Mohon tunggu...
Dewi Ailam
Dewi Ailam Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang pengagum dunia seputar Al-Qur'an dan tafsirnya. Salam Literasi^^

Sungguh tidak ada daya menghindarkan diri dari kemaksiatan kecuali dengan perlindungan-Nya dan tidak ada kekuatan melaksanakan ketaatan kecuali dengan pertolongan-Nya. Semoga melalui tulisan ini menjadi setitik wasilah menggapai keberkahan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sadarkah Kau Wahai Perempuan?

9 April 2021   05:07 Diperbarui: 9 April 2021   16:02 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: wsj.com

Menjadi perempuan tidaklah mudah, dari mulai dikaitkan dengan dalangnya nafsu sampai pada konstruksi sistem gender yang mengakar kuat.

Wahai perempuan, Setujukah kalian dengan pernyataan bahwa adanya keberagaman itu memperindah? Bukankah keberagaman itu penting? keberagaman adalah kita, Indonesia. Keragaman juga kita, perempuan dan laki-laki.

Perempuan dan laki-laki pada dasarnya merupakan jenis kelamin (gender) sebagaimana male dan female. Sementara sifat yang melingkupinya disebut dengan feminin pada wanita (female) dan maskulin pada pria (male). 

Feminin maupun maskulin merupakan definisi untuk membedakan perempuan dan laki-laki dimana dalam interpretasinya terbentuk berdasarkan kontruksi sosial-budaya. Yang kemudian disebut dengan konsep gender.

Gender, sebagaimana yang kita ketahui merupakan konsep yang digunakan dalam pengidentifikasian laki-laki dan perempuan berdasarkan kacamata sosial-budaya

Yang seiring panjangnya sejarah, terdapat stereotipe gender atau istilah mudahnya ketimpangan konsep yang mengunggulkan salah satu, cenderung patriarki  sehingga menyebabkan ketidak-adilan. Pihak perempuan pun termarginalkan. Itulah kenapa, sampai saat ini kajian mengenai kesetaraan gender masih terus digaungkan.

Lalu, setujukah kalian dengan pernyataan bahwa, birahi laki-laki disebabkan oleh lekuk tubuh wanita? Dengan argumen tersebut menjadikan wanita harus dikekang, tak boleh menampakkan diri dan diam saja di rumah. Kenapa tidak laki-laki yang dituntut memalingkan pandangan dan mengendalikan nafsunya? 

Kecuali jika perempuan yang menggoda, maka dia lah yang seharusnya mengendalikan diri dan menumbuhkan rasa malu. Bagaimanapun, mereka yang sadar diri tidak akan mudah tergoda duniawi. 

Walaupun di lapangan, masih banyak ditemui laki-laki yang tak sadarkan diri sampai tega berbuat senonoh, pelecehan dan kekerasan. Semoga kita dijauhkan dari perilaku tersebut.

Selanjutnya, barangkali dari kita masih belum menyadari beragam persoalan lain yang menjadikan hal “ini” timpang. Oleh karena itu, coba kita sedikit kembali membaca masa lalu.

Pada masa orde baru, presiden (pemerintah) waktu itu memandang perempuan sebagai kelompok yang perlu dibawa ke jalan yang benar, yaitu perempuan yang nurut (mengikuti saja), pasif dan tidak melawan. 

Hal ini menjadi sejajar dengan pergantian pada pembendaharaan kata“perempuan” menjadi “wanita” dimana dinilai lebih halus. Padahal, jika dilihat dari akar katanya “wanita” berasal dari bahasa Sansekerta “vanita” yang artinya objek yang diinginkan laki-laki. Digunakan juga pada kata turunannya yaitu kewanitaan. 

Kemudian dalam penerapan penyerapan ke bahasa Jawa kuno dalam maknanya pengalami pergeseran. Kata “wanita” dalam bahasa Jawa kuno yaitu sama dengan putri. Sebagaimana kesan putri, wanita adalah sosok yang lemah lembut dan penurut. Dalam KBBI hari ini, perempuan dan wanita itu sinonim, jadi tidak untuk diperdebatkan lagi.

Sungguh, pada masa itu gerakan perempuan terbatasi banyak hal, tak dinyana saat ini pun, pekerja perempuan masih mengalami beragam kesulitan, hak-hak sebagai pekerja pun kadang terabaikan. 

Sebelum beranjak ke persoalan ini lebih lanjut, ada baiknya melirik sedikit mengenai sex. Sex tidak melulu tentang hubungan intim ya, tetapi juga mengenai perbedaan antara perempuan dan laki-laki secara biologis. 

Maksudnya, ya bentuk anatominya sebagaimana perempuan memiliki rahim untuk mengandung, laki-laki yang memiliki dada bidang, juga organ reproduksi yang berbeda pada keduanya. Hal ini juga seharusnya menjadi keberagaman untuk saling dihargai.

Bagaimanapun, kajian mengenai gender tak pernah habis dibicarakan di seluruh penjuru dunia. Begitupun pada puluhan tahun silam, persoalan perempuan yang derajatnya (seakan) lebih rendah daripada laki-laki terus terjadi, bahkan sampai saat ini (sekalipun secara tersirat). 

Meskipun saat ini posisi perempuan telah mengalami banyak kemajuan, akan tetapi telah benarkah pemahaman kita? Jangan-jangan apa yang dinilai “sudah sewajarnya” juga merupakan efek dari sosial-budaya. 

Tapi, bukankah sosial-budaya dipengaruhi oleh teks keagamaan? Memang benar bahwa agama berperan dalam pembentukan persepsi masyarakat. Karenanya, yang perlu ditekankan disini adalah, teks keagamaan-lah berupa produk penafsiran-lah yang memengaruhi. 

Dan tentu saja, penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dapat berkembang mengikuti kemajuan zaman, menambahkan atau menggantikan yang lama. 

Jadi, yang menjadi pedoman adalah substansi dari agama itu sendiri, bukan lagi mengacu pada hasil penafsiran zaman klasik, tetapi mengikuti penafsiran zaman kontemporer. Bukankah keberagaman itu indah? Toh, Islam justru berkehendak menjadi agama damai yang ramah perempuan.

Nah kemudian, untuk persoalan ketimpangan, yang sesungguhnya terjadi adalah ketika alasan keberagaman dipelintir menjadikan sosok perempuan terbatasi baik dari segi pendidikan, karir maupun dalam ranah sosial dengan dalih “kodrat”. Bukankah masih sering kita dengar pernyataan, “Untuk apa sekolah tinggi jika akhirnya hanya bergelut di kasur, dapur dan sumur” Nah, patriarki sekali ini. Bukankah tugas mengasuh anak, memasak dan mencuci adalah tanggung-jawab laki-laki juga? Tidak merasa? Belajar lagi dong, hehe.

Sejujurnya, untuk menanggapi hal ini, yang perlu kita ingat adalah, sebagai sesama manusia, kita (perempuan) mempunyai hak hidup, tumbuh, berkembang juga hak mengambil keputusan dalam “profesi” juga “peran” dalam tata sosial masyarakat. Boleh jadi, perempuan ini ibu rumah tangga sekaligus perempuan karir, boleh jadi perempuan lain memilih untuk menjadi ibu rumah tangga saja. Semua itu adalah keputusan pribadi. 

Maka, jangan julid mengomentari bahwa perempuan tidak berdaya, baperan, tidak perlu pendidikan tinggi, tidak baik multi peran, tidak layak jadi pemimpin, atau hal-hal yang mengandung indikasi menghilangkan kesempatan perempuan dalam berdedikasi ya. Atau ternyata kita sendiri yang berpikiran sempit begitu? Perempuan sosok yang berharga lho, coba deh maknai diri perempuan lebih dalam lagi.

Sebagai bahan penyemangat, jelajahi kembali masa lalu dimana terdapat begitu banyak sosok-sosok perempuan tangguh, baik itu dalam sejarah negeri ini maupun dalam sejarah masa Nabi. 

Bukan hal mustahil bagi perempuan untuk menjadi progresif. Perempuan dapat menjadi pemimpin, politikus, dokter, penulis, profesor, peneliti dan beragam profesi lainnya sesuai keinginan sekaligus menjadi ibu rumah tangga yang baik. 

Tentu saja hal ini membutuhkan dorongan dari berbagai pihak termasuk laki-laki. Wahai para ayah, percayalah bahwa anak perempuanmu bisa menjaga diri dimanapun berada. Sebagai sesama manusia, sudah seharusnya saling mendukung bukan? Dengan begitu, cita-cita agama yang ramah perempuan pun terealisasi.

Terakhir, meskipun tulisan ini hanya sekedar opini, tidak ada salahnya direnungi.

Teringat kutipan dari sosok feminis yang selama hidupnya memperjuangkan HAM,

Kita semua berada di perahu yang sama ketika berhadapan dengan bahayanya patriarki. Dan penindasan terhadap perempuan bersifat universal. –Nawal el Saadawi

Semoga beliau dimuliakan di sisi-Nya. Aamiin.

Salam damai~

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun