Di era digital yang penuh dengan distraksi ini, perhatian kita menjadi komoditas yang diperebutkan. Media, platform digital, bahkan individu, berlomba-lomba menciptakan konten yang viral, yang bisa menarik perhatian sebanyak mungkin orang.Â
Dan cara paling efektif untuk menarik perhatian, sayangnya bukan dengan menyajikan fakta yang akurat, tapi dengan membangkitkan emosi yang kuat.Â
Judul yang provokatif, gambar yang dramatis, narasi yang menyentuh perasaan, semua itu menjadi senjata ampuh dalam perang perhatian di era post-truth.
Algoritma yang Memperkuat Bias
Lebih parah lagi, seperti yang diungkapkan Eli Pariser dalam bukunya yang berjudul The Filter Bubble, algoritma media sosial justru memperparah jebakan emosi ini.Â
Algoritma bekerja dengan mempelajari konten yang kita tonton lebih lama, apa yang kita klik, apa yang kita like, apa yang kita save dan share.
Dari data tersebut, algoritma kemudian menyajikan konten yang kita anggap relevan, yang sesuai dengan minat dan keyakinan kita. Akibatnya, kita terjebak dalam apa yang disebut filter bubble atau ruang gema.
Dalam ruang gema ini, kita hanya mendengar suara yang seirama dengan suara kita sendiri. Kita hanya melihat informasi yang mengkonfirmasi keyakinan kita.Â
Pandangan yang berbeda, apalagi yang bertentangan, jarang muncul di timeline kita. Jika pun muncul, kita cenderung mengabaikannya, atau bahkan menolaknya mentah-mentah.Â
Fenomena confirmation bias, yaitu kecenderungan untuk mencari dan menafsirkan informasi yang mengkonfirmasi keyakinan yang sudah ada, semakin diperkuat oleh ruang gema digital ini.Â
Sebagai contoh, seseorang yang percaya pada teori konspirasi tertentu, akan terus menerus terpapar konten yang mendukung teori tersebut di media sosialnya, dan semakin sulit untuk menerima informasi yang membantahnya.
Senjata Melawan Post-Truth
Lalu, bagaimana cara kita keluar dari jebakan post-truth ini? Bagaimana cara kita berhenti menjadi orang yang 'menyebalkan' yang keras kepala dan anti-fakta?Â