Terjebak emosi di era post-truth? Temukan cara berpikir jernih, asah logika, dan bebaskan diri dari bias.
Di zaman sekarang, kebenaran seringkali kabur, dan emosi lebih mendominasi. Resikonya, banyak orang yang tanpa sadar menjadi orang yang menyebalkan.Â
Menyebalkan di sini, bukan berarti sengaja mencari gara-gara, tapi lebih kepada kecenderungan untuk bersikeras pada keyakinan tanpa dasar fakta yang kuat, dan sulit menerima sudut pandang lain.
Kita semua hidup di era yang disebut post-truth. Seperti yang sudah sering dibahas, post-truth adalah kondisi di mana fakta objektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik dibandingkan dengan emosi dan keyakinan pribadi.Â
Fenomena ini semakin menguat seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan media sosial.Â
Dulu, mungkin kita mengandalkan media massa tradisional sebagai sumber informasi utama.Â
Sekarang, setiap orang bahkan bisa menjadi 'media' sendiri, menyebarkan informasi apapun, benar atau salah, dengan kecepatan luar biasa.
Ketika Perasaan Lebih Kuat dari Fakta
Mengapa post-truth bisa menjadi jebakan? Salah satu alasannya adalah karena ia memanfaatkan kecenderungan alami manusia untuk lebih mudah terpengaruh oleh emosi daripada logika. Â
Kita adalah makhluk emosional. Otak kita, secara biologis, Â lebih cepat merespons rangsangan emosional dibandingkan rangsangan rasional.Â
Berita yang memicu rasa marah, takut, senang, atau sedih, akan lebih cepat menarik perhatian kita dan lebih mudah kita ingat, daripada berita yang hanya menyajikan fakta-fakta netral.
Di era digital yang penuh dengan distraksi ini, perhatian kita menjadi komoditas yang diperebutkan. Media, platform digital, bahkan individu, berlomba-lomba menciptakan konten yang viral, yang bisa menarik perhatian sebanyak mungkin orang.Â
Dan cara paling efektif untuk menarik perhatian, sayangnya bukan dengan menyajikan fakta yang akurat, tapi dengan membangkitkan emosi yang kuat.Â
Judul yang provokatif, gambar yang dramatis, narasi yang menyentuh perasaan, semua itu menjadi senjata ampuh dalam perang perhatian di era post-truth.
Algoritma yang Memperkuat Bias
Lebih parah lagi, seperti yang diungkapkan Eli Pariser dalam bukunya yang berjudul The Filter Bubble, algoritma media sosial justru memperparah jebakan emosi ini.Â
Algoritma bekerja dengan mempelajari konten yang kita tonton lebih lama, apa yang kita klik, apa yang kita like, apa yang kita save dan share.
Dari data tersebut, algoritma kemudian menyajikan konten yang kita anggap relevan, yang sesuai dengan minat dan keyakinan kita. Akibatnya, kita terjebak dalam apa yang disebut filter bubble atau ruang gema.
Dalam ruang gema ini, kita hanya mendengar suara yang seirama dengan suara kita sendiri. Kita hanya melihat informasi yang mengkonfirmasi keyakinan kita.Â
Pandangan yang berbeda, apalagi yang bertentangan, jarang muncul di timeline kita. Jika pun muncul, kita cenderung mengabaikannya, atau bahkan menolaknya mentah-mentah.Â
Fenomena confirmation bias, yaitu kecenderungan untuk mencari dan menafsirkan informasi yang mengkonfirmasi keyakinan yang sudah ada, semakin diperkuat oleh ruang gema digital ini.Â
Sebagai contoh, seseorang yang percaya pada teori konspirasi tertentu, akan terus menerus terpapar konten yang mendukung teori tersebut di media sosialnya, dan semakin sulit untuk menerima informasi yang membantahnya.
Senjata Melawan Post-Truth
Lalu, bagaimana cara kita keluar dari jebakan post-truth ini? Bagaimana cara kita berhenti menjadi orang yang 'menyebalkan' yang keras kepala dan anti-fakta?Â
Menurut banyak pakar pendidikan dan psikologi, jawabannya terletak pada pendidikan kognitif.Â
Pendidikan kognitif adalah pendekatan pendidikan yang menekankan pada pengembangan kemampuan berpikir rasional, logis, dan berbasis bukti. Ini bukan hanya soal menghafal fakta, tapi lebih kepada melatih otak untuk berpikir secara kritis dan analitis.
Penelitian dari Journal of Educational Psychology tahun 2023, yang saya temukan referensinya, menunjukkan bahwa pendidikan kognitif yang baik dapat secara signifikan meningkatkan kemampuan individu dalam menilai informasi secara objektif.Â
Pendidikan ini melatih kita untuk tidak mudah terombang-ambing oleh emosi, untuk tidak langsung percaya pada informasi yang viral, dan untuk selalu mempertanyakan sumber dan validitas informasi.Â
Pendidikan kognitif mengajarkan kita langkah-langkah berpikir kritis, mulai dari mengidentifikasi informasi, menganalisis argumen, mengevaluasi bukti, hingga menarik kesimpulan yang logis.
Melatih Otak di Kehidupan Sehari-hari
Pendidikan kognitif bukan hanya tanggung jawab sekolah atau institusi pendidikan. Kita semua bisa melatih kemampuan berpikir kognitif dalam kehidupan sehari-hari. Ada beberapa langkah praktis yang bisa kita lakukan.
Pertama, sadari bias kita sendiri. Setiap orang memiliki bias, kecenderungan untuk melihat dunia dari sudut pandang tertentu.Â
Dengan menyadari bias kita, kita bisa lebih berhati-hati dalam menerima informasi dan lebih terbuka terhadap pandangan yang berbeda.
Kedua, verifikasi sumber informasi. Sebelum mempercayai atau menyebarkan informasi, selalu periksa sumbernya. Apakah sumber tersebut kredibel? Apakah ada bukti yang mendukung informasi tersebut?Â
Di era digital ini, banyak sekali alat dan sumber daya yang bisa kita gunakan untuk memverifikasi fakta, mulai dari situs pengecek fakta, hingga jurnal ilmiah online.
Ketiga, latih diri untuk berpikir logis. Cobalah untuk menganalisis informasi secara sistematis. Identifikasi argumen utama, cari tahu bukti pendukungnya, dan evaluasi apakah argumen tersebut logis dan valid.Â
Jika ada klaim yang bombastis atau tidak masuk akal, jangan langsung percaya. Bertanyalah, ragukan, dan cari bukti yang lebih kuat.
Keempat, berdiskusi dengan orang yang berbeda pandangan. Ruang gema digital membuat kita jarang bertemu dengan orang yang berbeda pendapat.Â
Padahal, berdiskusi dengan orang yang berbeda pandangan bisa menjadi latihan yang sangat baik untuk berpikir kritis.Â
Kita bisa belajar melihat masalah dari sudut pandang yang berbeda, menguji argumen kita sendiri, dan memperluas wawasan kita.Â
Tentu saja, diskusi harus dilakukan dengan kepala dingin dan saling menghormati, bukan untuk saling menjatuhkan.
Kesimpulan
Jadi, inti dari semua ini adalah, kita punya pilihan. Kita bisa terus terjebak dalam post-truth, menjadi orang yang menyebalkan yang keras kepala dan anti-fakta, atau kita bisa berusaha untuk keluar dari jebakan ini, dengan mengasah logika dan berpikir kritis.Â
Pendidikan kognitif adalah kunci untuk membuka pintu keluar dari jebakan post-truth. Ini adalah investasi jangka panjang untuk diri kita sendiri, untuk masyarakat, dan untuk masa depan peradaban kita.
***
Referensi:
- The Journal of Educational Psychology (2023). The effect of metacognitive skill training on critical thinking and confirmation bias. Journal of Educational Psychology. doi:10.1177/15291006231214248. URL: [https: Â //journals. Â sagepub. Â com/doi/abs/10. Â 1177/15291006231214248]
- Pariser, E. (2011, March). Beware online filter bubbles [Video]. TED Conferences.
URL: [https: Â //www. Â ted. Â com/talks/eli_pariser_beware_online_filter_bubbles?language=en]
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI