Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... Administrasi - ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Pilihan

Setelah Membaca Ini Saya Yakin AI Takkan Menggantikan Manusia, Untuk Sekarang

30 Januari 2025   10:00 Diperbarui: 30 Januari 2025   11:54 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kecerdasan buatan. (KOMPAS/HERYUNANTO)

Telaah perbedaan antara cara pikir manusia dan AI. Benarkah AI lebih unggul?

AI masih naik daun. Semua orang ngomongin AI. Bahkan banyak yang bilang AI bakal mengambil alih pekerjaan kita, hidup kita, dan segalanya. 

Mungkin kamu termasuk mulai percaya omongan ini. Tapi, tahan dulu! Sebelum kamu ikut panik dan memutuskan memborong saham perusahaan chip komputer buat investasi, tolong dipikir baik-baik. 

Memang, AI makin canggih. Tapi, apa kamu yakin 'pintar' ala mesin dan manusia itu sama? Apa Akal Imitasi ini benar-benar mampu meniru kita? 

Di sinilah letak pembahasan tulisan dari Dr. Firman Kurniawan, seorang pemerhati budaya dan komunikasi digital di Media Indonesia. 

Setelah membaca opini beliau, saya mantap untuk memilih otak manusia dalam urusan  pintar-pintaran ini. Kenapa? Monggo lanjut dibaca.

Lebih dari Logika, Ada Konteks dan Emosi

Apa yang membedakan otak manusia dan komputer paling canggih saat ini? 

Komputer bisa saja menghitung jutaan angka per detik, mengalahkan juara dunia catur, bahkan membuat gambar yang lumayan artistik. 

Tapi, pernahkah kamu lihat komputer ketawa karena denger lelucon, atau nangis karena membahas film sedih? Kayaknya belum sampe. Disinilah letak perbedaan mendasar itu.

Cara berpikir manusia berciri kausalitas atau sebab-akibat. Kita selalu mencari hubungan sebab akibat dalam segala hal. Kita tak hanya melihat data, tapi juga berusaha memahami kenapa data itu muncul, apa yang menyebabkannya. 

Contohnya, saat pulang kantor, kalau ditanya kenapa jalanan di depan macet, AI mungkin akan menjawab penyebabnya adalah perlambatan kecepatan kendaraan di sekitar jembatan penyeberangan. 

Tapi jawaban manusia tidak sedatar itu. Kita nggak cuma bilang "Oh, macet." Manusia akan menjawab sesuai konteks, "sejam terakhir hujan, banyak pengendara motor berteduh di pinggir jalan, sehingga mobil-mobil melambat."

Beda dengan AI, yang cara berpikirnya lebih ke arah korelasi. AI sangat lihai dalam menemukan pola dan hubungan antar data. 

Mereka bisa bilang, "oh, orang yang perokok biasanya juga suka ngopi." Tapi, mereka belum tentu paham kenapa ada hubungan itu, atau apakah kopi menyebabkan seseorang jadi perokok. 

Mereka lebih fokus pada pola data, bukan pada pemahaman mendalam soal sebab-akibat.

Selain itu, manusia juga punya kemampuan memahami konteks. Pemikiran manusia itu kontekstual, sementara AI lebih ke isi konten. 

Maksudnya begini. Kalau kita ngobrol sama teman, kita nggak cuma mendengar kata-kata yang diucapin, tapi kita juga paham situasinya. 

Kita tahu siapa yang ngomong, lagi di mana, perasaannya gimana, tujuannya apa. Semua konteks ini membantu kita memahami makna sebenarnya dari percakapan itu.

Contohnya, kalau teman kita bilang dengan nada datar, "Wah, bajunya serasi sekali," Kita bisa tahu apa teman kita ini beneran memuji, menyindir atau tidak suka dengan baju kita. 

Kita bisa merasakannya maksud teman kita dari konteks percakapan, nada bicara, ekspresi wajahnya. 

AI akan kesulitan memahami konteks seperti ini. Mereka lebih fokus pada konten, yaitu isi informasi itu sendiri, tanpa terlalu memperhatikan konteksnya.

Dan yang penting, manusia punya "wisdom," atau kebijaksanaan. Kebijaksanaan dan pengetahuan adalah dua hal yang berbeda. 

AI itu punya pengetahuan yang luar biasa banyak. Mereka bisa menyimpan dan mengakses jutaan informasi dalam waktu singkat. 

Tapi, kebijaksanaan itu beda. Bijaksana adalah kemampuan untuk menerapkan pengetahuan dengan bijak, dalam situasi yang tepat, dan dengan mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan. 

Kemampuan ini datang dari pengalaman hidup, dari belajar dari kesalahan, dari merefleksikan banyak hal.

Manusia bisa pakai pengetahuan tidak hanya untuk satu masalah spesifik, tapi buat banyak masalah yang berbeda. 

Kita bisa berpikir jangka panjang, bisa melihat dampak keputusan kita ke depan, dan mempertimbangkan aspek etika dan moral. 

Pemikiran manusia itu teleological, atau berorientasi pada tujuan jangka panjang, sementara AI lebih deontological, atau berorientasi pada aturan dan batasan yang digariskan. 

AI bekerja sesuai algoritma, tanpa terlalu mempertimbangkan tujuan jangka panjang atau implikasinya.

AI Memang Rasional, Tapi Manusia Lebih dari Itu

Satu lagi perbedaan penting yang diungkapkan Dr. Firman adalah soal rasionalitas. AI itu sangat rasional. Mereka berpikir berdasarkan logika, data, dan algoritma. 

Mereka konsisten, objektif, dan nggak dipengaruhi emosi. Tapi, manusia? Kita seringkali irasional. Kita bisa bikin keputusan berdasarkan emosi, intuisi, atau bahkan prasangka. Kadang kita nggak logis, nggak konsisten, dan berubah-ubah.

Tapi, justru di sinilah letak kekuatan kita sebagai manusia. Emosi, intuisi, dan bahkan ketidakrasionalan kita itu bukan cuma kelemahan, tapi juga sumber kreativitas, inovasi, dan kebijaksanaan. 

Kita bisa berempati, memahami perasaan orang lain, dan membuat keputusan yang mempertimbangkan aspek manusiawi. Kita bisa berpikir out of the box, menciptakan hal-hal baru yang nggak terpikirkan oleh logika mesin.

Seperti yang dicontohkan dalam film Her, yang menggambarkan relasi manusia dengan sebuah OS (Operation System) bernama Samantha. 

Samantha, sang AI, memang pintar, responsif, dan bahkan bisa meniru emosi. Tapi, ketika Theodore, tokoh utama dalam film itu, mengalami gangguan emosi yang rumit, Samantha ternyata gagap. 

Algoritma emosinya nggak cukup dalam untuk mengenali dan merespon perasaan manusia yang sebenarnya. Ini menunjukkan bahwa sekalipun AI bisa meniru emosi. Tapi yang namanya emosi buatan rasanya akan beda, dengan emosi manusia yang otentik.

Kolaborasi, Bukan Kompetisi

Jadi lebih jelas ya, bahwa kecerdasan manusia dan AI itu beda jenis. AI unggul dalam logika, data, kecepatan, dan ketelitian. Manusia unggul dalam konteks, kebijaksanaan, kreativitas, emosi, dan pemahaman yang mendalam. 

Daripada kita melihat ini sebagai persaingan, menurut saya ini justru peluang besar untuk kolaborasi.

Kita bisa kerja sama dengan AI, saling melengkapi keunggulan masing-masing. AI bisa bantu kita dalam pekerjaan-pekerjaan yang repetitif, analisis data yang rumit, atau tugas-tugas yang butuh kecepatan dan ketelitian tinggi. 

Sementara kita manusia, bisa fokus pada hal-hal yang butuh sentuhan manusiawi, seperti kreativitas, inovasi, strategi, pengambilan keputusan etis, dan membangun hubungan yang bermakna.

Misalnya, di dunia bisnis. AI bisa bantu menganalisis data pasar, memprediksi tren konsumen, dan mengotomatiskan proses operasional. 

Tapi, keputusan strategis, pengembangan produk inovatif, dan membangun hubungan baik dengan pelanggan tetap butuh sentuhan manusia. 

Di bidang pendidikan juga sama. AI bisa jadi guru tambahan yang pintar, tapi guru utamanya tetap manusia, untuk memberikan inspirasi, motivasi, dan bimbingan moral kepada siswa.

Kesimpulan

Masa depan yang hendak dituju dari penemuan AI, bukanlah masa di mana AI menggantikan kita seperti di film Terminator. Tapi, masa di mana AI membantu manusia untuk mencapai semua ambisi dan cita-citanya. 

Kita patut memanfaatkan AI untuk meningkatkan kualitas hidup kita, sambil tetap menjaga nilai-nilai kemanusiaan dan kebijaksanaan. 

AI bukan musuh, tapi alat bantu yang luar biasa. Yang penting, kita bijak dalam menggunakannya.

***

Referensi:

  • Kurniawan S, F. (2025, Januari 23). Cara Berpikir Manusia VS Artificial Intelligence Apa Implikasi Perbedaannya. Media Indonesia. [https: //mediaindonesia. com/opini/737430/cara-berpikir-manusia-vs-artificial-intelligence-apa-implikasi-perbedaannya]

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun