hari kerja di kantor dengan intensif, dan menemukan sukacita di dalam aktivitas lainnya. Jalur kedua, arus mudik dari Barat ke negara-negara Asia terutama India, Thailand, dan Indonesia (Bali) padat karena orang mencari aliran-aliran kebatinan untuk memuaskan "religious search"-nya.
Di Amerika Serikat, gerakan Pentacostalisme sangat berpengaruh, memiliki banyak pengikut, dan simpatisan. Manza dan Wright (2003) membuktikan dalam kajiannya bahwa nilai-nilai hidup yang terakumulasi di dalam "religious cleavages" mempengaruhi kebijakan dan tindakan politik Amerika Serikat