Kita bisa berempati, memahami perasaan orang lain, dan membuat keputusan yang mempertimbangkan aspek manusiawi. Kita bisa berpikir out of the box, menciptakan hal-hal baru yang nggak terpikirkan oleh logika mesin.
Seperti yang dicontohkan dalam film Her, yang menggambarkan relasi manusia dengan sebuah OS (Operation System) bernama Samantha.Â
Samantha, sang AI, memang pintar, responsif, dan bahkan bisa meniru emosi. Tapi, ketika Theodore, tokoh utama dalam film itu, mengalami gangguan emosi yang rumit, Samantha ternyata gagap.Â
Algoritma emosinya nggak cukup dalam untuk mengenali dan merespon perasaan manusia yang sebenarnya. Ini menunjukkan bahwa sekalipun AI bisa meniru emosi. Tapi yang namanya emosi buatan rasanya akan beda, dengan emosi manusia yang otentik.
Kolaborasi, Bukan Kompetisi
Jadi lebih jelas ya, bahwa kecerdasan manusia dan AI itu beda jenis. AI unggul dalam logika, data, kecepatan, dan ketelitian. Manusia unggul dalam konteks, kebijaksanaan, kreativitas, emosi, dan pemahaman yang mendalam.Â
Daripada kita melihat ini sebagai persaingan, menurut saya ini justru peluang besar untuk kolaborasi.
Kita bisa kerja sama dengan AI, saling melengkapi keunggulan masing-masing. AI bisa bantu kita dalam pekerjaan-pekerjaan yang repetitif, analisis data yang rumit, atau tugas-tugas yang butuh kecepatan dan ketelitian tinggi.Â
Sementara kita manusia, bisa fokus pada hal-hal yang butuh sentuhan manusiawi, seperti kreativitas, inovasi, strategi, pengambilan keputusan etis, dan membangun hubungan yang bermakna.
Misalnya, di dunia bisnis. AI bisa bantu menganalisis data pasar, memprediksi tren konsumen, dan mengotomatiskan proses operasional.Â
Tapi, keputusan strategis, pengembangan produk inovatif, dan membangun hubungan baik dengan pelanggan tetap butuh sentuhan manusia.Â
Di bidang pendidikan juga sama. AI bisa jadi guru tambahan yang pintar, tapi guru utamanya tetap manusia, untuk memberikan inspirasi, motivasi, dan bimbingan moral kepada siswa.