Mohon tunggu...
Aidi Kamil Baihaki
Aidi Kamil Baihaki Mohon Tunggu... Guru - Membaca dan menulis demi bakti literasi

Menulis adalah mengabadikan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Setara Pada Akhirnya (Percakapan Dua Sandal)

21 Maret 2022   06:00 Diperbarui: 21 Maret 2022   06:08 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Huffff...!"

Pakola menghempaskan nafasnya yang tertahan agak lama. Akhirnya ia keluar juga dari tong pengap, tempat berkumpulnya dengan sampah-sampah basah. Nasi basi, bangkai tikus, buah busuk, dan softex yang menindihnya sejak pagi tadi.

Kini Pakola teronggok di atas truk pengangkut sampah yang akan membawanya ke tempat lebih layak. Sebagaimana seharusnya ditakdirkan.

Beruntung, di bak truk, dia berada di posisi paling atas. Setidaknya perjalanannya akan menyenangkan karena terelus-elus angin.

Hampir satu jam perjalanan menuju TPA, di mana Pakola kemudian digelontorkan dari bak truk, teronggok bersama ribuan jenis barang yang tak diperlukan lagi oleh tuannya.

"Hai, Selamat datang di kerajaan sampah!" Tiba-tiba sebuah suara menyapa Pakola. Persis di paling atas onggokan sebelah. Suara itu berasal dari Meli, si sandal jepit yang sudah kehilangan pasangannya. "Semoga kau betah di sini.." Ujarnya penuh basa-basi.

Siapa sih, yang bisa betah di sana tanpa keterpaksaan?

"Aku Pakola. Namamu sia..."

Belum lagi Pakola menyelesaikan pertanyaannya, Meli sudah nyeletuk. "Ya, Aku sudah tahu!"

Pakola terkejut, "Benarkah? Tahu dari siapa?"
Meli nyengir, "Kan kamu yang menyebutkan barusan?"

"Oooh...!" Pakola tersenyum kecele.

"Namaku Meli, sudah seminggu berada di sini."

Pakola memandang sekujur tubuh Meli. Talinya sudah nyaris putus.

"Hai, bukankah kita dulu pernah dalam mall yang sama?" Teriak Pakola girang.

"Entahlah. Tapi sepertinya memang aku pernah bersamamu dalam beberapa momen." Sahut Meli.

"Sebelum ke sini, kamu pasti sudah melalui pengalaman yang menyenangkan." Tebak Meli.

Pakola terdiam. Menyelinap rasa angkuhnya.

"Benar! Aku sudah pernah menginjak karpet beludru mewah berwarna merah. Aku pernah keluar masuk BMW. Bahkan aku juga pernah menginjak kepala manusia!"

Meli pura-pura terkejut. "Ya ampun, Bukannya kamu hanya di pakai di kaki? Bagaimana bisa menginjak kepala manusia?"

"Tuanku orang yang angkuh. Seorang pembantunya melakukan kesalahan. Meskipun menurutku itu kesalahan manusiawi, tapi tuanku menganggapnya sangat fatal. Pembantu itu mengacaukan pesta dengan tanpa sengaja menumpahkan minuman ke baju salah seorang tamu. Sebenarnya tamu itu yang kurang hati-hati. Dia yang menabrak pembantu yang sedang sibuk hilir mudik menyiapkan semua minuman. Tuanku marah dan menghardik pembantunya."

"Tuan yang tak tahu diri," rutuk Meli.

"Pembantu itu sudah berusaha minta maaf pada tamu, tapi tamu tersebut tidak memperdulikan. Dia langsung pulang dengan raut muka membara. Tuanku menghampiri pembantu itu dan menghardik habis-habisan. Si Pembantu berusaha menjelaskan bagaimana hal itu terjadi, juga sudah meminta maaf pada Tuan, Bahkan Pembantu  itu sampai bersujud mohon pengampunan, tapi Tuan tetap tak mau mendengar alasan apapun, aku dijejakkannya ke kepala pembantu itu."

"Kau merasa nyaman?" selidik Meli.

Pakola tak menjawab. "Kamu punya pengalaman yang sama hebatnya?" Pakola balik bertanya.
Meli diam sebentar.

"Hampir sama. Aku pernah digunakan untuk menyumpal mulut orang kaya yang sombong!"

"Wow... Itu lebih hebat! Bagaimana ceritanya?

"Si orang kaya yang sepertinya adalah pejabat pemerintah, sedang berpidato tentang kemiskinan di sebuah acara kampanye. Majikanku yang tahu betul bahwa isi pidato itu tidak sesuai dengan sifat si Kaya, merasa kesal. Dia melompat ke arah mimbar, dan melesatkan aku dari kakinya menuju mulut si Orang Kaya." Meli bercerita dengan cukup bersemangat. Ia yakin Pakola akan teringat sesuatu.

"Eh, sebentar. Kaukah yang dipakai perempuan setengah tua pada malam itu di Gedung Serbaguna?" Tanya Pakola.

"Ya! Berarti kau berada di sana juga?"

"Betul! Tuankulah yang mulutnya disumpali oleh tuanmu!" Seru Pakola.

Meli pura-pura terkesiap. "Jadi... Oh, apa artinya kita akan jadi musuh?" Tanya Meli.

"Tidak! Biarlah Tuan atau majikan kita yang bermusuhan. Kita tidak perlu ikut-ikutan." Pakola menawarkan senyum persahabatan. "Oh, ya... Namamu? Maaf, aku lupa." Tanyanya.

"Setuju! Kasta kita tetaplah ditentukan oleh Pemilik. Murah atau mahal, hanya ditentukan oleh bandrol kita. Toh pada akhirnya tetap saja ada di bawah telapak kaki." Meli bernafas lega. "Namaku Meli!"

"Dan akhirnya kita tidak mendapati perbedaan harga setelah sama-sama berada di sini." Ujar Pakola menyeringai. Walaupun tetap dengan tersenyum, tapi nampak jelas dia merasa tidak beruntung lagi.

"Itu betul! Kita hanya berbeda karena manusia yang membedakan. Padahal hakekatnya, kita diciptakan dengan tujuan yang sama." Timpal Meli.

Ucapan Meli itu menghunjam mengusik kesadaran Pakola.

"Kau hebat Meli, nampaknya kamu lebih banyak melewati waktu yang sangat berharga bersama Tuanmu." Sanjung Pakola.

"Dan kamu.. pasti kamu sudah melewati semua kesenangan bersama tuanmu!" Meli balik memuji.

Pakola tertunduk malu. Terus terang, sebelum mengalami nasib sebagai benda terbuang, dia pernah merasa paling berhak menyandang status sebagai benda terbaik, karena hanya bisa dimiliki orang kaya. Tapi kenyataan akhirnya... Murah atau mahal, seperti kata Meli, sama saja! Tetap saja fungsinya sebagai pelindung kaki. Dan tetap saja pada waktunya akan dibuang tanpa apresiasi.

"Setahuku, benda sejenis dengan kita, yang kini sangat dihargai dan menjadi penghuni museum, hanyalah Terompah Nabi Muhammad! Itupun bukan karena nilai dari terompah tersebut, melainkan lebih karena nilai dari pemiliknya." Ujar Meli mengakhiri obrolan serius itu.

Pakola tercenung. Meli yang sederhana ternyata mempunyai pemahaman yang tak sederhana.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun