Pada masa orde baru, presiden (pemerintah) waktu itu memandang perempuan sebagai kelompok yang perlu dibawa ke jalan yang benar, yaitu perempuan yang nurut (mengikuti saja), pasif dan tidak melawan.
Hal ini menjadi sejajar dengan pergantian pada pembendaharaan kata“perempuan” menjadi “wanita” dimana dinilai lebih halus. Padahal, jika dilihat dari akar katanya “wanita” berasal dari bahasa Sansekerta “vanita” yang artinya objek yang diinginkan laki-laki. Digunakan juga pada kata turunannya yaitu kewanitaan.
Kemudian dalam penerapan penyerapan ke bahasa Jawa kuno dalam maknanya pengalami pergeseran. Kata “wanita” dalam bahasa Jawa kuno yaitu sama dengan putri. Sebagaimana kesan putri, wanita adalah sosok yang lemah lembut dan penurut. Dalam KBBI hari ini, perempuan dan wanita itu sinonim, jadi tidak untuk diperdebatkan lagi.
Sungguh, pada masa itu gerakan perempuan terbatasi banyak hal, tak dinyana saat ini pun, pekerja perempuan masih mengalami beragam kesulitan, hak-hak sebagai pekerja pun kadang terabaikan.
Sebelum beranjak ke persoalan ini lebih lanjut, ada baiknya melirik sedikit mengenai sex. Sex tidak melulu tentang hubungan intim ya, tetapi juga mengenai perbedaan antara perempuan dan laki-laki secara biologis.
Maksudnya, ya bentuk anatominya sebagaimana perempuan memiliki rahim untuk mengandung, laki-laki yang memiliki dada bidang, juga organ reproduksi yang berbeda pada keduanya. Hal ini juga seharusnya menjadi keberagaman untuk saling dihargai.
Bagaimanapun, kajian mengenai gender tak pernah habis dibicarakan di seluruh penjuru dunia. Begitupun pada puluhan tahun silam, persoalan perempuan yang derajatnya (seakan) lebih rendah daripada laki-laki terus terjadi, bahkan sampai saat ini (sekalipun secara tersirat).
Meskipun saat ini posisi perempuan telah mengalami banyak kemajuan, akan tetapi telah benarkah pemahaman kita? Jangan-jangan apa yang dinilai “sudah sewajarnya” juga merupakan efek dari sosial-budaya.
Tapi, bukankah sosial-budaya dipengaruhi oleh teks keagamaan? Memang benar bahwa agama berperan dalam pembentukan persepsi masyarakat. Karenanya, yang perlu ditekankan disini adalah, teks keagamaan-lah berupa produk penafsiran-lah yang memengaruhi.
Dan tentu saja, penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dapat berkembang mengikuti kemajuan zaman, menambahkan atau menggantikan yang lama.
Jadi, yang menjadi pedoman adalah substansi dari agama itu sendiri, bukan lagi mengacu pada hasil penafsiran zaman klasik, tetapi mengikuti penafsiran zaman kontemporer. Bukankah keberagaman itu indah? Toh, Islam justru berkehendak menjadi agama damai yang ramah perempuan.